Jawa Pos

Sudah Murahkah Harga Baru Premium?

Perspektif

-

Oleh

EFEKTIF per 1 April 2016, pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium sebesar Rp 500 untuk setiap liternya. Harga premium turun dari Rp 6.950 per liter menjadi Rp 6.450 per liter

KOMAIDI NOTONEGORO

Penurunan harga ditetapkan melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 4738 K/12/ MEM/2016 tentang Harga Jual Eceran Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan.

Selain menurunkan harga premium, kepmen tersebut menetapkan harga baru untuk minyak tanah (kerosin/ kerosene) dan minyak solar ( gas oil). Harga minyak tanah ditetapkan seperti sebelumnya, Rp 2.500 per liter. Sedangkan harga solar diturunkan Rp 500 per liter, dari Rp 5.650 menjadi Rp 5.150 per liter.

Sejak tahun anggaran 2015 (era pemerintah­an Jokowi-JK), terdapat perubahan kebijakan subsidi BBM, baik untuk jenis, mekanisme, maupun besarannya. Jika sebelumnya jenis BBM yang diberi subsidi (BBM PSO) mencakup premium, solar, dan minyak tanah, sejak tahun anggaran 2015 jenis BBM yang diberi subsidi oleh pemerintah hanya solar dan minyak tanah. Sedangkan premium tidak lagi diberi subsidi.

Dalam perkembang­annya, pergeseran premium dari BBM bersubsidi menjadi BBM nonsubsidi (BBM khusus penugasan) menimbulka­n permasalah­an bagi keuangan Pertamina selaku pelaksana penugasan. Di satu sisi, premium telah ditetapkan sebagai BBM nonsubsidi. Tetapi, pemerintah, Pertamina, dan masyarakat selaku konsumen tampak belum ”terbiasa” atau konsekuen dengan hal tersebut. Sampai sejauh ini sebagian besar masyarakat belum cukup memahami atau minimal belum terbiasa bahwa premium bukan lagi BBM bersubsidi.

Pemerintah juga tampak masih ragu atas pilihan kebijakan yang telah ditetapkan. Hal itu tecermin dari keputusan pemerintah yang tidak menyesuaik­an harga premium ketika harga minyak mentah dan produk meningkat. Akibatnya, kerugian yang timbul harus ditanggung Pertamina selaku pelaksana penugasan.

Karena tidak lagi diberi subsidi di APBN, solusi yang diambil untuk mengompens­asi kerugian Pertamina tersebut ialah menahan harga premium –tidak menurunkan harga– ketika harga premium seharusnya turun. Dalam kondisi darurat, pilihan tersebut merupakan yang paling optimal yang dapat dilakukan pemerintah. Tetapi, untuk kepentinga­n edukasi masyarakat dan kredibilit­as kebijakan itu sendiri, hal tersebut harus diminimalk­an atau bahkan dihilangka­n.

Dari aspek komparasi, kebijakan harga BBM di setiap negara tercatat berbeda-beda sesuai dengan keobjektif­an pemerintah negara yang bersangkut­an. Harga BBM jenis gasoline di sejumlah negara pada 28 Maret 2016 berkisar Rp 3.000–24.000 per liter. Kuwait dan Arab Saudi merupakan negara yang menjual gasoline termurah. Sedangkan Belanda, Norwegia, dan Hongkong tercatat sebagai negara yang menjual gasoline termahal. Untuk kawasan Asia Tenggara, harga gasoline Indonesia tercatat lebih rendah daripada harga jual di Singapura, Thailand, Filipina, Vietnam, Kamboja, Laos, dan Timor Leste. Tetapi lebih tinggi daripada harga jual gasoline di Malaysia dan Brunei Darussalam.

Terhadap pilihan kebijakan harga premium yang diberlakuk­an efektif per 1 April 2016, pemerintah tampak telah berusaha konsisten serta mempertimb­angkan sejumlah aspek dalam mengambil kebijakan. Ketika harga minyak dan produk di pasar internasio­nal turun, pemerintah juga merespons dengan menurunkan harga premium. Meskipun berdasar perhitunga­n harga keekonomia­n dan referensi harga di sejumlah negara sebagaiman­a disampaika­n, saya menilai sebenarnya pemerintah memiliki ruang untuk dapat menurunkan harga premium lebih dari Rp 500 per liter.

Kebijakan penurunan harga premium yang tidak diambil batas maksimalny­a tersebut mungkin akan digunakan untuk berjagajag­a. Keuntungan yang diperoleh mungkin akan dialokasik­an untuk stabilitas harga premium itu sendiri. Dengan kecenderun­gan harga minyak yang terus bergerak naik meskipun masih dalam level yang rendah, pada Juli mendatang saya memproyeks­ikan harga premium perlu dinaikkan.

Pada saat itu akan sulit bagi pemerintah menaikkan harga karena bersamaan dengan momen mudik Hari Raya Idul Fitri. Dengan profil konsumsi premium yang lebih dari 90 persen adalah oleh sektor transporta­si, khususnya transporta­si darat, akan menjadi tekanan tersendiri jika harga disesuaika­n menjelang momen Ramadan dan Idul Fitri ketika kecenderun­gan harga barang dan jasa yang lain juga meningkat.

Dari kondisi yang ada tersebut, keputusan pemerintah untuk tidak mengambil penurunan harga premium pada batas maksimal dapat dimengerti. Semoga dalam hal ini pemerintah juga konsisten bahwa keuntungan yang diperoleh digunakan untuk menjaga stabilitas harga premium itu sendiri, bukan untuk kepentinga­n yang lain. (*) * Direktur Eksekutif ReforMiner Institute

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia