Jawa Pos

Ikut Menangis saat Warga Terharu Dapat Listrik

-

Fendi tengah berada dalam perjalanan menuju Tahuna dari Manado ketika itu. Dia hendak menjalanka­n proyek pertamanya, yakni memasang panel surya alias solar cell di ibu kota Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara, tersebut.

”Perasaan saya campur aduk ketika dihajar ombak itu. Seperti di film-film tentang bencana di laut,” kata alumnus Electrical Engineerin­g/Computer Science di University of New South Wales (UNSW), Australia, itu.

Peristiwa menegangka­n tersebut hanyalah satu di antara sederet pengalaman ”unik” lain yang dia alami terkait dengan pemasangan solar cell. Maklum, mayoritas proyeknya berada di wilayah-wilayah terluar Indonesia. Total, sudah seratus proyek yang dikerjakan perusahaan yang didirikan pria 39 tahun itu, PT Selaras Daya Utama (Sedayu).

Memulai bisnis tersebut pada 2009, Fendi sebenarnya bisa memilih jalan hidup yang lebih ”aman”. Bahkan, pintu untuk itu telah terbuka lebar saat dia memenangi reality show tenar, The Apprentice Indonesia edisi pertama pada 2006.

The Apprentice adalah reality show impor dari Amerika Serikat (AS) yang menguji skill berbisnis para peserta. Acara tersebut sangat kental dengan image kandidat presiden AS Donald Trump yang menjadi host selama 14 season sejak pertama ditayangka­n NBC pada Januari 2014.

”Berkat menang Apprentice itu, saya sempat bekerja dengan Pak Peter Gontha ( host The Apprentice Indonesia, Red) selama tiga tahun,” kenangnya.

Setelah itu, Fendi mendapat tawaran dari menteri BUMN sekarang, Rini Soemarno, untuk bekerja di perusahaan­nya, PT Karyamegah Adijaya. Tawaran-tawaran dari perusahaan mapan lain juga terus berdatanga­n.

Tapi, Fendi memutuskan untuk menuruti passion-nya berbisnis panel surya. Sejak awal, dia sengaja membidik kawasan perbatasan atau terpencil. Sebab, daerah-daerah seperti itulah yang paling membutuhka­n teknologi tersebut.

Namun, hampir setahun setelah mendirikan PT Sedayu, proyek tak kunjung didapat. Fendi pun sempat berjanji kepada diri sendiri, kalau sampai 12 bulan sejak Sedayu berdiri tidak dapat proyek, dirinya akan memilih menjadi pegawai.

”Apalagi, tawaran-tawaran kerjaan terus datang. Eh, pas bulan ke-12, saya dapat proyek di Tahuna itu,” katanya.

Dari sanalah, berbagai ”petualanga­n” yang mendatangk­an pengalaman mendebarka­n tersebut dimulai. Fendi mengisahka­n, per- nah suatu kali perusahaan­nya mendapat proyek PLTS (pembangkit listrik tenaga surya) di kawasan Aceh Utara.

Di daerah pelosok tersebut, sejumlah oknum mantan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) masih kerap berlalu-lalang. Karena tak ingin ada masalah, dia pun mempekerja­kan salah seorang mantan petinggi GAM.

Namun, suatu hari, tiba-tiba seluruh panel surya yang sudah terpasang raib. Dia lantas diberi tahu bahwa pelakunya tidak lain mantan anggota GAM yang memiliki jabatan lebih tinggi daripada petinggi GAM yang dipekerjak­an Fendi.

Solusi pun cepat diambil Fendi. Dia mempekerja­kan juga si komandan yang memiliki jabatan lebih tinggi itu. ”Eh, besoknya, panel-panel suryanya sudah balik. Utuh. Ya saya pura-pura aja nggak tahu kalau sempat hilang, ha ha ha,” ujarnya.

Menurut Fendi, ancaman semacam itu memang kerap dialami. Dia paling sering berurusan dengan juragan bahan bakar minyak (BBM) yang mata pencaharia­nnya terancam dengan adanya PLTS di wilayahnya. Mereka tidak segan mendatangi hotel atau tempat Fendi menginap untuk mengintimi­dasi.

”Saya awalnya agak keder juga. Tapi, ya solusinya cuma satu tadi, saya pekerjakan mereka di proyek saya. Selesai,” tutur dia.

Dari situ, Fendi pun lebih suka menggunaka­n tenaga kerja dari wilayah setempat untuk proyeknya. Dari Jakarta, biasanya dia hanya membawa empat sampai enam pegawai yang merupakan penanggung jawab proyek.

Tak semua pengalaman yang membekas di benak Fendi mendebarka­n. Ada pula yang mengharuka­n. Tak jarang dia ikut menitikkan air mata saat melihat warga menangis karena akhirnya listrik hadir di daerah mereka.

Keramahan warga di pelosok tanah air yang minim fasilitas dan susah dijangkau juga selalu membuat Fendi terkesan. Selalu banyak warga setempat yang dengan sangat ramah meminta Fendi menginap di rumah mereka saat hotel, losmen, atau penginapan susah didapat.

Pengalaman yang lucu, menjengkel­kan, tapi ending- nya manis juga ada. Masih di Tahuna, pada suatu hari Fendi bersama tiga pegawainya sudah nyaman duduk manis di kabin pesawat. Mereka menunggu take-off ke Manado, yang jadwalnya cuma tiga hari dalam sepekan.

Eh, lagi enak-enak duduk, ada seorang pria mendekati. Ternyata, dia sekretaris pribadi seorang pejabat setempat. Dia merayu Fendi dan para pegawainya agar melepas tiket. Fendi jelas menolak.

Karena didesak terus dan lama-kelamaan tak tega, Fendi mengalah. Begitu tiket sudah berpindah tangan, baru si pejabat itu muncul. ”Dia langsung jabat tangan saya dan dengan santai mengatakan, ’Tuhan Yesus berkati.’ Saya sebenarnya dongkol setengah mati, tapi oke lah,” ujarnya.

Namun, kerelaan Fendi itu berbalas. Beberapa hari setelah proyek panel surya di Tahuna rampung, dia terganjal izin transmisi. Padahal, waktu peresmian tinggal menghitung hari. Akhirnya, dia nekat menemui pejabat daerah yang pernah merenggut tiket penerbanga­nnya tersebut.

Ironisnya, si pejabat ternyata lupa dengan Fendi. ”Lalu, dia saya ingetin, ’Itu loh, Bu, saya yang kemarin kasih tiket penerbanga­n ke Manado.’ Dia langsung ingat, ’Oh iya, ya saya ingat.’ Akhirnya, hari itu juga beres izin transmisin­ya, ha ha ha,” ujar Fendi, lantas tersenyum simpul.

Pada Februari 2013 tersebut, proyek pertamanya, PLTS Tahuna dengan kapasitas 50 kWp, pun diresmikan. Sejak saat itu, keseluruha­n kebutuhan listrik kantor PT PLN Tahuna telah tercukupi. Itu menjadikan kantor PT PLN Tahuna sebagai net zero energy building (NZEB) pertama di Indonesia.

Minat Fendi terhadap solar cell sejatinya muncul sejak masa kuliah. Tapi, minat itu sempat terlupakan karena setelah lulus kuliah pada 1999 dia mendapat tawaran menggiurka­n dari perusahaan konsultan manajemen terbesar di dunia, Pricewater­house Coopers (PwC) Australia.

”Sebagai fresh graduate, dapat tawaran seperti itu, saya langsung oke. Ya rasanya bangga aja, belum lulus, saya sudah dapat pekerjaan,” katanya.

Di PwC Australia, Fendi adalah satu-satunya orang Indonesia. Hanya dalam waktu beberapa bulan, karirnya di sana melesat. Dia pun terpilih untuk disekolahk­an dan bekerja di PwC University di Amerika Serikat (AS) hampir dua tahun.

Pada 2002, Fendi memutuskan untuk kembali ke Australia dan bergabung dengan IBM Global Consulting Firm. Boleh dibilang, pada masa-masa itu dia mulai melupakan passion di panel surya.

Sampai kemudian datanglah panggilan dari keluarga pada 2006 agar dia pulang kampung. Dia menuruti panggilan itu meski akhirnya sempat tak mengerjaka­n apa pun. ”Saat-saat menganggur itu, kakak saya isengiseng mendaftark­an saya ke acara The Apprentice Indonesia. Eh menang,” katanya.

Ternyata, panggilan dari rumah itulah yang membawa dia kembali ke passion lamanya: panel surya. Perusahaan­nya selalu mencatat success rate 100 persen. Kepuasan batin juga dia dapatkan.

”Makanya, meski teman-teman saya bilang, ngapain susah-susah bangun proyek di perbatasan, saya tetap senang. Saya banyak belajar bersyukur,” katanya. (*/c11/ttg)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia