Blur dan Fobia Tubuh
Oleh ARIS SETIAWAN
BANYAK meme bernada sindiran muncul di media sosial sesaat setelah kontes kecantikan Putri Indonesia ditayangkan salah satu televisi nasional beberapa waktu lalu. Penyebabnya sederhana, yakni adanya gambar blur ( blurred) pada bagian dada dan paha para perempuan cantik itu. Paha dan belahan dada yang mencuat itu dianggap sebagai pornografi, merusak mental dan moral generasi muda Indonesia. Tidak ada jalan lain selain mengaburkan itu.
Bukan hanya itu, kini kita akan terbiasa melihat wajah atau kepala seorang aktor menjadi tidak jelas (blur) karena asap rokok tepat melewati depan wajahnya. Tidak ada jalan lain, gambar rokok dan asapnya juga harus dikaburkan. Bahkan yang paling membuat kita geli, celana dalam dan paha Sizuka, tokoh gadis cilik dalam serial kartun Doraemon, juga harus diblur.
Hari-hari ini televisi kita memang sesak dengan gambar-gambar blur. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merasa bahwa aksi itu dilakukan demi menjaga martabat bangsa yang menjunjung nilai-nilai dan etika ketimuran. Namun sayang, aksi tersebut hanya sebatas teknis dengan sensor-menyensor gambar. Sementara banyak sinetron dan acara dengan muatan nilai yang tak mendidik, di luar logika, mengumbar kekerasan, pergaulan bebas, lolos tanpa disensor. Fobia
Wartawan dan penulis kolom Ngopi Sore T. Agus Khiadir sampai merasa perlu membuat ulasan (kritik) khusus hingga dua kali berturutturut terkait dengan persoalan ini. Menurut dia, sudah sedemikian parahkah moral generasi muda kita saat ini sehingga akan terangsang jika melihat paha dan celana dalam Sizuka. Atau bahkan, pada suatu siang, saat acara anak-anak di televisi nasional mengulas cara membuat susu sapi, (maaf ) tetek sapi pun harus diblur. Apakah dengan melihat tetek sapi di televisi naluri seksualitas manusia akan tumbuh membabi buta, lalu berbuat kejahatan dengan memerkosa lawan jenisnya, atau bahkan sapi dan hewan-hewan yang lain? Pertanyaannya kemudian, sebegitu besarnyakah ketakutan KPI sehingga kemaluan hewan pun harus diblur dan dianggap sebagai ancaman bagi generasi Indonesia.
Awalnya, logika mengeblur gambar mungkin dapat kita terima lewat akal sehat saat berhubungan dengan aspek kesehatan, semisal rokok dan alkohol. Kampanye hidup sehat menjadi acuan sehingga apa pun yang dianggap merusak kesehatan tidak layak untuk ditayangkan. Namun, pada konteks ini, ambivalensi juga terjadi. Gambar-gambar rokok disunting dengan dihilangkan dari peredaran, sementara iklan rokok tetap dibiarkan tayang. Artinya, KPI masih mengacu kepada hal-hal yang bersifat tangible atau yang kasatmata daripada intangible berupa pesan, nila-nilai, dan kandungan makna yang ada.
Begitu juga halnya dengan persoalan sensor-menyensor tubuh perempuan. Artis-artis perempuan yang memiliki dada besar dan berpakaian serbaketat dibiarkan dengan alasan tidak ada kulit paha yang terlihat dan tak tampak garis belahan dadanya. Sementara itu, sineron yang menjual aksi-aksi kenakalan remaja, mengumbar kisah asmara berlebihan, kekerasan, dan hedonisme dibiarkan tetap tayang.
Pada titik inilah kita mengalami apa yang disebut sebagai ’’fobia tubuh”. Tubuh-tubuh dianggap sebagai ancaman bagi kehidupan. Tubuh bukan semata kumpulan daging dan rangkaian tulang, namun juga mengandung deretan makna dan tafsir baru.
Salah seorang pengguna Facebook Dea Safira menghadapi kenyataan bahwa akun Facebooknya diblokir lantaran dia mengunggah gambar-gambar perempuan Indonesia tempo dulu yang bertelanjang dada. Dia mengisahkan bagaimana peradaban Indonesia dibangun dari sebuah ketelanjangan. Sejarah mengingatkan kepada kita bahwa tubuh perempuan mengalami dekonstruksi tafsir seiring dengan berjalannya waktu. Sebagai data dan fakta sejarah, kini ketelanjangan tubuh perempuan dicoba untuk diingkari. Kita kemudian menjadi gagap dalam mencerna persoalan tubuh, tidak lagi dapat membedakan apa yang disebut dengan seksualitas, gender, pornografi, dan erotisme.
Akibatnya, apa pun yang berhubungan dengan belahan dada dan kulit paha wajib diblur atau disensor karena dianggap pornografi. Tak peduli apakah tayangan tersebut mencoba menyuguhkan informasi lain tentang pendidikan sejarah kebaya misalnya (lihat kontes Putri Indonesia). Setelah fobia komunisme, halal-haram agama dan aliran kepercayaan, kini tubuh menjadi fobia baru di negeri ini. Dan KPI menjadi penjaga gawang terdepan atas nama moralitas dan nilai-nilai ketimuran.
Terbaru, seruan agar tidak menampilkan artis ’’pria melambai’’ atau kewanita-wanitaan di layar televisi kita mulai didengungkan. Penyebabnya sederhana, karena beberapa artis pria diindikasikan melakukan pelecehan seksual terhadap beberapa anak laki-laki di bawah umur. Pembawaan tubuh dan perilaku artis di panggung hiburan dianggap biangkeladinya. Namun sayang, hingga saat ini, kita belum menjumpai penelitian yang sahih, ilmiah, dan kebenaran asumsi tersebut bisa dipertanggungjawabkan.
Padahal, kuasa tubuh laki-laki yang menjadi kewanita-waniataan di panggung hiburan telah lama dapat kita telusuri dalam panggung pertunjukan tradisi kita. Ludruk, salah satu di antaranya. Hampir semua pemain ludruk adalah laki-laki. Mereka merias tubuh layaknya perempuan hanya di penggung pertunjukan. Setelah itu, mereka menjadi laki-laki normal, memiliki anak dan istri.
Dalam dunia hiburan nasional, pelawak Tesy adalah contoh ideal. Dia menjadi feminin, membalut tubuhnya dengan menggunakan baju perempuan, tampil ’’cantik’’ di penggung, namun maskulin dan macho di baliknya. KPI kemudian mencekal dia, dianggap menularkan perilaku yang tak normal karena mengenakan baju dan berias seperti perempuan.
Sementara itu, di sisi lain, almarhum Olga Syahputra dan banyak artis lain yang berperilaku ’’melambai’’ saat itu diperbolehkan tayang. Apakah dengan demikian ludruk di Jawa Timur atau lengger di Banyumas tidak layak ditonton, terlebih untuk masuk dunia pertelevisian kita karena dianggap merusak moral bangsa? Karena itu, idealnya kita harus lebih bijak dalam membaca dan mencerna segala persoalan, termasuk urusan tubuh. Bukankah, sebagaimana ungakapan Foucault (1976), semakin privat kelambu pornografi itu ditutup-tutupi, ia akan tetap menemukan ruang baru untuk dirayakan.
Hari ini mungkin hanya belahan dada dan paha, ke depan mungkin perut, lidah, bibir, bahkan jari kaki. (*)
Etnomusikolog, pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta