Tim Transisi: Panpel Asal Comot Wasit
Pra-PON 2016 Banjir Kerusuhan
SURABAYA – Sepak bola tanah air, tampaknya, punya penyakit laten. Kericuhankericuhan yang terjadi dalam pelaksanaan prakualifikasi PON 2016 merupakan bukti bahwa tata kelola sepak bola Indonesia masih jauh dari sempurna.
Wajah bopeng sepak bola Indonesia seakan menemukan muara sempurna dalam ajang tersebut. Sebab, yang bertanding adalah pemain-pemain muda. Artinya, sikap tidak sportif ternyata tumbuh sejak belia.
Pelatih sepak bola Jatim Hanfing menyesalkan banyaknya kejanggalan yang terjadi dalam pelaksanaan Pra-PON. Misalnya saat pertandingan Jawa Timur melawan DKI Jakarta Kamis (24/3). Ketika itu, pada menit ke-74, wasit dikeroyok pemain dan ofisial Jakarta. Namun, panitia justru memutuskan melanjutkan pertandingan keesokan harinya dengan sisa waktu 16 menit.
Padahal, insiden pemukulan terhadap wasit bukanlah force majeure. ’’Saat itu kami sudah tidak mau ikut pertandingan lanjutan karena kami sudah unggul 2-1. Tetapi, panpel mengancam, kalau Jatim tidak bersedia main di pertandingan lanjutan, kami akan dianggap walk over (WO),’’ keluh Hanafing.
Seharusnya, lanjut dia, panpel yang terdiri atas tim transisi dan Asosiasi Provinsi Jawa Barat menjunjung tinggi fair play. ’’Panpel harusnya ikut regulasi di handbook- nya dan tidak ngawur begitu,’’ imbuh pelatih yang memegang lisensi kepelatihan FIFA Instructor Coach Futuro III tersebut.
Sementara itu, anggota Tim Transisi Cheppy T. Wartono justru menyalahkan Asprov PSSI Jabar atas insiden memalukan itu. ’’Inilah buktinya kalau PSSI yang memimpin,’’ kata Cheppy.
’’Dua kali kami rapat koordinasi, banyak hal yang tidak disepakati. Contohnya, mereka tidak ingin menggunakan wasit yang kami rekomendasikan dari AWAPPI (Asosiasi Wasit dan Perangkat Pertandingan Profesional Indonesia),’’ imbuhnya.
Di ajang Pra-PON tahun ini, keputusan wasit memang kerap menuai kontroversi. Dampaknya, wasit berkali-kali menjadi sasaran pemukulan oleh pemain dan ofisial. Selain Jatim melawan Jakarta, kerusuhan terjadi pada pertandingan Papua versus Maluku Utara dan Sulawesi Utara versus Gorontalo.
’’Panpel asal comot wasit dan tidak ada koordinasi dengan kami dan pengurus AWAPPI. Kalau AWAPPI turun, itu harusnya satu tim full mulai wasit, hakim garis, hingga pengawas pertandingan. Tidak setengahsetengah seperti ini,’’ kata Cheppy.
’’Jujur kami kecewa dengan cara kerja Asprov Jabar. Sebab, kami sama sekali tidak dilibatkan dalam OC ( organizing committee), hanya dalam steering committee (SC). Saya kecewa sekali. Memang, seharusnya yang dibekukan PSSI pusat sampai ke daerah-daerah,’’ imbuh politikus PDIP tersebut.
Secara terpisah, Sekjen Asprov PSSI Jawa Barat Jafar Sidiq menyatakan bahwa wasit sudah sesuai standar. Semua sudah memiliki lisensi. Selain itu, menurut dia, tak benar panpel mengancam Jatim walk over (WO) bila tak bersedia mengikuti laga lanjutan.
’’Laga lanjutan itu diputuskan karena keamanan sudah tak sanggup. Wasit juga tidak sanggup lagi karena babak belur setelah pemukulan dan langsung kami bawa ke rumah sakit untuk divisum,’’ ungkapnya.
Kegagalan Jatim sendiri menuju PON adalah yang pertama terjadi dalam sejarah. Ini ironis karena Jatim sempat tiga kali beruntun mendulang emas PON. Yakni, pada 2000, 2004, dan 2008.
Ketua Harian KONI Jatim M. Nabil tidak menyangkal dirinya kecewa dengan kegagalan tersebut. Menurut dia, dari segi program pembinaan, komposisi pemain dan pelatih sudah sangat baik. ’’Jatim berduka. Dalam pertandingan, ada yang namanya nasib. Nasib belum berpihak kepada kami,’’ kata Nabil. (nes/c17/nur)