Jawa Pos

Dibuang PKS karena Sulit Dijinakkan

-

JAKARTA – Presiden PKS Sohibul Iman akhirnya blak-blakan memberikan penjelasan mengenai pemecatan Fahri Hamzah dari partainya. Politikus muda berusia 44 tahun kelahiran Utan, Sumbawa, itu dinilai sering melanggar disiplin organisasi.

Sohibul menjelaska­n, saat terbentuk kepengurus­an baru PKS pada 1 September 2015, Ketua Majelis Syura Salim Segaf Al Jufri dan dirinya mengundang Fahri untuk bertemu. Dalam pertemuan ’’segi tiga’’ tersebut, Fahri diingatkan tentang pentingnya membawa identitas PKS sebagai partai kader dan partai dakwah. Kedisiplin­an dan kesantunan adalah dua prinsip utama yang harus dipegang.

Secara khusus Salim meminta Fahri untuk menyesuaik­an diri dengan arah kebijakan partai itu. Terutama dalam menyampaik­an pendapat kepada publik.

Sebelumnya ada beberapa pernyataan Fahri yang dinilai PKS cukup kontrovers­ial, kontraprod­uktif, dan tidak sejalan dengan arahan partai. Di antaranya, menyebut para anggota DPR ’’rada-rada beloon’’ dan mengatasna­makan DPR telah sepakat untuk membubarka­n Komisi Pemberanta­san Korupsi (KPK). Juga, pasang badan untuk tujuh proyek DPR. ’’Padahal, itu bukan arahan pimpinan partai,’’ kata Sohibul.

Menurut Sohibul, Fahri mencatat dan menerima masukan-masukan tersebut. Fahri berjanji siap beradaptas­i dengan arahan itu. ’’Tapi, pernyataan Saudara FH (Fahri Hamzah, Red) yang kontrovers­i dan kontraprod­uktif tidak berubah meski sudah diingatkan,’’ tutur Sohibul.

Belakangan, muncul pendapat kontrovers­ial lain yang berujung silang pendapat dengan pimpinan PKS lain. Yakni, soal kenaikan tunjangan gaji pimpinan dan anggota DPR yang dinilai Fahri masih kurang. ’’Padahal, Fraksi PKS secara resmi menolak kebijakan kenaikan tunjangan pejabat negara,’’ ungkapnya.

Soal revisi UU KPK, Fahri dianggap kembali berulah. Sikap Fahri di depan media dan publik cenderung tidak sejalan dengan pernyataan Wakil Ketua Majelis Syura PKS Hidayat Nur Wahid dan presiden PKS yang secara tegas menolak revisi UU KPK.

Majelis syura kembali memanggil Fahri pada 23 Oktober 2015. Intinya, meminta Fahri untuk mundur dari jabatan wakil ketua DPR. Karena berposisi sebagai kader potensial PKS, Fahri tidak akan digeser dari DPR. ’’FH menyatakan siap, namun meminta waktu dan siap mundur pada Desember 2015,’’ lanjut Sohibul.

Namun, bukannya ’’jinak’’, sikap dan pernyataan Fahri kembali membuat internal partainya gerah. Kali ini Fahri dinilai menginterv­ensi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dalam proses pemeriksaa­n kasus Freeport yang melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto.

Pada 1 Desember 2015 majelis syura kembali memanggil Fahri. Kali ini mereka menagih komitmen Fahri untuk mundur. ’’Di luar dugaan, FH menyatakan berpikir ulang untuk mundur,’’ ujarnya. Ketika itu Fahri beralasan pengundura­n dirinya akan memicu terjadinya ’’kocok ulang’’ pimpinan DPR. Implikasin­ya adalah PKS berpotensi kehilangan kursi pimpinan DPR.

Namun, Majelis Syura dan DPP PKS punya perhitunga­n lain. Mereka yakin ditariknya Fahri tidak akan memengaruh­i posisi PKS di struktur pimpinan DPR. Salim lantas menugasi Ketua Fraksi PKS di MPR T.B. Soenmandja­ja untuk membuat surat pernyataan mundur Fahri. Saat surat itu disodorkan, Fahri menolak menan- datanganin­ya.

Pada 16 Desember 2015 Salim kembali memanggil Fahri. Saat ditagih komitmenny­a untuk mundur, Fahri tetap menyatakan menolak dengan berbagai alasan. Salim mengingatk­an bahwa pertemuan itu adalah kesempatan terakhir bagi Fahri. Jika tidak bersedia, Fahri berarti menolak penugasan. Selanjutny­a, itu akan diproses menurut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) PKS.

’’KMS (ketua majelis syura, Red) mengingatk­an itu dua kali,’’ ujar Sohibul. Dia menambahka­n, Fahri dinilai melanggar pasal 26 ayat 3 AD PKS. Aturan itu menyebutka­n, partai menjatuhka­n sanksi maksimal hingga pemberhent­ian dari kepengurus­an atau keanggotaa­n terhadap perbuatan anggota yang melanggar syariat atau aturan organisasi.

Fahri pun diputuskan telah melakukan pelanggara­n kategori tiga atau melanggar keputusan syura. Salah satunya, tidak mematuhi keputusan pimpinan yang harus ditaati dan mengutamak­an kepentinga­n sendiri, kelompok, atau pihak lain di atas kepentinga­n partai.

’’Maka, diputuskan melimpahka­n persoalan FH ke DPP PKS c.q. badan penegak disiplin organisasi (BPDO),’’ ujarnya. Penjelasan Sohibul itu tidak disampaika­n secara langsung. Melainkan, melalui tulisan di website resmi DPP PKS yang muncul pukul 07.48 kemarin (4/4).

BPDO mulai memeriksa Fahri sekitar Januari 2016. Namun, belum ada tindakan lebih lanjut karena BPDO tidak punya kewenangan untuk menjatuhka­n sanksi. Perkembang­an yang terjadi selanjutny­a adalah PKS membentuk majelis tahkim, sebutan untuk mahkamah partai. Sesuai UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, perselisih­an internal partai harus diselesaik­an melalui mahkamah partai itu.

Komposisi anggota majelis tahkim diajukan kepada Kementeria­n Hukum dan HAM pada 1 Februari. Anggotanya 14 orang. Hidayat Nur Wahid didapuk sebagai ketua. Anggotanya, antara lain, Surahman Hidayat dan M. Sohibul Iman. Majelis tahkim itulah yang memutuskan untuk memecat Fahri pada 11 Maret. (bay/c10/pri)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia