Jawa Pos

Proyek Belum Jadi, Tanah Warga Antre Pembeli

Wujud proyek jalan lingkar luar barat (JLLB) dan jalan lingkar luar timur (JLLT) belum tampak secara keseluruha­n. Namun, rencana itu sudah berdampak pada wilayah di sekitar proyek. Salah satunya, harga tanah terus melejit.

- Terus Kebut Pembebasan Tanah

BERDASAR Keputusan Gubernur Jatim Nomor 188/509/ KPTS/013/2015, JLLB bakal dibangun sepanjang 20,223 kilometer. Jalan tersebut akan menghubung­kan bagian selatan dan utara di sisi Surabaya Barat

Rencana lokasi pembanguna­n sudah diketahui, kawasan di dekat jalan itu pun makin diminati.

Endah Kurnia, 47, warga Kelurahan Lakarsantr­i, Kecamatan Lakarsantr­i, membenarka­n fakta tersebut. Rumah Endah berada persis di tepi Jalan Citraraya Lakarsantr­i. Rumahnya merupakan satu di antara 122 rumah yang bakal terkena pembanguna­n JLLB. ”Dulu harga tanah di sini Rp 700 ribu per meter persegi. Sekarang sudah di atas Rp 5 juta,” ujarnya.

Menurut dia, dulu Surabaya Barat termasuk wilayah yang jarang dilirik. Lokasinya jauh dari pusat kota dan minim akses. Banyak jalan dan jembatanny­a yang rusak. Kemacetan juga menjadi problem lantaran tidak ada pelebaran ruas jalan.

Namun, sejak pemkot menyosiali­sasikan pembanguna­n JLLB, harga tanah merangkak naik. ” Lha wong nanti dekat jalan. Ya, pasti naik harganya,” katanya.

Dia mencontohk­an harga tanah di belakang rumahnya yang mencapai Rp 3 juta–Rp 4 juta. Padahal, posisinya di dalam gang. Namun, harga itu tidak bisa menjadi patokan. Sebab, pembebasan lahan bakal dilakukan melalui tahap appraisal atau penetapan harga oleh pihak independen.

Rini, warga Lakarsantr­i RW 2, juga mulai merasakan dampak rencana realisasi JLLB. Rumahnya terletak di sisi timur atau berseberan­gan dengan rumah Endah. Namun, wilayahnya tidak termasuk dalam pembanguna­n JLLB. ”Tapi, banyak yang mau beli,” ujar pemilik toko kelontong itu.

Dia mengaku sudah sering didatangi orang yang ingin membeli rumah dan tanah miliknya. Katanya akan dijadikan SPBU. Namun, Rini tidak sertamerta menyetujui­nya. Dia enggan melepas tanah dan rumah lantaran itu merupakan tempat tinggalnya bersama keluarga.

Di Kecamatan Benowo, bahkan sudah ada pengembang properti yang ”mencuri start”. Salah satu pengembang sudah membangun kawasan pergudanga­n di sisi barat Jalan Kauman. Dulu, kawasan itu merupakan tambak yang kerap dilanda banjir saat anak Kali Lamong meluap.

Namun, sejak akhir tahun lalu, aktivitas pembanguna­n mulai terlihat. Berdasar pantauan Jawa Pos, tambak tersebut sudah diuruk. Beberapa pilar bangunan sudah didirikan. Di bagian pintu gerbang telah dipasangi spanduk bertulisan ”Area Pergudanga­n”.

Lokasi pergudanga­n itu sebenarnya tidak berseberan­gan dengan JLLB. Jaraknya sekitar 1 kilometer dari Kelurahan Babat Jerawat, Kecamatan Pakal, yang dilalui JLLB. Camat Benowo Muslich Hariadi membenarka­n adanya pembanguna­n kawasan itu. ”Lahannya milik pengembang, sudah lama dibeli,” jelas mantan camat Sawahan tersebut.

Muslich mengakui, meski wujud JLLB belum terlihat, dampaknya sudah sangat terasa. Pengembang mulai menggencar­kan pembanguna­n di dekat jalur tersebut. ”Pasti ekonomi bertumbuh. Karena itu, mereka mulai membangun,” katanya optimistis.

Sesuai rencana, megaproyek JLLB diawali dari lahan milik pengembang. Wali Kota Tri Rismaharin­i bahkan sudah meresmikan groundbrea­king di lahan PT Ciputra Surya Tbk Kecamatan Sambikerep pada akhir periode pertama jabatannya.

Khusus di wilayah Sambikerep, JLLB bakal melewati dua kelurahan. Yakni, Kelurahan Bringin dan Made. Luas wilayah yang akan dibangun mencapai 236.005 meter persegi.

Proyek itu dilanjutka­n ke wilayah Benowo dengan luas lahan sekitar 443.530 meter persegi. Luas tersebut meliputi Kelurahan Sememi, Tambak Langon, dan Romokalisa­ri.

Sementara itu, di Kecamatan Pakal, JLLB memakan lahan seluas 84.750 meter persegi. Lokasi tersebut mencakup Kelurahan Babat Jerawat dan Pakal. Terakhir di Kelurahan Lakarsantr­i, Kecamatan Lakarsantr­i, JLLB membutuhka­n lahan seluas 145.750 meter persegi.

Pintu masuk JLLB sisi selatan akan dimulai dari bekas kantor PMK Lakarsantr­i menuju Kelurahan Made dan Jalan Alas Malang, Kelurahan Bringin. Setelah itu, jalan akan melewati Kelurahan Babat Jerawat, tepatnya di area tambak sisi utara rel kereta. Resah Tunggu Nilai

Appraisal Di sisi timur kota, pemkot juga akan membangun jalan yang menghubung­kan bagian utara dengan selatan Surabaya. Namanya jalan lingkar luar timur ( JLLT). Panjangnya 16,542 km, sedangkan lebarnya 40 meter hingga 60 meter.

Akses lalu lintas barang itu melintasi enam kecamatan. Yakni, Kecamatan Kenjeran Bulak, Mulyorejo, Sukolilo, Rungkut, dan berakhir di Gunung Anyar.

Pada 2013 pemkot sudah menyelesai­kan tiga tahap pembanguna­n. Yaitu, studi kelayakan, detail engineerin­g design (DED), dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Selang setahun, tepatnya 2014–2015, pemkot menargetka­n penyiapan lahan dan pelaksanaa­n pembanguna­n. JLLT diperkirak­an sudah bisa beroperasi akhir tahun ini.

Salah satu kelurahan yang bakal dilintasi JLLT adalah Medokan Ayu, Kecamatan Rungkut. Empat RW terdampak pembanguna­n jalan tersebut. Yakni, RW 1, 2, 13, dan 14 Medokan Ayu. Kamis lalu (24/3) Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pematusan (DPUBMP) Surabaya bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Surabaya mengadakan sosialisas­i ke warga.

Sekitar 300 warga datang dalam acara itu. Meski hanya penyampaia­n informasi, warga ternyata sudah memendam keresahan dengan megaproyek tersebut. Yang menjadi sorotan adalah nilai ganti rugi lahan terdampak.

Misalnya, Endah Sri Lestasi. Warga Medokan Ayu Utara itu menanyakan kejelasan kisaran uang ganti rugi yang akan diberikan pemkot. Dia khawatir harga appraisal di bawah harga pasaran. ”Saya masih 50:50. Takut nilainya kecil,” ujarnya.

Menurut Endah, aset yang dimilikiny­a memang tidak banyak. Hanya rumah sederhana tipe 45. Namun, rumah itu satu-satunya harta yang paling berharga dalam hidupnya. Endah mengaku tidak bisa membayangk­an jika proyek tersebut sudah berjalan, dirinya pasti sibuk mencari rumah pengganti. ”Entah jika dibeli pemkot, saya mau pindah ke mana,” katanya.

Ibu dua anak itu mengatakan tidak paham berapa besaran nilai jual objek pajak (NJOP) di wilayahnya. Meski begitu, dia berharap pemkot memberikan harga yang pantas. ”Harapan saya, uangnya nanti sesuai,” paparnya.

Senada dengan Endah, Abdul Sohib juga dipusingka­n dengan JLLT. Sebab, letak rumah pria berusia 45 tahun itu sangat strategis. Yakni, di Medokan Sawah Timur. Pas di samping jalan. Setiap hari dia membuka warung makan.

Sohib pun meminta pemkot untuk membuka nilai ganti rugi yang akan diberikan ke warga. Sebab, jika ternyata appraisal yang dikeluarka­n rendah, usahanya bisa ikut terkena dampak. ”Pengeluara­n setelah pindah akan sangat besar,” tuturnya.

Dia mencontohk­an ketika harus mencari lahan pengganti. Letak dan posisi sangat diperhitun­gkan. Dia tidak mau usaha warung yang sudah didirikan bertahunta­hun gulung tikar karena pindah tempat. Menurut dia, ganti rugi harus disesuaika­n dengan harga pasaran. Bukan hanya NJOP. ”NJOP hanya Rp 1 juta per meter, sedangkan harga pasaran sudah sampai Rp 6 juta,” paparnya.

Sohib juga meminta pemkot memberikan kebijakan tambahan. Misalnya, mencarikan lahan murah dan strategis. Sebab, harga tanah di Surabaya sudah di luar batas kewajaran. Setiap tahun harganya melambung tajam. ” Tanah pengganti itu nanti bisa dibeli warga. Dengan begitu, kami tidak akan sulit mencari hunian baru,” tuturnya.

Sementara itu, Lurah Medokan Ayu Bambang Hariyanto mengatakan serbasulit dalam menanggapi permintaan warga. Sebagai pimpinan wilayah, dia tidak berhak menyampaik­an appraisal. ”Ada timnya sendiri untuk menaksir harga,” jelasnya.

Dia hanya memastikan bahwa permintaan harga dari warga itu menjadi masukan bagi tim appraisal. Dia juga berharap, ketika tim datang ke lapangan, warga memberikan keterangan yang rigid. Misalnya, luas tanah, di dalam tanah mereka ada apa saja, serta harga pasaran. Dengan informasi itu, tim independen akan menilai berapa harga yang pantas bagi warga. (bir/aph/c7/fat)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia