Sabdo Palon Berbasis Aplikasi
TIGA hari seperti yang diramalkan Petruk berakhir sudah. Namun, Sabdo Palon belum mak njegagik juga. Keyakinan ponokawan jangkung tersebut meleset. Penduduk sekampungnya, Kembang Sore, semua mencibir ketepatan nujumnya. ’’Mana Sabdo Palonmu kok gak nongol-nongol, Cuk?” pekik nenek-nenek di antara mereka, tentu, sembari batuk berkepanjangan.
Sebenarnya Gareng sudah mengingatkan Petruk. Menurut hemat kakak Petruk itu, Sabdo Palon bukanlah sosok manusia yang kebetulan juga abdi setia Prabu Brawijaya V. Dia non-manusia. Sesuai makna namanya, Sabdo itu sabda. Palon, ya, tembang indah. Sabda yang disampaikan dalam irama nan indah. Penduduk menanti-nantikannya sebagai manusia? Hah, mereka bakal menunggu pepesan hampa!
’’Jadi, Truk, sebenarnya Sabdo Palon telah lama muncul. Itulah Raya gubahan W.R. Supratman,” demikian Gareng setelah ditariknya Petruk ke dalam rumahnya. Kebetulan senja itu Gareng sedang bertandang ke gubuk adiknya di kampung Kembang Sore.
Andai tak ditarik Gareng, Petruk sudah mencungul keluar. Hatinya yang biasanya woles kali itu membara. Ia ingin menghadapi para warga yang merasa diombang-ambingkan oleh ramalannya. Kalau tak dihadapinya dengan jantan, aksi mereka bakal berubah menjadi aksi vandalistis bagai demo pengemudi angkutan yang berbasis non-aplikasi...
O ya, ngomong-ngomong tentang bisnis yang berbasis aplikasi dan nonaplikasi, sesungguhnya pernikahan adalah bisnis tercanggih. Jauh lebih maju dibanding taksi, ojek, dan sejenisnya. Sebelum ada internet, pernikahan sudah berbasis aplikasi, yaitu sesuai arti harafiah ’’aplikasi”: lamaran!
Kembali ke topik kampung Kembang Sore... Untung Gareng segera menarik Petruk ke dalam rumah walau Bagong tak sepakat. Bagi bungsu ponokawan itu Sabdo Palon yang berarti sabda dalam keelokan langgam tak selalu harus berupa Indonesia Raya.
’’Maksudku Sabdo Palon bisa muncul dalam Sabda Alam- nya Chrisye atau Walang Kekek- nya Waljinah atawa berupa suara indah Kiai Gunung Merapi menjelang erupsi,’’ kata Bagong.
Hohohoho... Petruk menampiknya. Ia ingat, dulu waktu erupsi Kiai Merapi yang terakhir ada yang memotret awan di atas wedus gembel seputar kawah Merapi. Bentuk awan hitam itu mirip Petruk. Ia tampak cengengesan di tengah indah dan magisnya nyanyian gemuruh gunung. Warga tersebut mengunggahnya di media sosial.
’’Kalau begitu Sabdo Palon adalah aku sendiri, Gong?” tanya Petruk. Nada omongannya cenderung mbagusi, seolah memang dialah Sabdo Palon itu. Kebetulan suara Petruk adalah yang terbaik di antara seluruh ponokawan.
Kebetulan juga ada sebagian orang yang percaya bahwa penunggu Kiai Merapi itu kalau tak Sabdo Palon ya Petruk sendiri. Mungkin itu pula yang sedianya akan dipelesetkan Petruk untuk mendinginkan kerumunan manusia di depan rumahnya, ’’ Sedulur-sedulur, ada kabar baik dari hati: Sebetulnya Sabdo Palon sudah datang, yaitu saya sendiri!”
*** Kata ’’anarki” masih kerap disalahkaprahkan dengan ’’vandal”. Anarki yang arti awalnya baik, yaitu gerakan untuk mandiri, ditukar dengan gerakan seenak udelnya sendiri, yaitu vandal.
Ya, warga di halaman depan rumah Petruk hampir saja berubah menjadi vandalis bagai demo orangorang angkutan umum yang nyaris melumpuhkan ibu kota beberapa hari lalu. Di samping lantaran Petruk tak muncul-muncul, juga gegara ada usulan agar di ruang publik laki-laki dipisahkan dengan perempuan.
’’Terus nanti untuk menghindari aksi LGBT, yang laki-laki masih harus dipisahkan lagi dari laki-laki, yang perempuan juga masih harus dipisahkan lagi dari perempuan... Lha terus kami harus berkumpul dengan cara yok
teriak seorang pemuda. Seorang tua melerainya. ’’Sudahlah,” petuahnya dengan nada woles, ’’Negara kita ini tidak berbasis aplikasi, tapi berbasis Pancasila. Pendapat bahwa di tempat-tempat umum lelaki perlu ditabiri dari perempuan harus dihargai walau kamu tidak setuju.”
Mendadak pecah suara dari langit. Seluruh kerumunan manusia mendongak. Mereka seperti dapat menerawang titisan Dewa Smaranata. ’’Itu Sabdo Palon!!!” seru sekalian bocah.
Orang tua yang tadi berpetuah pun turut memastikan bahwa penampakan di langit itu memang abdi setia Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. ’’Itulah, Nak, sosok yang berpisah dengan sang raja di Gunung Lawu karena perbedaan keyakinan tentang masa depan Nusantara. Perbedaannya apa, nanti-nanti Kakek dongengi,’’ katanya kepada para bocah.
Para pemuda dan pemudi menerawang tokoh itu sebagai sosok yang agak gemuk dan tinggi, berhidung mancung seperti paruh burung betet, kulitnya putih, rambutnya agak ikal diikat di atas, khas rambut lelaki masa Majapahit. Tampaknya juga sedang mengunyah permen karet.
Kepada para generasi muda tersebut Pak Tua tadi memberi pencerahan, ’’Sebenarnya yang kalian lihat itu arwah. Makamnya ada di Troloyo, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan. Dialah lelaki yang termaktub dalam Jangka Lengkapnya
gubahan R. Ng. Ronggowarsito.’’
Di Jumat Agung itu seorang janda muda yang parasnya mirip Dayang Sumbi nyeletuk ke-Sunda-Sunda-an, ”Kok Sabdo Palon-nya sendirian? Si Budak Angon-nya ti mana atuh?”
Petruk memang pernah bilang bahwa kemunculan Sabdo Palon kali ini tak ditemani oleh sejawatnya Noyo Genggong, tapi oleh abdi setia raja besar Pajajaran Prabu Siliwangi itu.
Langit kembali bersuara, ’’Budak Angon-nya engke wae, nya’. Kini abdi’ muncul bade mengingatkan kalian sadaya’. Sudahlah, jangan main syak wasangka ini itu. Sertifikasi halal sampai ke baju dan lain-lain itu jangan kalian curigai sebagai usaha pemberi sertifikat untuk menambah penghasilan.’’
Sabdo Palon menambahkan, ’’Memang. Ibaratnya di dalam masyarakat yang mayoritas kambing, yang perlu dapat sertifikat justru babi dan lainlain yang bukan kambing. Bukan malah kambingnya yang disertifikasi. Aneh! Tapi, kalian jangan lantas su’udzon bahwa memberi sertifikat pada non-kambing, yang jumlahnya sedikit, akan mengurangi income. Mari kita semua husnudzon... Karena negara kita ini berbasis Pancasila bukan berbasis A-...?”
’’Aplikasiiii!!!” seru sekalian bocah yang diintip para ponokawan dari dalam gubuk Petruk. (*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com / www.sudjiwotedjo.com /
twitter @sudjiwotedjo