Enam Penangkap Siyono Diperiksa
Pelajaran agar Densus 88 Bisa Lebih Profesional
JAKARTA – Kasus kematian Siyono, aktivis masjid asal Klaten, Jawa Tengah, saat ditangkap Densus 88 Antiteror masuk ranah investigasi internal kepolisian. Polri sedang memeriksa setidaknya enam anggota Densus 88. Rencananya, ada sidang kode etik dan pidana untuk menentukan apakah terdapat pelanggaran dalam penangkapan tersebut
Kadivhumas Mabes Polri Irjen Anton Charliyan menyatakan, pemeriksaan terhadap anggota Densus 88 itu dimulai dari proses awal penangkapan hingga meninggalnya Siyono. ”Kami janji umumkan hasilnya. Tapi, sekarang masih proses semua,” ucapnya.
Pemeriksaan tersebut akan melihat sejumlah hal. Antara lain kemungkinan pelanggaran prosedur, mengingat Siyono tidak diborgol dan hanya ada dua anggota densus yang mengawalnya. ”Apalagi, salah satunya posisinya menjadi sopir saat kejadian perlawanan Siyono,” ungkap jenderal berbintang dua itu.
Apakah saat penangkapan tersebut ada surat penangkapannya? Anton menerangkan bahwa masalah surat penangkapan itu juga menjadi materi pemeriksaan. Yang pasti, bila memang ada pelanggaran, semuanya akan ditindak. ”Kami akan tindak tegas semua yang salah,” tandasnya.
Siyono, tegas Anton, memang diduga kuat sebagai anggota teroris. Polisi mendasarkan dugaan pada perlawanan yang dilakukan Siyono. ”Buktinya, petugas juga babak belur dan ada hasil visumnya. Ada sebab dan akibat lah,” ujarnya.
Ada tiga saksi yang menguatkan dugaan bahwa Siyono merupakan anggota kelompok teror. Ketiganya memastikan bahwa Siyono mengetahui keberadaan senjata yang akan digunakan dalam aksi teror. ”Jadi, sudah kuat buktinya,” ucap Anton.
Namun, lanjut Anton, densus tidak menewaskan terduga teroris dengan sengaja. Sebab, sejak awal densus ingin mendapatkan informasi dari anggota Neo Jamaah Islamiyah tersebut. ”Kami malah menyayangkan kematiannya,” tutur dia.
Sementara itu, Kabiddokkes Mabes Polri Brigjen Arthur Tampi menjelaskan, sebenarnya ada yang perlu diluruskan soal alasan jenazah Siyono tidak diotopsi sejak awal. Dia mengatakan, sebelumnya keluarga Siyono menolak otopsi dilakukan. Namun, saat masalah membesar, ternyata pihak keluarga berubah sikap dan ingin otopsi dilakukan. ”Kami sudah menawarkan otopsi sejak awal,” ujarnya.
Karena ditolak keluarga, Polri hanya melakukan scan pada jenazah. Hasilnya, ada kekerasan di bagian wajah, dada, dan kepala belakang. Namun, penyebab kematiannya adalah pendarahan pada kepala belakang terduga teroris itu. ”Benturan benda tumpul yang menewaskannya,” ucap dia.
Anton menambahkan bahwa kejadian itu memberikan pelajaran bagi Densus 88. Karena itu, akan dilakukan evaluasi terhadap SOP penangkapan dan penahanan teroris. ”Kami akan perbaiki aturannya. SDM juga perlu perbaikan,” tuturnya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyatakan, Muhammadiyah berupaya membantu dalam penegakan hukum. Kapolri, ujar dia, memastikan meneliti seberapa jauh terjadinya penyimpangan dalam penangkapan Siyono. ”Kalau ada kekeliruan yang dilakukan, nanti diproses secara internal,” ucapnya. (idr/c9/sof)