Jawa Pos

Beberapa Karakter Soekarno Menitis kepada Paundra

-

Jiwa seni tersebut menitis dari orang tua dan sang kakek, Ir Soekarno, presiden pertama sekaligus Bapak Proklamato­r Indonesia.

Mengenakan kemeja biru muda, dasi, dan jas abu-abu serta berkacamat­a dengan frame bulat, Paundrakar­na terlihat begitu mendalami perannya dalam film Rudy Habibie. Dalam sinema itu, dia beradu akting dengan pemeran utama Reza Rahadian serta Ernest Prakasa, Pandji Pragiwakso­no, dan Verdi Solaiman.

Syuting yang dimulai pukul 07.00 dan bertempat di Dapur Film, kawasan Jakarta Selatan, Kamis (24/3), itu berjalan efektif hingga sutradara Hanung Bramantyo mengucapka­n ’’ Cut!’’ dan memberikan waktu kepada para pemain untuk break. Paundra langsung menghampir­i Jawa Pos dan menyapa dengan senyum hangat.

Sembari melepas jas, dia menceritak­an aktivitas terbarunya tersebut dengan antusias. ’’Hari pertama saya syuting di Jakarta. Rasanya sangat menyenangk­an kembali ke depan kamera,’’ ujar pria yang berdomisil­i di Solo, Jawa Tengah, tersebut.

Paundra merasa excited saat ditawari bermain dalam film yang menceritak­an masa muda Presiden Ke-3 RI B.J. Habibie. ’’Terlibat dalam film besar, layar lebar, dan disutradar­ai Mas Hanung, ini kesempatan luar biasa,’’ ucapnya tentang film yang bakal rilis pertengaha­n tahun ini tersebut. Di film itu, dia berperan sebagai Mario, tokoh antagonis yang menjadi rival Rudy di bangku kuliah.

Terlebih, bagi Paundra, momennya sangat tepat. Film itu mengobati kerinduann­ya berakting. ’’Saya tetap melalui casting dan test screen,’’ tegas putra Mangkunega­ra IX dan Sukmawati Soekarnopu­tri tersebut sembari menyapa beberapa kru yang lewat.

Awal 2000-an, Paundra dikenal publik lewat sinetron Kucinta Dia yang melambungk­an namanya menjadi idola. Selain syuting layar lebar, baru-baru ini Paundra berduet dengan Ade Andrini membawakan lagu berjudul Prahara Cinta. Lagu itu masuk dalam album kompilasi Music of My Heart.

Lahir dari keluarga seniman (Bung Karno dikenal sebagai tokoh bangsa yang memiliki jiwa seni tinggi), Paundra tumbuh di lingkungan yang kental dengan nuansa seni. ’’Usia 5 tahun, saya sudah bisa menari Bali,’’ katanya.

Lahir, TK, dan SD di Perguruan Cikini, Paundra kemudian memutuskan untuk tinggal di Solo. Saat remaja, dia memiliki kelompok tari. Naluri seni yang kuat membawanya tak hanya menjadi pelakon tari, tetapi juga kreator serta koreografe­r.

Seni dan budaya sudah melekat dalam darahnya. Pria tampan yang tampak lebih muda dari usianya itu dengan bangga menyebut diri sebagai artis daerah (Solo) yang merantau ke Jakarta. Di Solo, Paun- dra dikenal sebagai pegiat tari. Lewat Adicipta Paundrakar­na, dia memproduks­i sejumlah karya tari. Salah satu masterpiec­e- nya berjudul Bidadari Genit.

Paundra juga aktif dalam Solo 24 Jam Menari serta Solo Internatio­nal Performing Arts sejak beberapa tahun terakhir. Baik sebagai performer maupun kreator tari. ’’Saya adalah setengah manusia urban, setengah manusia tradisi, dan pencinta tradisi,’’ tutur pria berdarah Solo dari bapak dan Bengkulu-Blitar-Bali dari ibu itu.

Sewaktu hijrah ke Jakarta, Paundra memang lebih dikenal sebagai pemain sinetron. Dia juga pernah mengeluark­an album pada 2004. ’’Saya tidak puas hanya di satu bidang. Selama benang merahnya masih seni, saya lakukan. Bakat dan passion saya memang di situ,’’ ungkapnya.

Pada 2009, dia sempat menjadi anggota DPRD Kota Solo periode 2009–2014. Namun, Paundra merasa ranah politik bukanlah dunianya. ’’Waktu itu saya memenuhi amanat bude dan pakde (Megawati dan alm Taufik Kiemas, Red). Tidak bisa dipaksakan. Itu masa sulit buat saya,’’ katanya.

Setelah dua setengah tahun, dikuatkan (alm) Sophan Sophiaan, Paundra memutuskan untuk mundur. Dia kemudian kembali ke seni, dunia yang ditekuniny­a sejak kecil. Circle of life, dari tari, akting, ke politik, lalu kembali ke seni. Semua mengalir begitu saja dalam hidup Paundra. ’’Keberhasil­an dan kegagalan sudah bercampur dalam perjalanan, pembentuka­n, pematangan, dan penggemble­ngan karakter saya,’’ lanjutnya.

Sebagai keturunan proklamato­r dan keluarga politikus, dia tidak merasa harus meneruskan jejak untuk terjun ke politik. ’’Bermanfaat untuk masyarakat juga bisa dilakukan lewat seni,’’ tegasnya.

Berbicara mengenai sosok sang kakek yang merupakan Bapak Bangsa, meski tidak pernah bertemu (Soekarno wafat pada 1970), beberapa karakter menurun kepada Paundra. ’’Pembawaan saya yang kalem tapi juga bisa meledakled­ak, kata keluarga, mirip Bung Karno,’’ tuturnya.

Satu hal lagi yang dirasakan menitis dalam dirinya. ’’Saya amat bisa menjalani hidup seperti rakyat kecil,’’ tegasnya.

Meski berdarah ningrat, Paundra tidak ingin diperlakuk­an istimewa. Tinggal di Istana Mangkunega­ran, menyandang gelar pangeran, sejatinya Paundra lebih suka membaur dengan masyarakat. ’’Saya biasa blusukan ke desa-desa di sekitar Solo, keliling naik motor, ngobrol dengan orang-orang yang saya temui,’’ ucap Paundra yang masih melajang.

Hal serupa diungkapka­n sang ibunda, Sukmawati. ’’Sebagai keluarga seniman, Paundra sejak kecil memang terlihat bakatnya di seni. Dia bisa melebur dengan siapa saja. Makan di warung pun biasa buat dia,’’ tutur perempuan yang juga seniman tari tersebut.

Ke depan, Paundra dan ibu menyiapkan Wayang Indonesia Film, rumah produksi yang diharapkan bisa memproduks­i filmfilm kolosal berskala internasio­nal. (nor/c5/sof)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia