Johan Cruyff, sang Penari
Oleh A.S. LAKSANA
SAYA mulai mendengar namanya ketika orang-orang dewasa membicarakannya menjelang Piala Dunia 1978 di Argentina. Itu piala dunia yang kurang seru bagi beberapa orang dewasa penggemar sepak bola di kampung saya. Pele sudah tidak bermain, Beckenbauer tidak bermain, dan ”Jon Krep” –raksasa lainnya– mengumumkan tidak ikut bergabung dengan tim Oranje Belanda ke Argentina.
Orang-orang dewasa di kampung saya menyebutnya Jon Krep –saya juga menyebutnya begitu dan sering mengulang-ulang nama ini karena menyukai bunyinya. Saya yakin tidak banyak di antara mereka yang tahu bagaimana nama Johan Cruyff –atau Johan Cruijff– ditulis.
Berbagai spekulasi muncul kenapa Johan Cruyff tidak mau membela kesebelasan nasional Belanda di Piala Dunia tersebut. Ia baru 31 tahun saat itu dan Belanda masih sangat mengharapkannya. Salah satu yang disalahkan adalah istrinya. Orang-orang beranggapan bahwa Danny Coster, istri Cruyff, terlalu mengatur dan perempuan itu telah memengaruhi keputusan Johan Cruyff, namun Cruyff tetap diam dan apa yang membuatnya menarik diri dari tim Belanda saat itu tetap menjadi rahasia.
Jawaban atas hal tersebut baru muncul 30 tahun kemudian. Pada 2008, dalam sebuah wawancara dengan radio Catalunya, Johan Cruyff menceritakan bahwa menjelang Piala Dunia, beberapa penjahat menerobos rumahnya di Barcelona saat malam, mengikat dirinya dan istrinya di depan anak-anak, dan mereka menodongkan senjata di kepala. Kejadian itu membuatnya mengambil jarak dari sepak bola dan ia mengumumkan tidak ikut dalam Piala Dunia 1978 di Argentina.
Peristiwa itu juga membuatnya memutuskan untuk meninggalkan Barcelona, klub yang ia bela sejak 1973 dan ia beri kebanggaan dengan gelar juara liga untuk kali pertama sejak 1960, termasuk menga- lahkan Real Madrid 5-0 di Stadion Bernabeu. Tahun 1979 menyeberang ke Amerika, menandatangani kontrak satu musim dengan Klub Los Angeles Aztecs, dan dinobatkan sebagai pemain terbaik Liga Sepak Bola Amerika Serikat. Itu awal yang bagus bagi masa surutnya sebagai pemain.
Musim berikutnya ia bermain untuk Washington Diplomats, tetapi klub itu mengalami kesulitan keuangan di bulan Mei 1981 dan Cruyff kemudian menjadi pemain tamu untuk AC Milan. Ia mengalami cedera di Milan dan tidak bisa bermain untuk Diplomats pada awal musim 1981–1982. Kemudian, ia kembali ke Spanyol dan bermain untuk klub Divisi Dua Levante, bermain di stadion yang buruk dan mengalami cedera.
Pada Desember 1981, ia kembali bermain untuk Ajax dan kembali meraih gelar juara Eredivisie pada musim itu dan musim berikutnya. Pada akhir musim 1982–83, Ajax tidak memperpanjang kontrak Cruyff. ’’Ketika orang-orang Ajax mengatakan kepada saya, ’Kau sudah terlalu tua’, aku mengatakan kepada mereka, ’Bukan hakmu untuk mengatakan itu, aku yang berhak memutuskan apakah aku terlalu tua atau tidak.’” Ia kemudian bergabung ke Feyenoord dan memberikan gelar juara liga Belanda kepada klub itu untuk kali pertama dalam sepuluh tahun terakhir.
Namur, Cruyff dan Ajax, tampaknya, memang tidak terpisahkan. Sama halnya dengan Cruyff dan Barcelona. Pada 1985 ia kembali lagi ke Ajax, kali ini sebagai pelatih.
Cruyff lahir dan tumbuh di rumah yang hanya lima menit jaraknya dari stadion dan ia bermain bola di jalanan tak jauh dari lapangan. Ibunya bekerja sebagai petugas bersih-bersih di stadion Ajax dan ayah tirinya adalah perawat lapangan Ajax. Pada umur sepuluh tahun ia masuk klub sepak bola dan tujuh tahun berikutnya mulai bermain untuk Ajax, dengan pelatih Rinus Michels, yang dianggap sebagai Bapak Total Football. Dalam delapan musim pertamanya ia membela Ajax, klub tersebut enam kali menjadi juara Eredivisie dan tiga kali berturut-turut menjadi juara Piala Champions (1971– 1973). Cruyff sendiri menjadi pemenang Ballon d’Or tiga kali.
Rinus Michels dan Johan Cruyff adalah dua nama yang memungkinkan lahirnya Total Football. Dengan kesempurnaan teknik dan visi tentang permainan sepak bola yang dimiliki Cruyff, strategi Total Football Rinus Michels menjadi bisa diterapkan. Ketika berpindah ke Barcelona, Rinus membawa serta Johan dan mereka berdua menyebarluaskan Total Football di sana. Ia memecahkan harga transfer tertinggi ketika dibeli Barcelona dari Ajax sebesar 2 juta dolar.
Itu angka yang sangat kecil untuk ukuran nilai transfer sekarang, di mana para pemain seperti Cristiano Ronaldo dan Gareth Bale dibanderol dengan harga yang begitu tinggi. ’’Jika Bale dan Ronaldo dihargai 100 juta euro, saya kira klub mana pun harus mengeluarkan miliaran euro untuk mendapatkan Johan,’’ kata Franz Beckenbauer, kapten Jerman Barat di final Piala Dunia 1974, orang yang memberikan satusatunya kekalahan kepada Johan Cruyff.
Ketika memulai karir sebagai pelatih dan menangani Ajax pada 1985, Johan Cruyff menangani bintang yang kelak akan menjadi salah satu yang paling dihormati di Belanda: Marco van Basten. Di bawah Cruyff, Ajax memenangi Piala Cup Winner’s Cup pada 1987. Basten, si pengagum Cruyff, pada 1988 bersama Ruud Gullit, Frank Rijkaard, Ronald Koeman, dan lain-lain akhirnya memberi gelar internasional kepada Belanda dengan memenangi Piala Eropa, menundukkan Jerman. Rinus Michels yang melatih mereka. Total Football melakukan pembalasan yang sempurna terhadap lawan yang mengalahkan mereka di final Piala Dunia 1974.
Pada 1988, saat Belanda menjadi juara Piala Eropa, Johan Cruyff kembali ke Barcelona dan membangun the dream team dengan memasukkan bintang-bintang seperti Romario Faria, Hristo Stoichkov, Michael Laudrup, dan Ronald Koeman serta menggabungkan mereka dengan bakat-bakat muda Spanyol, antara lain, Pep Guardiola.
Di Barcelona, Cruyff juga membangun La Masia, sekolah sepak bola yang melahirkan Messi, Fabregas, dan bintang-bintang Barcelona yang menulangpunggungi tim tersebut menjadi the dream team berikutnya di bawah pelatih Pep Guardiola. ”Johan Cruyff yang membangun kapel dan pelatih Barcelona setelah itu hanya merestorasi atau memperbaikinya,” kata Pep Guardiola.
Johan Cruyff adalah pemain sepak bola yang terus-menerus berpikir tentang seperti apa seharusnya sepak bola dimainkan. Ia seperti tidak puas hanya bermain, memperlihatkan kesempurnaan teknik yang ia miliki, mencetak gol banyak-banyak, dan menang. Ia seperti memiliki obsesi tak berkesudahan untuk menemukan rahasia permainan tersebut. Ia tidak ingin sekadar bermain. Ia ingin bermain dengan gaya dan menang juga dengan gaya. Bagi dia, sepak bola adalah permainan pikiran. ”Kau bermain bola dengan pikiranmu,” katanya, ”Kaki-kakimu hanya alat bantu.”
Tetapi, ia juga tidak suka sekadar bergaya, ia ingin menemukan keindahan yang mampu membunuh lawan. Pergulatan pemikirannya tentang sepak bola akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa permainan yang indah itu adalah permainan yang simpel. ’’Tetapi, bermain simpel itu tidak mudah,” katanya. ’’Untuk bisa memainkan sepak bola secara simpel, kau membutuhkan pemain bagus.”
”Adapun para pemain bagus sering bermasalah karena mereka bermain tidak efisien. Kau bisa melakukan juggling seratus kali dengan melatih diri, tetapi itu hanya cocok untuk menjadi pemain sirkus.”
Kini sang pemikir sepak bola itu, orang yang selalu menginginkan kemenangan yang bergaya, sudah pergi. Kamis, 24 Maret 2016, ia meninggal setelah melawan kanker paru-paru. Itulah pertandingan terakhirnya. Cruyff didiagnosis mengidap kanker paruparu pada 22 Oktober 2015. Ia sebelumnya menjalani operasi bypass jantung pada 1991, saat menangani Barcelona. Tahun berikutnya setelah operasi jantung, 1992, ia membawa klub Catalan tersebut memenangi Piala Eropa (sekarang menjadi Liga Champions).
Mengenai pergulatannya melawan kanker paru-paru, pada Februari ia menulis: ’’Saat ini saya merasa sedang unggul 2-0 di babak pertama dan pertandingan masih belum selesai. Tetapi, saya yakin saya akan menang.’’
Kali ini ia kalah. ”Saya shock,” tulis Franz Beckenbauer di Twitter, Kamis, 24 Maret 2016. ”Johan Cruyff meninggal. Ia bukan sekadar teman karib, tetapi saudara bagi saya.”
Kita mengenal nama-nama besar di lapangan sepak bola masa lalu, tetapi hanya Johan Cruyff yang terus hadir dan memberikan pengaruh bagi sepak bola sampai hari ini meski sudah tidak bermain lagi dan tidak menangani klub mana pun. Ia tetap menjadi orang yang dihormati dan didengar pendapatnya oleh Barcelona. Ia tetap memberikan pemikiran-pemikirannya tentang permainan sepak bola.
Ada juga yang menganggap Cruyff sebagai si pahit lidah setelah tidak bermain lagi dan tidak menangani klub mana pun. Ia mengecam Jose Mourinho yang menerapkan sepak bola pragmatis –sesuatu yang sangat berlawanan dari pandangan dan kecintaan Cruyff akan sepak bola. Bagi Cruyff, sepak bola harus dimainkan dengan indah dan efisien. Indah saja dan tidak menang adalah mubazir. Menang tanpa keindahan adalah membosankan. Dan ia membuktikannya di lapangan: ia memainkan bola seperti seorang penari dan ia selalu menang.
Orang mengatakan bahwa hanya juara yang diingat orang, runner-up dilupakan. Itu tidak berlaku bagi ”Jon Krep”. Pada saat itu orang mencatat apa yang dinamakan ”Liukan Cruyff” –salah satu gerak di lapangan sepak bola yang dinilai sebagai tarian terbaik oleh English National Ballet, 2008. Belanda gagal menjadi juara Piala Dunia 1974, tetapi kesebelasan yang dipimpin Kapten Johan Cruyff itu lebih banyak dibicarakan orang –meski juaranya adalah Jerman Barat. (*)
Akun Twitter: @aslaksana