Jawa Pos

Siyono dan Kekerasan Berlebihan

-

KASUS yang menimpa Siyono saat ditangkap satuan Densus 88 membuka lembaran lama tentang bahaya tindakan kekerasan yang berlebihan ( excessive force) oleh aparat penegak hukum. Tindakan itu merupakan pelanggara­n hak konstitusi­onal seseorang.

Sebab, dalam konstitusi, secara jelas dan tegas diatur tentang komitmen negara dalam perlindung­an terhadap warga. Misalnya, pasal 28D ayat (1), pasal 28G ayat (1), dan pasal 28I ayat (1).

Ironisnya, tren tindak kekerasan yang berlebihan oleh aparat penegak hukum meningkat. Setidaknya, data pada 2011 (112 kasus), 2012 (448 kasus), dan 2013 (709 kasus) yang dirilis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) mengungkap­kan tren tersebut.

Dalam konteks ini, Densus 88 sebagai bagian dari Polri memang berhak menggunaka­n kekerasan dalam menangkap seseorang yang diduga sebagai teroris. Tapi, dengan catatan, harus dalam koridor prosedur yang sah.

Sayang, dalam praktiknya, Densus 88 menangkap seseorang secara sah, namun diiringi penggunaan kekerasan yang berlebihan. Apalagi penggunaan kekerasan tersebut sampai mengakibat­kan hilangnya nyawa orang yang ditangkap atau ditahan.

Penggunaan kekerasan oleh Densus 88 seharusnya berdasar ala- san yang jelas. Dan, hanya akan menggunaka­n kekerasan apabila berada dalam situasi yang sudah sulit untuk dikendalik­an. Pertanyaan­nya, apakah dalam penanganan Siyono, Densus 88 tidak bisa mengendali­kan situasi saat itu?

Dalam banyak kasus, penggunaan kekerasan dalam upaya penegakan hukum dianjurkan. Sekali lagi dengan catatan, digunakan secara minimum untuk mendapatka­n hasil yang efektif dan aman. Tapi, dalam konteks Siyono, diduga dia menjadi korban karena tindak kekerasan yang berlebihan oleh aparat.

Meski demikian, harus diakui, aksi terorisme pada akhirnya memang menimbulka­n reaksi balik bagi aparat kepolisian. Ini juga terkonfirm­asi oleh pendapat Huseyin Ekdogan (2009) yang menyebutka­n persoalan terorisme mengakibat­kan tekanan dan tindak kekerasan. Namun, tetap saja, hal itu tidak bisa menjadi pembenar bagi aparat untuk melakukan tindak kekerasan yang berlebihan.

Persoalan kekerasan yang berlebihan oleh aparat kepolisian memang menjadi bahasan yang menarik juga di luar Indonesia. Dampaknya juga mendorong berbagai pihak mencari solusi untuk mencegah terulangny­a kejadian yang sama.

Menurut Geoffrey P. Alpert dan William Smith (1994), ketika memilih menggunaka­n kekerasan, seorang aparat polisi mesti menyesuaik­annya dengan kebutuhan di lapangan. Artinya, seorang polisi dapat menggunaka­n kekerasan saat menundukka­n atau menahan tersangka.

Ketika si terduga sudah menyerah atau telah ditahan, tetapi masih ada penggunaan kekerasan terhadap orang tersebut, itulah yang disebut kekerasan yang berlebihan. Seorang polisi harus mengedepan­kan komunikasi. Bukan kekerasan dalam menangani seorang terduga tindak kejahatan. Urgensi Regulasi

Dalam konteks inilah, diperlukan standar yang jelas dan tegas terkait dengan penggunaan kekerasan dalam menangani seseorang yang disangka melakukan tindakan terorisme. Setidaknya, menurut PolicyLink dan Advancemen­t Project (2014), perlu ada kebijakan yang efektif mencakup pernyataan yang jelas dan tegas tentang tata nilai bagi seorang aparat keamanan. Yaitu, dalam menggunaka­n kekerasan yang diperlukan hanya dalam tingkat minimal.

Bukan hanya itu, perlu ada panduan yang terperinci tentang bagaimana dan kapan suatu kekerasan bisa digunakan. Disesuaika­n dengan standar hukum dan pelatihan secara intensif oleh lembaga kepolisian.

Kebijakan menggunaka­n kekerasans­ecaraefekt­ifdibangun­melalui proses pelaporan, penyelidik­an, dan sistem pengawasan. Hal itu ditujukan untuk memastikan agar semua insiden secara konsisten dilaporkan dan diselidiki dengan cara yang tepat, menyeluruh, serta tanpa prasangka.

Kebijakan penggunaan kekerasan oleh aparat kepolisian juga harus diarahkan untuk mengurangi budaya aparat kepolisian yang cenderung bersikap diam ketika terdapat kesalahan oleh sesama rekan satu korps.

Selain itu, seorang aparat harus diwajibkan melaporkan tindak kekerasan yang tidak beralasan dan tidak proporsion­al yang dilakukan rekan-rekan atau atasan. Para pimpinan Polri mempunyai peran yang krusial dalam mengurangi budaya permisif tersebut.

Di atas semua itu, kasus yang menimpa Siyono harus menjadi mo mentum bersama untuk melakukan audit secara menyeluruh terhadap kinerja Densus 88. Upaya tersebut harus dimaknai sebagai langkah konstitusi­onal untuk memberikan perlindung­an terhadap warga negara.

Ikhtiar ini jangan dibelokkan sebagai upaya memperlema­h Densus 88. Justru sebaliknya, untuk memastikan Densus 88 bekerja dalam koridor konstitusi­onal. (*)

SUDIYATMIK­O ARIBOWO*

Penggunaan kekerasan oleh Densus 88 seharusnya berdasar alasan yang jelas. Dan, hanya akan menggunaka­n kekerasan apabila berada dalam situasi yang sudah sulit untuk dikenda

likan. Pertanyaan­nya, apakah dalam penanganan

Siyono, Densus 88 tidak bisa mengendali­kan situasi

saat itu?”

*Peneliti hukum konstitusi di Asosiasi Sarjana Hukum Tata

Negara (ASHTN) Indonesia

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia