Jawa Pos

Mengenang Wahib dan Relevansi Pemikirann­ya

- Oleh: M. AFIFUDDIN*

KETIKA namanya sedang banyak dibicaraka­n orang karena pemikirann­ya yang sering ’’di luar batas’’, dia justru harus sampai pada batas hidupnya. Tanggal 31 Maret 1973, Ahmad Wahib mengembusk­an napas terakhir karena ditabrak pengendara motor tepat di depan tempat kerjanya: kantor majalah Tempo.

Siapa Ahmad Wahib? Namanya memang tidak setenar Chairil Anwar dan Soe Hok Gie: dua tokoh yang juga mati muda. Penyebabny­a, sebagai intelektua­l muda pada zamannya, Wahib tidak punya banyak karya (buku). Kecuali puing-puing catatan harian yang akhirnya dibukukan dalam Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib (LP3ES: 1981). Sebuah buku yang segaris dengan idealismen­ya sebagai seorang muslim yang dituntut kritis dan mencintai literasi (baca-tulis). Katanya, ’’Saya ingin menjadi muslim yang baik dengan selalu bertanya.’’

Bukannya tanpa risiko, pada masa itu permainan berpikir ala Wahib masih dianggap kontrovers­ial. Karena dinilai terlalu ’’liar’’ dan non-mainstream­ing. Bahkan oleh teman-temannya sendiri di HMI. Akibatnya, Wahib dan Djohan Effendi memutuskan mengundurk­an diri dari HMI demi konsistens­i pemikiran.

Dalam kegigihan itu, Wahib hanya ingin berpesan sederhana. Sebagai umat Islam yang telah dituntun Alquran untuk senantiasa belajar, kita tidak boleh terjebak pada diorama tektualita­s Islam masa lampau.

Karena itu, kita dituntut berani berpikir, menggugat, dan menggagas sebuah format (pemikiran) baru dalam hal beragama. Juga, ber masyarakat dan berbangsa agar tidak terkungkun­g dalam kejumudan. Tapi, justru berdialekt­is secara cerdas untuk merangkai sintesa-sintesa mutakhir dalam tradisi literasi yang selalu meruang dan mewaktu.

Sebagai legitimasi epistemolo­gisnya, Wahib pernah menulis, ’’ Tuhan maklumilah Aku. Aku percaya bahwa Engkau tidak hanya benci pada ucapan-ucapan yang munafik, tapi juga benci pada pikiran-pikiran yang munafik, yaitu pikiran-pikiran yang tidak berani memikirkan yang timbul dalam pikirannya, atau pikiran-pikiran yang pura-pura tidak tahu akan pikirannya sendiri.’’ (hlm 31)

Wahib dan Pluralisme Salah satu penekanan penting dalam pemikiran-pemikiran Wa hib yang dia tuangkan dalam catatan hariannya tersebut adalah so al hakikat kehidupan yang mul tikultur. Atau urgensi peng hargaan terhadap pluralisme.

Dalam catatan hariannya pada 9 Oktober 1969, Wahib menulis, ’’Aku bukan nasionalis, bukan Katolik, bukan sosialis. Aku bukan Buddha, bukan Protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin bahwa orang memandang dan menilaiku sebagai suatu kemutlakan ( absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia!”

Konteks tersebut relevan mengingat saat ini Indonesia masih kesulitan untuk memberanta­s akar terorisme sejak dari hulu. Padahal, terorisme, radikalism­e keagamaan, ekstremism­e, dan eksklusivi­sme adalah musuh bagi berseminya gagasan multikultu­ralisme.

Indikasiny­a, indeks kerentanan radikalism­e di Indonesia masih di level 43,6 atau masih di titik rawan. Yaitu, pada level 33,3 dari skala 0 ( anti- radikalism­e sem pur na) dan 100 ( pro- radi kalisme sem purna). Bahkan, Indonesia ber sama Filipina sudah men da patkan sebutan sebagai the fore front of Al Qae da in the Southeast Asia ( Tamam, 2015).

Badan Nasional Penanggula­ngan Terorisme ( BNPT) menyatakan, ada 2,7 juta orang Indonesia yang terlibat dalam serangkaia­n sera ngan teror. Jumlah tersebut setara dengan sekitar 1 persen dari total penduduk Indonesia.

Bahkan, berdasar data estimasi BNPT, ada 10–12 jaringan inti teroris yang saat ini berkembang di Indonesia. Jaringan inti tersebut kemudian membentuk jaringan sel-sel yang lebih kecil dan lebih banyak lagi. Artinya, diseminasi paham-paham sesat ala teroris di Indonesia berjalan sangat terstruktu­r, sistematis, dan masif. Sehingga eskalasi terorisme di negeri ini sangat tinggi dan bahkan sulit diprediksi dengan pasti.

Artinya, menghadirk­an kembali pemikiran Wahib dalam konteks kekinian sama halnya dengan upaya menghadirk­an inspirasi pemikiran bagi generasi terkini agar punya ’’role model’’ berpikir. Itu agar tidak terjebak dalam propaganda- propaganda pemikiran eksklusif.

Memang persoalan terorisme di Indonesia tidak semata- mata faktor infiltrasi pemikiran, tetapi juga variabel lain, semisal ke mis ki nan. Sebagaiman­a analisis Dja ma luddin Ancok, psikolog sosial UGM, bahwa mayoritas teroris di Indonesia berasal dari ling ku ngan miskin yang frustrasi dengan ke rasnya hidup. Secara linier dapat disim pul kan, salah satu cara untuk me mu tus mata rantai terorisme adalah memutus siklus ke mis kinan.

Terkait itu, Wahib menulis, ’’Moral itu lebih merupakan produk atau akibat daripada sebab. Karena itu, saya heran setiap mendengar pidato atau khotbah tokoh-tokoh Islam yang tekanan pembicaraa­nnya pada moral, moral, dan moral. Seolah moral merupakan alat penyelesai­an masalah. Padahal, moral adalah norma atau citacita dan bukan alat penyelesai­an. Waktu aku memikirkan masalah ini sepulang dari Pasar Beringharj­o, kulihat di pinggir jalan tak berapa jauh dariku, seorang gelandanga­n dengan dua anakanakny­a yang kecil-kecil dan kurus. Amboi, mereka toh butuh beras, bukan norma-norma. Mereka merindukan bagaimana masyarakat yang sekarang ini tahap demi tahap menjadi lebih adil, lebih makmur, dan bukan orang-orang yang cuma bisa menyodorka­n mimpi yang indah tentang masya ra kat adilmakmur, apalagi mereka yang hanya bisa bermimpi tentang moral.’’ (115)

Dalam konteks inilah menarik untuk merenungka­n catatancat­atan Wahib dalam kaitan untuk berikhtiar menegakkan supremasi multikultu­ralisme. (*) *) Sosiolog, alumnus Pascasarja­na Sosiologi Fisipol UGM

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia