Atap Bocor, Hanya Ramai Pengunjung saat Tour de Singkarak
Banyak bagian fisik Museum Tuanku Imam Bonjol yang rusak karena tak pernah direnovasi sejak berdiri. Dibutuhkan promosi besarbesaran agar Pasaman tak hanya jadi kawasan transit. Berkunjung ke Museum Tuanku Imam Bonjol, Ikon Wisata Pasaman
DARI luar, Museum Imam Bonjol memang masih terlihat kukuh. Tapi, begitu masuk ke dalam, di sana-sini terpampang kondisi yang memprihatinkan. Mulai bangunan yang mulai reyot, atap yang bocor, sampai toilet yang sangat butuh pembenahan.
Padahal, nama yang melekat ke museum itu adalah nama seorang pahlawan besar yang fotonya terpampang di begitu banyak ruang kelas di negeri ini. Itu belum menghitung rendah- nya jumlah pengunjung ke ikon wisata Kabupaten Pariaman, Sumatera Barat, tersebut.
Padang Ekspres ( Jawa Pos Group) yang berkunjung ke sana pada Rabu tengah hari lalu (23/3) menghitung, dalam sejam, belum ada satu pun pengunjung yang masuk. Bahkan, dari buku tamu, Padang Ekspres ternyata yang pertama berkunjung pada hari itu.
”Dalam sehari paling hanya 5–10 orang yang berkunjung. Bahkan, kadang tak ada sama sekali,” kata Ahmad Yusuf, staf seni budaya pariwisata Dispora Kabupaten Pasaman yang bertugas mengelola museum tersebut.
Padahal, museum itu menawarkan banyak tambahan pengetahuan tentang pahlawan yang meninggal dan dimakamkan di Minahasa, Sulawesi Utara, tempat dia diasingkan, tersebut. Terdapat, misalnya, keris, pedang, bedil, dan meriam.
Menurut Yusuf, semua benda itu dulu dikumpulkan dari warga secara susah payah. Di depan museum juga berdiri gagah patung Tuanku Imam Bonjol yang mengendarai kuda.
Tuanku Imam Bonjol adalah ulama sekaligus pejuang yang berperang me- lawan Belanda dalam pertempuran yang dikenal sebagai Perang Padri. Dia lahir di Bonjol, kecamatan tempat museum tersebut berdiri, pada 1772 dan wafat pada 1864. Dia diangkat sebagai pahlawan pada 6 November 1973.
Menurut Yusuf, sejak berdiri pada 1987, museum itu tak pernah mengalami renovasi. Itulah yang membuat sejumlah sudutnya memprihatinkan. Atapnya yang terkena rembesan air, misalnya, sudah melepuh.
Selain Museum Tuanku Imam Bonjol, pengunjung bisa mampir ke ikon wisata lain di kabupaten yang terletak di jalur lintas Sumatera itu. Yakni, Tugu Equator. Sayang, kondisinya juga tidak kalah memprihatinkan. Catnya terlihat usang dan pudar.
Menurut Yusuf, rendahnya jumlah wisatawan ke Pasaman disebabkan kota itu cuma menjadi kawasan transit. Misalnya, orang mau ke Medan berhenti sementara di Bonjol. Begitu pula sebaliknya orang dari Medan menuju Padang.
”Saat ini, pengunjung hanya datang pada acara-acara tertentu. Seperti perayaan titik kulminasi dan Tour de Singkarak,” ujarnya.
Tour de Singkarak adalah ajang balap sepeda internasional tahunan di Sumatera Barat. Pada edisi 2015, start etape VII balapan tersebut diadakan di Bonjol.
Adapun titik kulminasi merupakan peristiwa saat matahari tepat di atas ekuator. Karena berada persis di khatulistiwa, Pemkab Pasaman mengadakan serangkaian acara. Sekaligus untuk mempromosikan potensi wisata mereka.
Tapi, jelas dibutuhkan lebih dari sekadar perayaan titik kulminasi untuk membuat orang mau datang ke Museum Tuanku Imam Bonjol dan Tugu Equator. ”Butuh promosi besar-besaran. Juga pembenahan kondisi museum dan tugu,” kata Sutan Pembangun, salah seorang warga Bonjol. (*/wni/JPG/c6/ttg)