Perizinan Reklamasi Pulau G Disorot
Pasca-OTT, Raperda Makin Tak Jelas
JAKPUS – Ironis. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi DPRD DKI saat ini. Pembahasan raperda zonasi tampaknya memang sarat masalah. Ketua Komisi D DPRD DKI M. Sanusi ditangkap tangan KPK Kamis malam (31/3) lantaran terjerat kasus suap pembahasan raperda zonasi. Raperda tersebut adalah bakal payung hukum reklamasi Teluk Jakarta.
Sanusi tertangkap tangan bersama salah satu petinggi Podomoro Land. Perusahaan itu adalah salah satu pengembang reklamasi Teluk Jakarta, tepatnya di Pulau G. Proyek tersebut ditentang banyak pihak, salah satu alasannya karena belum memiliki payung hukum berupa perda zonasi.
Sanusi adalah salah satu anggota Bamus DPRD yang sangat mendukung percepatan pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil (RZWP3K) Pemprov DKI.
Karena tentangan yang kuat, paripurna pengesahan raperda itu berulang kali gagal terlaksana. Nah, yang terbaru, paripurna pengesahan dijadwal ulang pada 6 April. Maman Firmansyah, ketua Fraksi PPP yang selama ini menentang keras pengesahan raperda tersebut, belum mau banyak berkomentar soal Sanusi.
’’Tetapi, benar bahwa pengesahan raperda itu sudah dijadwalkan lagi pada 6 April. Ya, itu nanti tergantung kuorum atau tidak,’’ kata Maman saat dikonfirmasi Jawa Pos kemarin.
Maman menyatakan, PPP sampai saat ini kukuh menolak pengesahan raperda tersebut. Alasannya, materi raperda belum dimenger- ti banyak pihak. Selain itu, banyak pasal yang dianggap menguntungkan pihak swasta. ’’Jadi, kami tidak menolak reklamasi. Tetapi, aturannya harus memperhatikan kepentingan rakyat, terutama para nelayan. Secara umum ya harus menguntungkan daerah,’’ ujarnya.
Menurut Maman, banyak anggota DPRD DKI yang sependapat sehingga ikut berdiri di barisan penolak bersama para nelayan.
Anggota Fraksi Hanura Syarifuddin saat diwa- wancarai kemarin juga membenarkan bahwa pada 6 April rencananya diadakan paripurna pengesahan raperda zonasi. Dia menyatakan, setiap anggota dewan secara pribadi memiliki hak untuk menolak atau mendukung. ’’Kami wakil masyarakat punya hak pribadi juga. Kalau program dirasa bakal merugikan masyarakat, ya harus ditolak. Bagi saya, dalam hal ini semua dewan berhak menentukan sikap secara pribadi,’’ terangnya. (riz/ydh/c5/ano)