Jawa Pos

Tentukan Sendiri Kapasitas, Tak Ada Energi Terbuang

Otak kita begitu familier dengan pembangkit listrik tenaga matahari. Tapi, soal penggunaan­nya, jauh dari kata terbiasa. Elieser Tarigan termasuk orang yang berusaha akrab dengan energi alternatif itu. Elieser Tarigan Budayakan Hemat Energi lewat Solar

-

BAGI Tarigan, pembangkit listrik tenaga matahari tidak seharusnya hanya digunakan di lokasi yang tidak terjangkau layanan PLN. Bukan juga sebagai energi cadangan saja. Akan jauh lebih bermanfaat jika masyarakat perkotaan juga memanfaatk­an energi ramah lingkungan itu. Berbekal misi semacam itu, dia berusaha mengenalka­n konsep listrik tenaga matahari untuk rumah di perkotaan.

”Penggunaan tenaga listrik di perkotaan saat ini masih bergantung kepada PLN. Padahal, listrik yang dihasilkan dari fosil tidak bertahan lama karena bisa habis,” ujar Tarigan.

Pria kelahiran Karo, 1 April 1972, itu pun melakukan riset penggunaan energi matahari untuk skala rumah perkotaan. Yang dijadikan kelinci percobaan tentu saja rumahnya sendiri di Perumahan Wiguna.

Untuk tahap awal, dia melakukan pemetaan kebutuhan energi matahari dan kebutuhan listrik di rumahnya

Tujuannya, menentukan kapasitas panel yang akan digunakan dalam menampung energi matahari. ”Keuntungan menggunaka­n energi matahari, kita bisa menentukan secara mandiri kebutuhan listrik yang akan digunakan. Tidak akan ada energi yang terbuang percuma,” tuturnya.

Tarigan mencontohk­an, pada umumnya, PLN menetapkan standar listrik untuk rumah sedang sebesar 1.300 watt. Padahal, belum tentu kebutuhan listrik pemilik rumah sebesar itu. Dengan penggunaan energi matahari, kapasitas tersebut bisa dikurangi sesuai kebutuhan.

Dalam hitunganny­a, rata-rata kebutuhan dasar listrik rumah di Surabaya 3–4 kilowatt hour (kWh). Penggunaan listrik dimulai dari kebutuhan dasar seperti lemari pendingin, charger HP, lampu, hingga AC. ”Ini untuk jenis rumah tipe di bawah 100 meter persegi,” ujarnya.

Berdasar pengamatan itu, Tarigan menyimpulk­an, dibutuhkan kapasitas tenaga matahari sebesar 800 watt dari panel surya. Bapak satu anak itu pun memasang empat panel surya di atap rumahnya. Masing- masing memiliki kapasitas 200 watt.

Setelah panel dan rangkaian pembangkit terpasang, alumnus Jurusan Fisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) itu melakukan pengamatan mulai pukul enam pagi hingga sore. Dari pengamatan tersebut, energi matahari yang ditampung dalam 1 meter persegi sebuah panel surya menghasilk­an 4,8 kWh. ”Artinya, ini lebih dari kebutuhan listrik per hari yang biasanya 3–4 kWh,” jelas Tarigan.

Empat panel surya yang telah terpasang di atap rumahnya itu menerima tenaga matahari yang kemudian diubah menjadi energi listrik. Energi tersebut nanti disimpan dalam solar charge controller. ”Alat ini juga berfungsi mengatur energi matahari yang tidak terpakai,” ujarnya.

Energi yang tidak terpakai itu tetap bisa digunakan. Tarigan menyimpann­ya ke dalam baterai berteganga­n 12 volt. Energi yang tersimpan di baterai itu diteruskan ke inverter. ” Inverter ini berfungsi mengubah tegangan satu arah dari panel surya menjadi tegangan arus balik,” terangnya.

Tarigan mengakui, penggunaan tenaga surya tersebut menjadi lebih efisien dari segi ekonomi. Kapasitas energi sebesar 800 watt itu dapat digunakan selama berpuluh-puluh tahun ke depan. ”Bisa lebih dari 20 tahun jika merawatnya dengan baik,” tuturnya. Sebab, kebutuhann­ya disuplai dari matahari yang selalu ada. ”Meski hujan, tetap bisa menampung energi, selama ada terang,” ungkapnya.

Dia mengakui, investasi awal untuk membangun pembangkit listrik tenaga matahari kelas rumahan membutuhka­n dana lumayan besar. Kisarannya sampai Rp 30 juta. Itu sudah termasuk biaya seluruh rangkaian pembangkit. Mulai penyediaan panel surya, baterai, hingga kebutuhan lain.

Namun, dia meyakinkan bahwa penghemata­n yang didapat sangat besar karena berlangsun­g lama. Jika biasanya harus membayar tagihan rekening dari PLN Rp 500 ribu–Rp 600 ribu per bulan, kini dia cukup menghabisk­an Rp 250 ribu.

Dia juga mengungkap­kan bahwa penggunaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) merupakan upaya menghasilk­an energi bersih. ”Pembangkit konvension­al biasanya tidak ramah lingkungan. Ada pembakaran. Misalnya pada batu bara, minyak bumi, dan gas,” ungkapnya.

Perawatan yang tidak terlalu ribet juga menjadi salah satu keuntungan lain penggunaan PLTS skala rumahan. Tarigan menuturkan hanya membutuhka­n kedisiplin­an dalam penggunaan PLTS tersebut. ”Kalau kapasitas yang dimiliki 400 watt, ya gunakan tepat seukuran itu atau kurang dari itu. Jangan sampai lebih,” ujarnya.

Untuk mengetahui kapasitas listrik yang digunakan tiap hari, Tarigan memasang indikator pemakaian di atas solar charge controller. Dengan cara tersebut, penggunaan­nya tidak akan kekurangan atau kelebihan.

Pemasangan panel surya pun tidak sembaranga­n. Tarigan menjelaska­n, untuk menyerap energi matahari supaya berlimpah, panel surya diletakkan tegak lurus menghadap matahari. ”Tujuh derajat di bawah khatulisti­wa. Posisi itu bisa menyerap energi maksimum sepanjang tahun,” tuturnya.

Dia mencontohk­an wilayah Surabaya. Agar energi matahari yang terserap bisa maksimal, panel harus dihadapkan ke arah selatan. ”Itu untuk seluruh daerah Surabaya,” imbuhnya.

Meski begitu, Tarigan mengakui bahwa penggunaan PLTS masih membutuhka­n pengembang­an lebih lanjut. Salah satu pengembang­an yang sedang dia rancang adalah pendingin pada panel surya. Pendingina­n bisa dilakukan dengan memberikan sirkulasi air di bawah panel. ”Semakin panas sebuah panel, semakin rendah efisiensin­ya,” ujarnya. (*/c11/fat)

 ?? ZAHRA FIRDAUSIYA­H/JAWA POS ?? RAMAH LINGKUNGAN: Elieser Tarigan menunjukka­n empat panel surya di dekat atap rumahnya. Dia menggunaka­n solar charge controller untuk mengukur penggunaan energi tiap harinya.
ZAHRA FIRDAUSIYA­H/JAWA POS RAMAH LINGKUNGAN: Elieser Tarigan menunjukka­n empat panel surya di dekat atap rumahnya. Dia menggunaka­n solar charge controller untuk mengukur penggunaan energi tiap harinya.
 ?? ELIESER TARIGAN FOR JAWA POS ??
ELIESER TARIGAN FOR JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia