Bom Brussel dan Masa Depan Islam di Eropa
AWAL Agustus 2013, bersama 15 dosen UIN Walisongo Semarang, saya berkesempatan mengikuti Training on Strengthening Research Capacity di Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda, atas biaya Kementerian Agama RI. Dalam salah satu sesi training tersebut, kami diajak mengunjungi Blue Mosque, masjid yang didirikan imigran Kuwait yang tinggal di ibu kota Negeri Kincir Angin tersebut.
Sesuai dengan materi pelatihan pada sesi itu, yaitu Islam and Identity in European Countries, saya bertanya kepada Abdul Rasyid, aktivis masjid yang menjadi narasumber dalam sesi tersebut, ’’Anda berasal dari Kuwait dan sekarang tinggal di Belanda. Bila terjadi perang antara Kuwait dan Belanda, pada negara mana Anda akan berpihak dan berperang?’’
Setelah berpikir sejenak, Rasyid menjawab, ’’Saya tidak bisa memihak pada salah satunya. Kalau benar perang terjadi antara kedua negara tersebut, saya akan hijrah ke Belgia.’’
Jawaban Rasyid tersebut bukan tanpa alasan. Kuwait adalah tanah air tempat dia dan nenek moyangnya lahir, sedangkan Belanda merupakan negara yang memberinya penghidupan.
Untuk tidak mengkhianati keduanya, Belgia menjadi pilihan pertamanya untuk berhijrah. Itu merupakan pilihan yang masuk akal, meng- ingat Belgia bersama Belanda merupakan dua negara di Eropa yang warganya paling memiliki rasa empati dan simpati terhadap Islam.
Ketika terjadi hujatan terhadap Islam dan umat Islam di berbagai negara Eropa pascatragedi 11 September 2001, warga dua negara tersebut memberikan banyak dukungan moral kepada umat Islam. Mereka meyakinkan warga Eropa lainnya bahwa tindakan terorisme yang terjadi selama ini hanyalah tindakan oknum tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan Islam. Bukan mencerminkan perilaku kolektif umat Islam.
Tidak bisa dimungkiri, ada kalangan muslim di Eropa, terutama beberapa kalangan warga imigran dari Timur Tengah, yang kurang bisa membaur dengan komunitas Eropa pada umumnya. Ada juga khotbah berbahasa Arab dalam rangkaian salat Jumat yang diselenggarakan di beberapa masjid yang cenderung menghujat kalangan nonmuslim.
Meski demikian, warga negara Eropa umumnya tidak banyak mempersoalkannya sepanjang tidak mewujud dalam bentuk kekerasan. Mereka masih bisa berkomunikasi dengan imigran muslim asal Asia Tenggara dan Turki yang cenderung terbuka serta moderat.
Mereka semakin apresiatif dan bersimpati atas selebrasi-selebrasi keagamaan yang diselenggarakan komunitas muslim. Mereka juga memberikan kesempatan kepada kalangan muslim untuk menjadi akademisi di berbagai universitas kenamaan, tentara, polisi, dan profesi penting lainnya.
Sikap apresiatif dan simpatik kalangan masyarakat Eropa itulah yang menjadikan Islam banyak berkembang di beberapa negara Eropa. Dalam dua dekade terakhir, Islam berkembang sangat signifikan di Belanda dan Belgia.
Di Rotterdam, Belanda, wali kotanya bahkan dijabat Ahmed Aboutaleb, seorang muslim keturunan Maroko. Sementara itu, di Belgia, meski masih kalah dari di Belanda, perkembangan Islam meningkat tajam.
Di negara tersebut, Islam tidak hanya dipeluk imigran asal Timur Tengah dan Asia Tenggara, tapi juga warga asli yang kebanyakan kalangan muda. Di antara setiap seribu muslim di Belgia, lima orang adalah warga asli.
Komunitas muslim Belgia biasanya menempati kota-kota besar seperti Brussel dan Sint-Jans-Molenbeek. Menariknya, di kota yang disebut terakhir itu, dalam pemilihan wali kota yang diselenggarakan pada 2012, empat kandidat muslim semua.
Pendek kata, Belanda dan Belgia merupakan landasan awal perkembangan Islam di Eropa. Masa depan Islam di Eropa bisa dikatakan akan semakin bersinar. Tentu dengan catatan bila tidak ada faktor krusial yang membalik asumsi tersebut. Sulitnya Membangun Citra Damai
Peristiwa meledaknya bom di Brussel, Belgia, Selasa (22/3), setelah penangkapan teroris Salah Abdeslam beberapa hari sebelumnya menjadi tamparan keras bagi citra Islam yang diintroduksi sebagai agama pembawa pesan perdamaian. Tragedi tersebut melengkapi keterpurukan citra Islam sebagai akibat teror di Paris, Prancis, 13 November 2015.
Tragedi kekerasan di Paris yang menewaskan ratusan korban tersebut mengakibatkan umat Islam di Eropa menjadi bulan-bulanan. Operasi penggerebekan dan penggeledahan dilakukan di banyak tempat terhadap orang asing, khususnya imigran Timur Tengah.
Terjadinya aksi terorisme di Brussel beberapa hari lalu memunculkan asumsi bahwa ancaman terorisme dan radikalisme Islam telah begitu menjamur serta menghantui Eropa. Hal itu berpotensi menjadikan Islam musuh bersama ( common enemy) di Eropa. Kerja keras komunitas muslim moderat di Eropa untuk mengampanyekan peaceful Islam bisa sia-sia. Tugas mereka ke depan menjadi semakin sulit.
Aksi terorisme di Brussel merupakan tusukan langsung ke jantung perkembangan Islam yang bisa menjadi awal keruntuhan masa depan Islam di Eropa. Ketika aksi terorisme tersebut tidak bisa dieliminasi, rasa empati serta simpati terhadap Islam akan semakin luntur dan berubah menjadi Islamofobia. Lunturnya rasa empati dan simpati masyarakat Eropa menjadi awal senja kala Islam di kawasan tersebut. Masa depan Islam di kawasan Eropa saat ini benar-benar dalam pertaruhan. (*)
AKHMAD ARIF JUNAIDI*
*Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang dan ketua Divisi Riset Walisongo
Mediation Center Semarang