Sufisme Kota
SUFISME kota ( urban sufism) merupakan istilah yang relatif baru dalam kajian ilmu-ilmu keislaman, khususnya tasawuf dan tarekat. Secara khusus term sufisme kota digunakan untuk memotret fenomena kebangkitan religiusitas masyarakat muslim di perkotaan. Salah satu indikatornya ditandai dengan peningkatan gairah muslim kota untuk belajar agama. Maka, tidak mengherankan jika buku-buku bertema agama, tasawuf, dan tarekat juga laris manis.
Fenomena itu menunjukkan bahwa muslim kota sedang haus ilmu-ilmu agama. Muslim kota juga sangat rajin menghadiri berbagai kajian keagamaan. Sejumlah kelompok pengajian eksekutif hadir di metropolis. Sesuai namanya, pengajian itu hanya diikuti kelompok eksekutif-profesional. Ada juga pengajian yang diikuti muslim kebanyakan. Bahkan, kini juga menjamur jamaah zikir dan salawat di berbagai sudut kota.
Yang menarik, muslim kota juga demam mengikuti paket training spiritual yang diadakan sejumlah lembaga. Pertanyaannya, dalam situasi yang diwarnai kemajuan sains dan teknologi, mengapa mereka justru tertarik pada training spiritual? Apakah berbagai ekspresi sufisme kota merupakan gejala eskapisme dalam dunia modern? Untuk menjawab pertanyaan itu, penting dipahami pandangan John Naisbitt dan Patricia Aburdene. Pasangan suami istri yang dikenal sebagai futurolog tersebut menjawab melalui karya monumentalnya, Megatrend 2000: Ten New Direction for the 1990’s (1990). Menurut mereka, kebangkitan agama merupakan wujud penolakan yang tegas terhadap kepercayaan buta pada sains dan teknologi. Karena itu, terjadi peningkatan religiusitas di kalangan muslim kota.
Harus diakui, kebutuhan manusia terhadap agama merupakan sesuatu yang sangat asasi. Agama diyakini mampu memberikan kehidupan yang bermakna bagi pemeluknya. Agama tetap menjadi kebutuhan yang alamiah bagaimanapun perkembangan peradaban manusia. Hal itu jelas menjadi antitesis teori yang menyatakan bahwa modernisme dan modernisasi merupakan lonceng kematian bagi agama. Dikatakan dalam teori tersebut, semakin modern suatu masyarakat, semakin jauh pula mereka dari agama. Teori itu juga meyakini bahwa agama tidak akan berperan dalam arus modernisasi dan sekularisasi.
Dunia Barat bahkan pernah diwarnai pandangan yang sangat pesimistis terhadap agama. Misalnya, agama dianggap candu masyarakat (Karl Marx), agama sebagai biang keonaran di muka bumi (A.N. Wilson), bahkan Tuhan dikatakan telah mati (Nietzsche). Pandangan itu seolah menempatkan agama sebagai hambatan dalam modernisasi dan industrialisasi. Padahal, yang terjadi justru sebaliknya. Modernisme dan modernisasi sepanjang berkaitan dengan makna seakan telah mengantarkan manusia menuju jalan buntu. Era modern hanya menghasilkan suasana kehidupan yang diwarnai kecemasan, keterasingan, kekerasan, dan egoisme. Dampaknya, masyarakat modern pasti kembali membutuhkan agama.
Kondisi itulah yang dialami masyarakat kota sehingga mereka meyakini bahwa agama akan mampu memberikan ketenangan, kedamaian, dan kehidupan penuh makna ( meaningful). Fenomena meningkatnya religiusitas muslim kota telah menjadi bukti yang tidak terbantahkan. Pertanyaan selanjutnya, apakah fenomena sufisme kota benar-benar disebabkan kesadaran providensi (keilahian). Ataukah seperti dikatakan Allen Bergin dalam Handbook of Psychotherapy and Behavior Change (1994), bahwa fenomena tersebut disebabkan adanya kegagalan agama-agama resmi ( organized religions). Agama-agama resmi, termasuk berbagai organisasi sosial keagamaan, kurang dihargai perannya.
Karena itu, tidak mengherankan jika peran elite agama kini mengalami pergeseran. Peran elite ormas keagamaan banyak digantikan figur selebriti seperti Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), Muhammad Arifin Ilham, Ary Ginanjar Agustian, Abu Sangkan, Sholeh Mahmoed (Solmed), dan Ustad Maulana. Di Surabaya juga muncul figur populer seperti Mohammad Sholeh (penulis dan trainer salat tahajud), Agus Mustofa (penggiat Padma Aura, sebuah pelatihan berbasis pada zikir dan kecanggihan kamera aura), Ali Aziz (penulis dan trainer Shalat Bahagia), dan Ahmad Faiz Zainuddin (pengembang SEFT Total Solution Training). Bukan hanya training mereka yang laku keras, buku-bukunya juga termasuk kategori terlaris ( best seller).
Pemenuhan kebutuhan duniawi semata pasti tidak akan memberikan kepuasan batin. Demikian juga sebaliknya. Karena itu, prinsip hidup menjaga keseimbangan dunia-akhirat mutlak diperlukan. Kita tentu berharap fenomena sufisme kota bukan sekadar sublimasi (pelarian). Perkembangan terkini bahkan menunjukkan sufisme telah beralih fungsi menjadi metode penyembuhan ( sufism healing) segala penyakit.
Apa pun ekspresi sufisme, fenomena peningkatan religiusitas muslim kota harus diikuti semangat untuk berperilaku lebih religius. Sebab, kehidupan religius merupakan tuntutan yang bersifat alamiah bagi setiap orang, apa pun agamanya. Itulah sesungguhnya sisi positif dari fenomena sufisme kota. (*)
Dosen UIN Sunan Ampel dan wakil sekretaris PW Muhammadiyah Jatim