Izin Wali Kota, Dispendik, dan Dewan Pendidikan
Pengumpulan surat dilakukan selama satu minggu sejak Kamis (17/3). ”Setiap OSIS memberi tahu teman-temannya mengenai aksi ini serta batas pengumpulannya” jelas pelajar kelas XI-IPA 6 itu. Surat yang terkumpul akan diberikan kepada Dinas Pendidikan Kota Surabaya.
Menurut Prasetyo, aksi tersebut sudah mendapat restu dari Dewan Pendidikan Surabaya, dispendik, dan wali kota Surabaya.
Hingga Kamis ( 24/ 3) surat yang terkumpul mencapai 33.130 dari berbagai sekolah yang mengirim. ”Cukup kaget juga melihat surat yang terkumpul. Jumlahnya tiga kali lipat dari target,” terangnya.
Keputusan untuk menulis surat tersebut tercipta karena muncul kekhawatiran bahwa kebijakan pengalihan wewenang dari pemerintah kota ke pemerintah provinsi tersebut akan merugikan siswa. Prasetyo menyebutkan, salah satunya adalah pendidikan gratis tidak akan dinikmati lagi oleh siswa Surabaya. ”Karena belum semua kota siap menerapkan wajib belajar 12 tahun seperti Kota Surabaya,” jelasnya.
Lebih lanjut, menurut dia, dana bantuan operasional pendidikan daerah (bopda) yang diberikan Pemkot Surabaya juga sangat membantu pelajar. ”Dan belum semua sekolah di wilayah Jatim mendapatkan bantuan seperti itu,” terangnya.
Dialihkannya wewenang SMA/ SMK provinsi juga membuat peluang persaingan pelajar yang ingin bersekolah di Surabaya semakin ketat. Sebab, siswa yang ingin mendaftar sekolah tidak hanya berasal dari lingkup Kota Surabaya, tetapi bisa dari berbagai wilayah di Jatim. ”Selama ini, kalau dipegang pemkot, ada kebijakan siswa luar KK Surabaya hanya dibatasi maksimal 2 persen. Kalau nanti dipegang provinsi, sangat mungkin pembatasan tersebut tidak ada” jelasnya.
Salah seorang siswa SMPN 6 Surabaya Aryo Seno Bagaskoro yang ikut aksi protes itu mengaku ingin turut memperjuangkan hak siswa Kota Surabaya. ”Kebijakan tersebut jelas berpengaruh pada kami siswa SMP yang akan melanjutkan ke SMA/SMK,” terang pelajar kelas IX itu.
Seno khawatir, saat nanti SMA/ SMK diambil alih oleh provinsi, program seperti konselor sebaya, Orpes, dan jalur kemitraan tidak ada lagi. ”Kalau nanti program tersebut tak ada, jelas merugikan kami dan orang tua,” ungkapnya. Saat ini di SMPN 6 sudah terkumpul 600 surat dari total sekitar 1.000 siswa.
Meski merupakan aksi protes, Prasetyo menyatakan tidak bermaksud untuk mengubah keputusan UU tersebut. Melainkan hanya ingin menyampaikan pendapat.
”Kami sudah berkomitmen bersama. Ini merupakan langkah untuk menyampaikan pendapat dan keluhan kami,” ungkapnya. Tidak ada paksaan bagi pelajar untuk ikut serta dan menorehkan keluhan tersebut di atas kertas.
Namun, saat ditanya Jawa Pos, Prasetyo menjelaskan tuntutan mereka agar pemerintah pusat memberikan wewenang khusus kepada Pemkot Surabaya. ”Semisal diberlakukannya otonomi khusus untuk Kota Surabaya,” jelasnya. (elo/c6/end)