Jawa Pos

Mendoakan Yang Terbaik untuk Van Gaal

-

BERBADAN tegap dengan tatapan mata tajam, gemar melontarka­n kata-kata pedas, dan kerap bersikap arogan, Louis van Gaal semestinya cukup menakutkan bagi banyak orang. Akan tetapi, jika melihat hasil kerjanya selama dua musim di Manchester United, kita tahu bahwa dia lebih layak dianggap sebagai lelucon.

Ada banyak tokoh dalam sepak bola yang secara sadar memamerkan sikap arogan. George Best, misalnya. Ada sebuah cerita menarik tentang salah seorang legenda United yang gemar mabuk tersebut.

Ketika menjelang pertanding­an persahabat­an antara Irlandia Utara versus Belanda pada 1976, Best tertawa sarkastis kala Bill Elliott, salah seorang jurnalis Express Newspapers, menanyakan apakah Johan Cruyff lebih hebat daripada dirinya.

Best menjawab, ”Anda bergurau, nanti saya akan mengolongi­nya ( sempatan pertama yang saya dapat.”

Elliott tertawa kecut. Mengingat pada masa itu nama Cruyff tengah melangit lantaran permainann­ya di Ajax Amsterdam dan Belanda. Barangkali Elliott diam-diam juga menyangsik­an kelakar Best Lihat, di ke-

Catatan: EDDWARD S. KENNEDY

Hingga kemudian pertanding­an dimulai. Tak sampai enam menit, Best membuktika­n omong besarnya itu. Elliott memberikan kesaksiann­ya.

”Lima menit setelah pertanding­an dimulai, Best menerima bola di sisi kiri. Alih-alih berlari ke arah pertahanan lawan, dia justru berbelok arah dengan melewati tiga pemain Belanda, menuju Cruyff yang sedang berada di sisi kanan,” katanya. ”Dengan gerakan yang amat cepat, Best kemudian mengolongi Cruyff, lalu berlari sambil mengepalka­n tangan kanannya ke udara.”

”Hanya sedikit orang yang mengerti apa maksud dari gestur Best tersebut. Johan Cruyff yang terbaik di dunia? Anda bergurau? Hanya seorang bodoh yang berpikir seperti itu dalam pertanding­an tersebut,” lanjut Elliott.

Tapi, Van Gaal bukan Best. Secara prestasi, statistik Van Gaal memang tidak buruk. Dia satu di antara sedikit pelatih yang sukses meraih gelar liga dengan empat klub yang berbeda di tiga negara: di Belanda dengan Ajax Amsterdam (1993–1994, 1994–1995, 1995–1996) dan AZ Alkmaar (2008–2009); di Spanyol bersama Barcelona (1997– 1998, 1998–1999); serta di Jerman dengan Bayern Muenchen (2009–2010).

Van Gaal bahkan nyaris membawa Bayern meraih treble winners pada 2009–2010 –sebelumnya juga membawa Die Roten menjuarai DFB-Pokal– jika saja striker Inter Milan Diego Milito tidak menjebol gawang HansJoerg Butt dua kali di final Liga Champions. Meski demikian, atas capaian bersama Bayern, Van Gaal tetap menepuk dada.

”Saya tidak berpikir banyak pelatih di Eropa memiliki keberuntun­gan menjadi juara di tiga negara. Saya salah satunya. Saya melakukann­ya di negaranega­ra sepak bola yang sangat baik dan saya sangat bangga. Mungkin sekarang saya harus mencari negara lain.”

Van Gaal betul. Dia memang patut berbangga. Ketika United memilihnya sebagai suksesor David Moyes, pria bernama lengkap Aloysius Paulus Maria van Gaal itu seolah akan melanjutka­n tradisi juaranya di kompetisi lokal. Sokongan dana berlimpah dari klub pun dia terima. Skuad United di bawah Van Gaal adalah skuad yang paling bertabur pemain bintang sepanjang sejarah klub tersebut.

David de Gea, Luke Shaw, Morgan Schneiderl­in, Angel di Maria, Radamel Falcao, Robin van Persie, Marouane Fellaini, Shinji Kagawa, Luis Nani, Ander Herrera, Memphis Depay, Daley Blind, Marcos Rojo, Bastian Schweinste­iger, Juan Mata, hingga bintang lokal Wayne Rooney adalah barisan nama yang pernah mengisi skuad Van Gaal dalam dua musim kepemimpin­annya.

Pada musim pertamanya, aroma kesuksesan Van Gaal kian tercium setelah berhasil membawa Setan Merah bertengger di posisi keempat klasemen, tiga tingkat dan enam poin lebih tinggi daripada posisi pada musim sebelumnya. Meski begitu, boyak di sana-sini juga terngaga lebar. Dia kerap bentrok dengan pemainnya –ini memang kelaziman Van Gaal. Juga, yang terburuk dari itu semua adalah gaya bermain United di bawah asuhannya yang jauh lebih membosanka­n daripada pidato Harmoko pada zaman Orde Baru.

Van Gaal memulai tugas melatih di United dengan formasi yang tak lazim di Inggris: 3-5-2. Metodenya: Penguasaan bola dominan. Bahkan sangat dominan sehingga tak jelas apa gunanya itu semua. Posisi antar pemain pun tak standar: Satu sama lain kerap berdiri secara diagonal.

Van Gaal dengan pongah menyebut semua itu sebagai filosofiny­a. Juga, jika United kalah, itu adalah salah pemain yang tak mampu menerjemah­kan filosofi tersebut di atas lapangan. Obsesi Van Gaal terhadap filosofi permainann­ya sendiri memang sudah terhitung absurd. Bahkan, dia juga kerap mengungkap­kan visi sepak bolanya yang terhitung ”revolusion­er”.

Daniel Taylor dalam kolomnya di The Guardian yang berjudul Louis van Gaal keeps talking about his philosophy but when will it click? pernah menuliskan pendapat Van Gaal bahwa sebaiknya lemparan ke dalam diganti dengan tendangan saja.

”Ini sepak bola. Jadi, kenapa harus menggunaka­n tangan? Harusnya tendangan ke dalam,” tulis Taylor, mengutip Van Gaal.

Pada 2010, dalam sebuah wawancara dengan majalah Jerman Kicker, Van Gaal juga mengeluark­an pernyataan yang tak kalah visioner. Sebagaiman­a ditulis Taylor, Van Gaal kala itu menyatakan bahwa aturan adu penalti lebih baik dihapus. Sebagai gantinya, tiap tambahan waktu lima menit, tiap tim diwajibkan mengeluark­an satu pemain.

Menit ke-95, tim harus bermain 10 vs 10, menit 100 menjadi 9 vs 9, menit 105 menjadi 8 vs 8, begitu seterusnya hingga menit ke-120. Jika hasil tetap imbang, pertanding­an dilanjutka­n dengan ” golden goal”. Sungguh sebuah visi yang amat brilian, Saudara-Saudara sekalian.

Pada musim kedua Van Gaal, Di Maria, Falcao, Van Persie, Nani, dan Kagawa cabut dari Old Trafford. Permainan United pun kian buruk dan lebih membosanka­n lagi. Seperti biasa, Van Gaal masih bersikeras itu semua karena, lagi-lagi, filosofiny­a tak berjalan. Barulah ketika liga hendak usai seperti sekarang, dengan agak malumalu dia mulai melunak, pasrah, dan secara implisit menunjukka­n betapa dirinya tidak becus melatih.

Melatih United pasca ditinggal pergi Alex Ferguson –yang pengaruhny­a seperti institusi tersendiri di Old Trafford– memang bukan pekerjaan enteng dan jelas butuh waktu. Akan tetapi, kombinasi antara permainan buruk, sikap pongah yang dipamerkan, dan kebiasaan tak akur dengan pemain bukanlah sesuatu yang pantas ditunggu.

Itulah yang membedakan Van Gaal dengan Dave Sexton, pelatih United pada periode 1970an akhir. Meski mengakhiri empat musim kepelatiha­nnya di Old Trafford tanpa satu pun trofi dan juga dipecat klub, Sexton dinilai masih lebih ter_hormat daripada Van Gaal. Dalam beberapa hal, keduanya memang memiliki kemiripan.

Van Gaal dan Sexton samasama ”anak kandung” total football ala Rinus Michels. Setiap libur pertanding­an, Sexton bahkan kerap terbang ke Belanda untuk menyaksika­n Ajax bertanding seraya berdiskusi langsung dengan Michels mengenai pengorgani­sasian ruang dalam taktik serta metode per- putaran posisi antar pemain. Bagi para jurnalis dan pengamat sepak bola, Sexton-lah pelatih pertama yang menerapkan permainan menyerang dengan atraktif di tanah Inggris ketika menangani Chelsea (1967–1974) dan Queens Park Rangers (1974–1977).

Karakter Sexton pun sejatinya tak jauh berbeda dengan Van Gaal: suka bicara blak-blakan di depan umum, baik kepada jurnalis atau pemain sendiri. Bedanya dengan Van Gaal: Sikap tersebut tak pernah membuat Sexton bermusuhan dengan para pemainnya. Perbedaan lain, Sexton tak melulu membicarak­an filosofiny­a.

Filosofi melatih Sexton tak hadir secara verbal maupun tekstual, tapi ketika dieksekusi. Bandingkan dengan Van Gaal yang acap lantang membicarak­an filosofi sepak bola menyerangn­ya, tapi pada kenyataann­ya justru membuat timnya le bih mirip segerombol­an domba tanpa gembala di atas lapangan. Anda tak perlu cerdas layaknya Jonathan Wilson untuk mengetahui betapa membosanka­nnya United yang dipoles Van Gaal.

Apabila Van Gaal adalah pemain, komparasi yang paling cocok baginya adalah Nicklas Bendtner. Suatu ketika dalam sebuah wawancara, Bendtner mengatakan, ”Saya ingin menjadi top skor di Premier League, top skor di Piala Dunia, dan dalam lima tahun saya akan menjadi salah seorang striker terbaik. Percayalah, itu semua pasti menjadi kenyataan.”

Bendtner, 28, kini bermain di VfL Wolfsburg, klub yang menempati posisi kedelapan di Bundesliga saat ini. Pada 2015– 2016, striker asal Denmark tersebut telah membukukan dua gol dalam 13 pertanding­an. Sebuah capaian fantastis yang bahkan tak mampu disamai Lionel Messi atau Pele sekalipun.

Van Gaal memang tak seburuk Bendtner. Tetapi, kini dia jelas sedang menuju ke arah sana. Mari berdoa agar langkahnya mulus dan tujuannya segera tercapai. Amin. (*) Penulis Buku Sepak Bola Seribu Tafsir dan bisa

dihubungi di akun Twitter: @propaganje­n

 ??  ?? kan? nutmeg)
kan? nutmeg)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia