Ekonomi Lesu, Laba MPMX Turun
JAKARTA – PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk (MPMX) meraup pendapatan Rp 16,639 triliun atau tumbuh 3,5 persen pada 2015. Namun, imbas perlambatan eknomi sangat terasa sehingga pada pos laba bersih terjadi penurunan 39 persen.
Laporan keuangan perusahaan otomotif yang didirikan Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga Uno itu mencatat pendapatan bersih Rp 16,639 triliun atau naik 3,5 persen sepanjang 2015 dibandingkan Rp 16,076 triliun pada 2014. Namun, biaya pokok pendapatan naik lebih tinggi mencapai 4,2 persen sebesar Rp 14,341 triliun dibandingkan Rp 13,762 triliun.
Hasilnya, laba kotor turun 0,6 persen menjadi Rp 2,298 triliun. Selain itu, terjadi kenaikan di beban usaha dan biaya keuangan. Tekanan di beban pajak penghasilan juga meningkat meski laba sebelum pajak turun. Akhirnya, laba bersih MPMX sepanjang 2015 sebesar Rp 284,946 miliar atau turun 39 persen dibandingkan Rp 467,186 miliar pada 2014.
Corporate Secretary MPMX Zahnia menyatakan, kenaikan dari sisi pendapatan ditopang bisnis distribusi dan ritel kendaraan, serta segmen suku cadang kendaraan. Semua berkontribusi 86 persen terhadap pendapatan. Meski begitu, penurunan pada pos laba bersih tak terhindarkan seiring situasi perekonomian yang kurang kondusif tahun lalu. ’’Perlambatan pasar nasional serta turunnya pendapatan di bidang jasa kendaraan dan pembiayaan menjadi faktor utama penyebab penurunan tersebut,’’ ungkapnya kemarin.
Sepanjang 2015, kinerja anak usaha MPMX bergerak dinamis. Dari segmen bisnis distribusi dan ritel kendaraan roda dua melalui MPM Mulia, tercatat penjualan 902 ribu unit sepeda motor Honda. Angka itu turun tipis 7 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pada saat yang sama, pasar sepeda motor nasional terkoreksi 18 persen.
Sementara itu, di sektor distribusi ritel dan kendaraan roda empat, MPMAuto menjual 3.680 unit mobil Nissan dan Datsun melalui 9 diler. Angka penjualan itu naik 166 persen dibanding tahun lalu seiring penambahan jumlah diler.
Untuk segmen auto consumer part atau suku cadang kendaraan, MPMX melalui PT Federal Karyatama (FKT) sebagai pemilik merek Federal Oil dan Federal Mobil berhasil mencatat kenaikan laba bersih hingga 20 persen. ’’Meski begitu, total volume penjualan pelumas tercatat turun tipis 5 persen akibat melemahnya pasar,’’ sebutnya.
Bisnis jasa kendaraan melalui MPMRent juga lesu. Penyewaan armada turun 9 persen menjadi 13.935 unit dibandingkan 2014. ’’Perusahaan melakukan efisiensi dan meningkatkan produktivitas aset dengan mengurangi pembelian kendaraan baru dan melepaskan kendaraan yang ada, terutama yang berhubungan dengan industri pertambangan,’’ lanjutnya.
Pendapatan perusahaan rental menurun 4 persen pada 2015 menjadi Rp 1,12 triliun. Di sektor bisnis jasa keuangan melalui MPMFinance, pendapatan perusahaan turun tipis 1 persen menjadi Rp 1,136 triliun. Sebaliknya, dari asuransi, MPMX melalui anak usahanya. (gen/c17/oki)
– Pemerintah terus mencari utang untuk menutup defisit 2,15 persen dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2016. Salah satu upayanya adalah menerbitkan global sukuk yang mengincar dana segar dari Timur Tengah.
Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (PPR) Kemenkeu Robert Pakpahan menyebutkan, nilai global sukuk yang diterbitkan pada 22 Maret lalu mencapai USD 2,5 miliar atau sekitar Rp 13 triliun. Dari penjualan tersebut, pemerintah menetapkan target indikatif USD 2 miliar yang terdiri atas dua tenor, yaitu global sukuk bertenor 5 tahun dan global sukuk 10 tahun.
Penawaran yang masuk dari penjualan global sukuk bertenor lima tahun cukup besar. Order book sukuk berjangka waktu lima tahun mencapai USD 2,6 miliar. ’’Kemudian, dari global sukuk bertenor 10 tahun, penawarannya mencapai USD 5,9 miliar, nyaris USD 6 miliar,’’ papar Robert.
Dengan jumlah penawaran tersebut, terdapat kelebihan penawaran hingga USD 8,6 miliar. Sebab, target indikatif yang ditetapkan pemerintah hanya USD 2 miliar. Karena itu, pemerintah menaikkan penawaran menjadi USD 2,5 miliar. Imbal hasil yang diberikan memang cukup tinggi. Yield global sukuk bertenor lima tahun ditetapkan 3,4 persen. Yield global sukuk bertenor 10 tahun sebesar 4,55 persen.
Robert mengakui, penerbitan global sukuk tahun ini mencetak rekor sepanjang sejarah. Tahun lalu pemerintah hanya menerbitkan global sukuk bertenor 10 tahun sebesar USD 2 miliar. Yield yang diberikan hanya 4,32 persen. ’’Jadi, appetite demand investor asing masih baik,’’ terangnya.
Sekitar 42 persen global sukuk bertenor lima tahun diborong
Penerbitan
Target indikatif
Yield 5 tahun
Yield 10 tahun investor asal Timur Tengah dan negara-negara Islam di Asia. Investor terbesar kedua berasal dari Asia, tidak termasuk Singapura, Hongkong, dan Korea Selatan. Investor dalam negeri menguasai 10 persen dari total yang diterbitkan. Sisanya dimiliki investor Eropa dan Amerika Serikat.
Untuk global sukuk bertenor 10 tahun, 28 persen dipegang investor Timur Tengah dan negara-negara Islam di Asia. Sisanya diminati investor Asia. Dengan tingginya minat investor asing terhadap surat berharga negara (SBN) tersebut, Robert menilai pemerintah mungkin bakal memperlebar defisit hingga 2,6 persen. ’’Jadi, in general, kita sangat happy dengan credit rating,’’ kata dia.
Selain instrumen sukuk, pemerintah telah menerbitkan global bond yang bersifat prefunding senilai USD 3,5 miliar pada akhir tahun lalu. Artinya, pemerintah telah menerbitkan surat berharga negara (SBN) berdenominasi valuta asing USD 6 miliar. Tahun ini pemerintah menargetkan penerbitan SBN valas 24 persen dari total gross penerbitan SBN Rp 542,3 triliun atau Rp 130,15 triliun. Target itu lebih rendah 30 persen jika dibandingkan dengan target awal penerbitan SBN valas tahun ini.
Menurut Robert, penerbitan SBN berdenominasi valas juga menjadi acuan yield bagi sektor korporasi yang memerlukan pendanaan dari pasar keuangan. (ken/c14/noe)