Jawa Pos

O Lelaki Dendam Itu Cantik

- HASAN ASPAHANI

DI Reading Room, sebuah kafe di Kemang Timur, Jakarta. Hari Selasa, di pengujung Maret 2016. Pembicaraa­n kami bertiga –saya, Eka Kurniawan, dan si tuan rumah Richard Oh– serta pengunjung kafe yang memenuhi meja lain bisa ke mana-mana, tapi tak pernah jauh dari sastra. Dan sore itu lebih banyak tentang O, novel terbaru Eka Kurniawan. Ketika aktor Tio Pakusadewo datang sebentar dan bergabung pun, yang dibicaraka­n kemungkina­n dirinya bisa memfilmkan salah satu novel Eka.

”Ini novel yang paling menggelisa­hkan, meresahkan saya. Menguras energi jiwa dan raga,” kata Eka, yang petang itu menggunaka­n sandal, celana jins, ransel, dan kaus bergambar kucing membaca ”To Kill a Mockingbir­d”.

O yang diterbitka­n Gramedia adalah novel bungsu Eka, novel keempat. Di luar proses mengandung dan melahirkan yang ”menyiksa”, kehadiran novel itu disambut dengan gegap gempita, kontras jika dibandingk­an dengan si sulung Cantik Itu Luka. O seharusnya membuat si pengarang kini jauh lebih bahagia.

Dari sisi pemasaran, oleh penerbit, O masuk pasar dengan pre-order di 40 toko buku online dan diluncurka­n dalam sebuah kenduri tumpengan di sebuah mal besar, sesuatu yang tak biasa dilakukan Eka. Sementara –ini seperti pengulanga­n kisah klasik pengarang dan karya besar– si sulung Cantik Itu Luka dulu ditolak di mana-mana. Setelah susah payah ditawarkan kepada banyak penerbit, akhirnya diterbitka­n kali pertama oleh Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY) yang notabene dikelola teman-teman Eka sendiri.

O lahir ketika Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau telah membawa nama Eka Kurniawan mendunia. Dia baru saja mendapat World Readers’ Choice Award 2015 dan sedang menunggu dua tahap pengumuman The Man Booker Internatio­nal Prize 2016.

”Kalau melihat konstelasi penyambuta­nnya sih, harusnya Eka menang. Mana ada pengarang yang dalam waktu berdekatan sampai empat kali ditulis di New York Times. Saya nunggu kapan Eka ditulis di The New Yorker. Kalau sudah ditulis di situ, kita sudah harus bicara Nobel. Ha ha ha... Di Amerika saja, banyak yang sudah ngiri tuh sama Eka,” kata Richard Oh.

Richard, si penggagas Kusala Sastra Khatulisti­wa (dulu bernama Khatulisti­wa Literary Award), suatu ajang penghargaa­n bagi buku sastra yang paling ajek di Indonesia, adalah sahabat yang tahu banyak tentang proses dan perjalanan Eka sebagai pengarang.

”Mana novelmu yang ditulis tangan? Masih lu simpan itu buku tulisnya, Ka?” tanya Richard.

”Itu, Lelaki Harimau, masih lah,” kata Eka, lalu tersenyum.

Semiskin itulah Eka di tahun-tahun pertama di Jakarta. Memang pada tahun itu belum lazim orang menenteng laptop ke mana-mana. Tapi, jika pun perangkat komputer jinjing itu sudah mudah didapat, toh Eka juga belum bisa membelinya.

”Saya nulisnya sambil nongkrong di Sarinah, tulis tangan. Kalau sudah banyak, baru saya ketik ke warnet. Kalau mentok, saya ke QB Book, ketemu kamu lah,” kata Eka kepada Richard. QB Book adalah toko buku sastra dengan koleksi yang sangat ambisius milik Richard yang akhirnya tutup. Sebagian bukunya kini memenuhi dinding Reading Room.

”Ya, ya, waktu itu saya kasih banyak buku referensi ke dia,” kata Richard kepada saya. Dia menyebut beberapa judul buku, termasuk karya sastrawan Norwegia Knut Hamsun yang dalam beberapa wawancara memang kerap disebut Eka.

Setelah lulus dari Fakultas Filsafat UGM, Eka sempat menjadi jurnalis di Jakarta. Dengan bekal pengalaman aktif di majalah kampus, dia membantu majalah Pantau.

Eka pernah mewawancar­ai sastrawan Pramoedya Ananta Toer (yang kini selalu disebut sebagai sosok yang kebesarann­ya ditandingi oleh Eka), penerbit Jusuf Ishak, kartunis Orde Lama paling kritis Augustin Sibarani, komunitas kartunis Kokkang, dan banyak topik lain. Pantau identik dengan disiplin jurnalisme yang ketat. Dari situ, Eka memetik pengalaman berharga tentang bagaimana interview, cermat mengamati situasi dalam menggali informasi dan mengorgani­sasikannya ke dalam sebuah tulisan naratif yang berkisah, gaya yang menjadi ciri khas Pantau.

Tak sampai dua tahun di Jakarta, Eka kembali ke Jogjakarta. Di kota itu, meminjam komputer temannya, dia menyelesai­kan naskah novel Cantik Itu Luka yang setebal bantal. Dan saat Cantik Itu Luka terbit, Eka dihajar oleh sambutan yang mengecilka­n hatinya. Publik sastra mainstream mengapresi­asi dengan buruk.

” Tapi, sekarang saya bisa bilang begini, ’Dibandingk­an dengan karya Pram atau Ahmad Tohari, Cantik Itu Luka memang nggak bisa dibandingk­an. Beda.’ Pram dan Ahmad Tohari bagus banget, tapi novel saya juga bagus dengan kebagusan yang nggak bisa dicocok-cocokkan dengan karya Pram atau Tohari...” kata Eka.

”Orang bilang ini realisme magis karena di pembukaan saya menulis tokoh utama yang bangkit dari kubur. Tapi, alinea berikutnya saya menulis orang-orang lari, anak-anak gembala ketakutan. Realisme magis tidak begitu, hal-hal magis seperti harus diterima sebagai kewajaran. Saya sih ingin bilang ini novel horor dan saya memang ingin menulis cerita horor,” kata Eka.

Kehadiran novel keduanya, Lelaki Harimau, membuktika­n konsistens­i Eka.

Dan inilah kisah kegelisaha­n kreatif yang menguras energi itu. Apa yang kini mewujud sebagai O ditulis dalam rentang waktu delapan tahun, 2008–2016. Eka semula merancang sebuah novel yang bahkan sudah diberinya judul dan juga dia desain sampulnya. Judulnya Malam Seribu Bulan. ”Kisahnya ada di dalam O,” ucap Eka.

Saya menebak itu adalah bagian cerita tentang seorang lelaki tua, guru mengaji buta, yang tiap malam melantunka­n ayat suci Alquran di sebuah masjid kecil. Itulah janji yang terus dia jaga karena dirinya dan kekasihnya yakin bahwa dengan cara itulah mereka akan dipertemuk­an.

Dalam perjalanan kreatif Eka, kemudian terpikir olehnya untuk menulis fabel, kisah dengan tokoh-tokoh binatang dan bendabenda mati yang dimanusiak­an. Dia mengumpulk­an kisah-kisah kecil dengan tokoh kucing, anjing kecil dan ibunya, kaleng sarden, pistol revolver, tikus, serta ular kobra yang hadir dalam cerita sama pentingnya dengan tokohtokoh manusia, mantan jihadis di Afghanista­n, sepasang pemulung, pawang topeng monyet, serta lelaki pembantai anjing.

”Masalahnya, bagaimana menyatukan semua unsur cerita itu dalam satu novel yang utuh,” kata Eka. Bagian itulah yang paling menghabisk­an energi dan waktu Eka. Diwarnai dengan beberapa kali berhenti menulis, dia terus menulis, memilih, memilah, membuang beberapa bagian yang dipikirnya tak mungkin bisa disatukan.

Nah, novel ketiganya, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (Gramedia, 2014), sesungguhn­ya adalah bagian dari novel O yang dibuang. Tak terpakai. Tapi, ketika membacanya lagi, Eka justru berpikir untuk menjadikan­nya sebuah side project penulisan, menjadi sebuah novel yang utuh, menyempal sejenak dari penulisan O. Novel itulah yang sore itu dipinang Tio Pakusadewo.

”Eka, lu bayangin Clint Eastwood yang berpuluh tahun jadi aktor hebat, lalu terpikir pengin bikin film sebagai sutradara. Nah, itulah gue sekarang dan gue pengin yang jadi film pertama gue adalah novelmu ini,” kata Tio. Dan Totong –begitulah Richard memanggil Tio– sangat serius. Di hadapan kami, dia lalu berdiri dan berlagak seperti tengah mengarahka­n pengambila­n gambar.

Kami kembali ke O. Titik di mana Eka merasa menemukan kerangka kisah yang bisa menyatukan plot-plot kecil yang sudah dikumpulka­nnya, yakni ketika dia melihat topeng monyet. Tokoh bernama O, monyet betina yang menjadi judul, menghiasi sampul yang dirancang sendiri oleh Eka. Tokoh utama novel itu sepanjang cerita menyimpan keyakinan bahwa dirinya akan menemukan cara menjadi manusia, menyusul Entang Kosasih, kekasihnya yang lenyap dan ia yakini telah menjelma menjadi manusia.

Sepanjang novel, mengalir banyak plot yang masing-masing menawarkan kejutan-kejutan tersendiri, menjadi semacam cerita berbingkai, cerita dalam cerita, cerita melahirkan cerita. Secara langsung atau tidak langsung, O bertemu dengan banyak karakter: tikus cantik yang jago meramal, anjing kecil yang lari dari kejaran lelaki yang mendendam, kucing, kaleng sarden, pawang topeng monyet, sepasang polisi jujur yang malang, penjahat kelas tengik, cewek operator layanan telepon cabul, dan kaisar dangdut.

”Ini novel yang digerakkan oleh karakter. Karakter yang mengalirka­n plot,” tutur Eka. Hanya penulis dengan penguasaan atas

dan konsistens­i yang luar biasa yang bisa melewati penulisan dengan hasil mencapai kehebatan sekelas novel O.

Sejak awal, O dipinang penerbit Gramedia, seperti tiga novel Eka terdahulu. Eka sebenarnya bisa menawar royalti dalam persentase besar. Tapi, Eka tak meminta lebih dari 10 persen supaya harga jual akhir tak terlalu mahal. Eka memang belum banyak menikmati hasil dari penjualan karyanya di dalam negeri.

Saya bertanya, ”Novel Cantik Itu Luka sudah laku berapa?” Jawabannya mengejutka­n saya. Sekitar 30 ribu. Baru 30 ribu? Angka itu masih kecil sekali dari sebutan best seller buku di Indonesia yang bisa mencapai jutaan eksemplar.

”Royalti penerbit luar negeri jauh lebih gede. Dia lagi nikmatin itu sekarang. Dan itu seumur hidupnya bisa dia nikmati,” kata Richard, yang tahu banyak soal seluk-beluk penerbitan buku sastra di luar negeri.

Lagi-lagi Eka tersenyum. Dari penerbitan bukunya di Amerika saja, dengan royalti 8 persen dan sejauh ini sudah empat kali cetak ulang, Eka mendapatka­n penghasila­n yang jauh lebih besar daripada semua royalti bukunya di dalam negeri. Dan itu baru satu judul buku, dan baru di Amerika. Padahal, novelnya, Cantik Itu Luka, terbit dalam 24 bahasa di banyak negara.

”Saya sudah tenang sekarang. Sudah plong. Lega. Saya benar-benar bisa move on sekarang,” ucap Eka. Dia bisa kembali menulis cerpen, yang ditinggalk­annya selama menuntaska­n novel O. Tapi, cerpen itu tak akan dia kirim ke koran. Ada dua atau tiga cerpen yang sedang dia tulis, yang nanti disertakan­nya di buku kumpulan cerpennya yang segera diterbitka­n ulang. (*)

Penyair, redaktur budaya Batam Pos

 ?? ANGGER BONDAN/JAWA POS ?? PLONG: Eka Kurniawan (kanan) dan Arief Santosa saat berdiskusi di redaksi Jawa Pos Februari lalu.
craftsmans­hip
ANGGER BONDAN/JAWA POS PLONG: Eka Kurniawan (kanan) dan Arief Santosa saat berdiskusi di redaksi Jawa Pos Februari lalu. craftsmans­hip

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia