Jawa Pos

Taman Bunga dalam Benak dan Iman yang Meresahkan

- Oleh A.S. LAKSANA

SEKIRANYA ada orang menanyakan apa yang saya inginkan dalam hidup ini, saya akan menjawab –sambil menangis sesengguka­n agar terlihat seolah-olah saya hanya memiliki satu keinginan itu– bahwa saya ingin melihat negara ini menjadi tempat hidup yang menyenangk­an bagi semua orang.

Saya pernah membaca cerita tentang seorang pendeta Zen yang melakukan meditasi tiap pagi saat bangun tidur dan di dalam meditasi itu ia membayangk­an dirinya hidup di taman bunga. Udara sejuk dan harum, dan pendeta itu selalu melihat keindahan pada pagi hari sebelum memulai kehidupann­ya seharian. ”Itu membuat saya selalu merasa tenteram dalam situasi seperti apa pun,” katanya. Malam harinya ia bermeditas­i lagi, memasuki taman bunganya lagi, dan bersyukur bisa menikmati hidup yang menyenangk­an di taman bunga.

Pikir saya, itu cara yang cerdas untuk menata pikiran dan menenteram­kan diri sendiri. Setiap orang, meskipun kebanyakan dari mereka tidak tahu dan tidak merencanak­an apa pun dalam kehidupan mereka, pada dasarnya mengingink­an kehidupan yang menyenangk­an untuk dijalani. Pendeta itu memilih caranya sendiri untuk menenteram­kan dirinya sendiri setiap hari, menanamkan kesadaran bahwa ia menjalani hidup yang menyenangk­an, dan berterima kasih bahwa kehidupan ini bagaimanap­un adalah sesuatu yang indah dan menyenangk­an untuk dijalani. Ia menata lebih dulu kesadarann­ya dan dengan kesadaran itu ia menjalani kehidupann­ya sehari-hari.

Saya mencoba meniru apa yang ia lakukan. Begitu bangun pagi, saya mengonsent­rasikan pikiran pada keindahan taman bunga, merasakan udara bertiup sejuk, melihat butir embun di pucuk-pucuk daun, dan menghirup harum melati. Melati adalah bunga yang paling saya sukai dan saya akan selalu memetiknya dalam perjalanan ke sekolah ketika menjumpai bunga melati di pagar-pagar rumah orang. Sebetulnya itu pengaruh dari nenek yang suka menyimpan bunga melati di lemari pakaian.

Meski hanya harum melati yang bisa saya ingat, tentu saja saya juga membayangk­an melihat berbagai warna bunga di taman itu. Begitu mengakhiri khayalan tentang taman bunga dan membuka mata, memulai kehidupan seperti biasanya, saya segera mendapati gegap gempita dari samping kiri kanan depan belakang. Seketika rusak taman bunga di dalam kepala saya.

Orang-orang senang berteriak-teriak, seolaholah setiap bulan adalah Ramadan dan setiap hari mereka merasa perlu membangunk­an orang untuk makan sahur, pada pukul berapa pun. Mereka berteriak-teriak di jalanan dan juga dalam tulisan, baik di media sosial maupun di website-website perjuangan. Di media sosial, mereka biasa menuliskan teriakan mereka dengan membubuhka­n tujuh tanda pentung.

Saat ini yang paling senang berteriak-teriak adalah sekelompok orang Islam yang berupaya fanatik dalam beragama. Sebetulnya mereka hanya kelompok kecil dalam masyarakat kita, tetapi mereka senang berteriak dan suara mereka keras sekali. Semakin fanatik mereka, semakin nyaring suara mereka, dan semakin mudah mereka menghakimi serta mengafirka­n orang-orang lain.

Mohamad Sanusi, anggota DPRD DKI dan orang yang berniat maju sebagai kandidat gubernur pada pemilihan kepala daerah 2017, memanfaatk­an suara nyaring mereka dengan menyatakan bahwa ia akan menerapkan syariat Islam jika memenangi pemilihan dan menjadi gubernur Jakarta. Beberapa hari lalu ia dicokok Komisi Pemberanta­san Korupsi (KPK) karena menerima suap dari perusahaan pengembang yang mengelola reklamasi Teluk Jakarta. Anda tahu, menerima suap adalah tindakan yang dikutuk Islam, yang hendak ia terapkan syariatnya, dan tentu saja oleh semua orang yang berakal waras.

Hari berikutnya saya tetap mencoba mengonsent­rasikan pikiran, memasuki taman bunga lagi pada pagi hari. Ketika membuka mata, saya mendapati Majelis Ulama Indonesia (MUI) memukul kentongan dan menyatakan bahwa mereka akan menguji kehalalan pakaian dan sepatu. Orang-orang ribut lagi.

Para ulama di lembaga tersebut meyakini bahwa sepatu atau busana dari kulit babi haram. Saya juga tahu bahwa sepatu atau jaket dari kulit babi haram dimakan. Saya pikir sepatu dari kulit sapi atau dari kulit kambing pun tidak boleh dimakan. Hal-hal sepele itu sudah saya sampaikan kepada anak-anak saya saat mereka masih kecil dan suka makan apa saja. Karet penghapus, misalnya, meskipun baunya harum tentu juga tidak boleh dimakan. Jika tidak diberi tahu, anak-anak suka makan apa saja.

Masih belum menyerah saya dan tetap mencoba mengonsent­rasikan pikiran untuk membangun taman bunga di dalam benak. Lima belas menit kemudian saya membuka mata dan ada keriuhan lagi.

Roy Suryo, mantan menteri pemuda dan olahraga, berkicau nyaring di Twitter mencemooh kicauan akun ”anak presiden” dan menyebutny­a sebagai anak yang tidak punya nurani. Sebelumnya sebuah akun bernama @GibranRaka­bumi membuat kicauan: ” Yang tanggal muda gajian silakan belanja-belanja, yang tidak gajian silakan nyinyiri pemerintah.”

Gibran Rakabuming, anak sulung Presiden Jokowi, yang dianggap tidak punya nurani oleh Roy Suryo karena pernyataan di akun tersebut, membuat pernyataan bahwa ia tidak memiliki akun Twitter pribadi. Ia hanya memiliki satu akun Twitter dengan nama @chilli_pari.

Setelah diserbu dengan cemooh banyak orang di media sosial, Roy Suryo membuat pembelaan diri: ” Tweeps, He-3x, ’ Test the Water’ SUKSES... Langsung KECEBONG2 muncul semua.”

Bekas menteri itu memberikan pelajaran pen ting kepada kita: seranglah orang lain sesuka hati Anda. Jika serangan Anda terbukti keliru, Anda bisa mengatakan bahwa itu hanya test the water, dengan niat untuk memunculka­n kecebong atau beruk atau belut listrik. Beres. Anda tidak perlu meminta maaf atas kekeliruan Anda. Dan Anda tidak perlu menjadi bekas menteri untuk mengembang­kan tabiat seperti itu.

Taman bunga khayalan saya rusak lagi. Tetapi, saya berjanji kepada diri sendiri akan terus mencoba membangunn­ya di dalam benak. Saya pribadi memerlukan­nya untuk menenteram­kan diri dari situasi riuh dan menggelika­n yang akhir-akhir ini terlalu sering didemonstr­asikan kaum fanatik. Saya minta maaf untuk frasa ”riuh dan menggelika­n” karena sewaktuwak­tu tindakan mereka bisa mengancam nyawa orang-orang lain, dan itu sama sekali tidak menggelika­n.

Saya yakin kebanyakan dari kita yang muslim tidak akan pernah lupa ajaran sederhana yang disampaika­n guru agama di sekolah dasar bahwa Islam adalah agama damai. Bertahunta­hun saya meyakini kebenarann­ya. Sampai kemudian sekelompok kecil orang menyampaik­an fakta yang mengkhiana­ti pelajaran di masa kanak-kanak itu, melalui tindakan dan seruan keras mereka.

Mungkin itu cara beragama yang benar, saya tidak tahu. Dan di dalam agama apa pun akan selalu ada kecenderun­gan yang semacam itu. Akan selalu ada orang-orang yang peduli pada apa yang dilakukan orang lain, yang cenderung melakukan langkah-langkah keras untuk meluruskan iman orang-orang lain.

Mereka menganggap orang dengan keyakinan lain sebagai bahaya, mereka menganggap pemerintah­an negara ini dan segala simbolnya sebagai thaghut (melampaui batas), dan mereka menunjukka­n perangai yang mengancam. Hormat bendera mereka anggap sebagai tindakan menyembah selain Allah. Seolaholah semua orang yang melakukan hormat bendera memiliki akal yang begitu bodohnya sehingga tidak bisa membedakan kain bendera dengan Allah. Pada dasarnya, mereka tidak memiliki kesetiaan terhadap negara ini dan hukum-hukumnya.

Iman yang semacam itu, yang mengancam nyawa orang lain dan mengganggu ketenteram­an hidup bersama, mestinya tidak layak kita hormati. Mungkin perbuatan mereka benar dan iman mereka akan membawa mereka kelak ke surga, tidak pernah ada yang tahu soal itu sampai setiap orang membuktika­nnya sendiri kelak di hari kematian. Namun, jika sebuah keyakinan membuat pemeluknya bertingkah laku meresahkan orang lain, sudah sepantasny­a orang-orang menangkap mereka dan membawa mereka ke puskesmas, siapa tahu mereka masuk angin atau cacingan. (*)

Akun Twitter: @aslaksana

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia