Serbuan Lelucon Gelap Kurt Vonnegut
Lawakan Vonnegut satire. Sikapnya terhadap beberapa hal di dunia begitu sinis. Tetapi, ia juga bisa bicara tentang pentingnya cinta dan keluarga besar.
PERTAMA-TAMA, Gempa Waktu (judul asli: Timequake) adalah novel yang tidak terlihat layaknya novel. Sebab, penulisnya, Kurt Vonnegut, hadir di dalam cerita sebagai narator dan menceritakan ka rakter utama di novelnya, yakni Kilgore Trout. Sebagaimana dikatakan Vonnegut, Trout ini adalah alter egonya sendiri. Dengan demikian, dia memiliki profil miripmirip Vonnegut.
Kilgore Trout adalah penulis fiksi-ilmiah (seperti juga Kurt Vonnegut di dunia nyata) yang sudah uzur dan bukunya tidak dicetak lagi. Karena itu, Gempa Waktu berisi kisah hidup Kilgore Trout, yang karena dituturkan oleh Kurt Vonnegut, menjadi seperti satu karya otobiografi parodi.
Premisnya menarik: Bagaimana jika suatu hari semua orang tibatiba terlempar ke sepuluh tahun yang lalu, dan mengulang lagi apa yang sudah mereka lakukan selama sepuluh tahun belakangan, tanpa perbedaan dan perubahan apa pun?
Itu yang, oleh Kilgore Trout, dinamai ”gempa waktu” (jangan lupa, ia adalah alter ego Kurt Vonnegut, penulis novel ini, yang juga hadir dalam cerita sebagai narator). ”Gempa waktu” membuat semua orang kehilangan kehendak bebas dan berada dalam kendali otomatis. Semacam deja vu masal.
Seperti dikisahkan Vonnegut, gempa waktu terjadi pada 2001 dan membuat semua orang kembali ke tahun 1991. Vonnegut menceritakan apa yang terjadi sepanjang pemutaran ulang (kala ”gempa waktu” berlangsung).
Juga, setelah pemutaran ulang selesai. Tatkala kehendak bebas telah kembali dan orang-orang bisa menggerakkan diri sendiri untuk kali pertama seusai terjadi gempa waktu.
Konsep gempa waktu itulah yang kemudian menjadi landasan bagi seluruh lawakan Vonnegut. Ya, buku ini penuh dengan lawakan. Jikalau ada suatu benda yang dapat membuat slogan ”tertawa sampai mati” mewujud nyata, mungkin buku inilah benda itu.
Vonnegut bahkan telah melontarkan lawakannya sejak mulamula, ketika ia menulis dalam prolognya sebuah kalimat pembuka: ”Pada 1951 Ernest Hemingway menulis sebuah cerita pendek yang panjang berjudul The Old Man and the Sea di majalah Life.”
The Old Man and the Sea, sebuah cerita pendek yang panjang!
Ya, salah satu di antara banyak bahan lawakan Vonnegut adalah penulis-penulis yang sudah dikenal dunia. Ernest Hemingway, T.S. Eliot, Günter Grass, Ray Bradbury, dan J. D. Salinger.
262
Tidak dalam pengertian melecehkan mereka, tentu. Tapi, menyisipkan nama-nama tersebut dalam rangkaian lawakannya. Bisa di posisi set up, bisa juga sebagai punch line.
Ya, selain sebagai karya novel, Gempa Waktu dapat dilihat sebagai panggung stand-up comedy Kurt Vonnegut. Dan percayalah, ia sangat, sangat lucu.
*** Salah satu tema humor gelap Vonnegut dalam novel Gempa
adalah perihal perang. Satu bab dalam novel ini yang membuat tergelak adalah Vonnegut sebagai narator menceritakan tentang kebiasaan Kilgore Trout mengeluarkan respons unik. Yakni, kalimat ” setiap kali ada orang yang menyapanya dengan berbasa-basi.
Vonnegut bertanya kepada Trout dari mana asal kalimat itu. Trout menjawab dari pengalaman berperang. Kala itu, tutur Trout, dirinya terlibat dalam pertempuran. Ketika suatu rentetan tembakan artileri yang ia kehendaki mendarat tepat di sasaran, ia mengucapkannya, ” Ting-a-ling! Ting-a-ling!”
Kurt Vonnegut, sekali lagi melalui Kilgore Trout, juga membuat lelucon yang sangat lucu tentang Hitler, beserta anak, istri, dan pasukannya. Bagian yang juga tak kalah mengundang tawa dari buku setebal 250 halaman ini adalah Vonnegut, melalui Trout maupun dirinya sendiri, membuat lelucon atas seni. Atau lebih tepatnya atas para kritikus seni.
Sinisme Vonnegut terhadap kemuliaan manusia dan visi penciptaan manusia dapat membuat orang-orang tertentu yang terlalu serius memikirkan tentang misi mulia di bumi tibatiba saja merasa konyol. Tapi, lewat cara demikianlah Vonnegut menekankan arti penting menjadi manusia. Terutama di tengahtengah zaman yang modern.
*** Lelucon Vonnegut satire. Sikapnya terhadap beberapa hal di dunia begitu sinis, misalnya, dalam memandang perkembangan zaman dan perilaku manusia modern.
Tetapi, dalam beberapa hal lain, ia juga terlihat positif. Seperti tatkala ia membicarakan pentingnya kehadiran cinta dan keluarga besar bagi manusia. Menurut dia, ada banyak masalah dan tragedi yang dapat dibatalkan seandainya setiap orang memiliki satu atau sekaligus dua dari kemewahan hidup tersebut. Yakni, cinta dan keluarga besar.
Sebagai tambahan yang mungkin cukup penting, buku ini diterjemahkan dengan baik. Lelucon penulisnya dapat dinikmati tanpa kita harus mengernyit akibat kalimat-kalimat ganjil yang meleset dari bahasa aslinya. Kalau senang menulis, kita juga dapat belajar banyak tentang bagaimana membuat metafora yang segar dan lucu dari novel ini. (*)