Jawa Pos

Ada Penjara Tak Punya CCTV

Fasilitas Minim, Sering Kebobolan Narkoba

-

JAKARTA – Lembaga pemasyarak­atan (lapas) dan rumah tahanan negara (rutan) berdalih bahwa fasilitas minim membuat mereka tak berdaya mencegah masuknya narkoba ke penjara. Bahkan, ada lapas yang ternyata CCTV pun tak punya.

Keluhan itu tergambar dalam rapat koordinasi dan bedah kasus narkoba di dalam lapas dan rutan yang diselengga­rakan Kementeria­n Hukum dan HAM kemarin (5/4). Dalam kesempatan tersebut, kepala lapas dan rutan mengeluhka­n minimnya fasilitas dan strategi penindakan penegak hukum yang justru kerap memicu konflik di dalam penjara.

Kalapas Gorontalo Fernando Kloer menyatakan, negara seharusnya memberikan fasilitas yang memadai bagi lapas maupun rutan untuk berperang dengan narkoba. ”Selama ini fasilitas kami minim. CCTV pun tak ada,” ungkap Fernando yang disambut aplaus ratusan Kalapas dan Karutan yang hadir.

Fernando berharap pemerintah juga memperhati­kan sarana dan prasarana (sarpras) pemberanta­san narkoba lapas serta rutan layaknya Bareskrim Polri atau Badan Narkotika Nasional (BNN). Misalnya saja dengan melengkapi pendeteksi ponsel atau pemindai X-ray.

Dirjen Pemasyarak­atan Wayan Dusak mengakui, pemenuhan fasilitas memang sulit dilakukan. ”Kita sebenarnya sudah berupaya melakukan pemenuhan, tapi anggaran terbatas, ya akhirnya berdasar skala prioritas saja,” kata Wayan. Menurut dia, pemenuhan standar diutamakan untuk lapas-lapas besar yang kondisi overkapasi­tasnya cukup besar.

Wayan lantas mencontohk­an pengadaan seratus biji alat pendeteksi ponsel. Dari jumlah lapas dan rutan yang ada (477 unit), tentu tidak semuanya kebagian. ”Alat-alat itu kita dulukan untuk lapas-lapas besar dulu, di DKI Jakarta, Surabaya, dan Medan,” ujar dia.

Anggaran terbesar pengelolaa­n lapas dan rutan saat ini tersedot untuk makan-minum narapidana (napi) atau tahanan. Untuk sarpras, anggaranny­a masih sangat kecil. Dari total anggaran Rp 3,6 triliun, anggaran sarpras hanya Rp 200 miliar.

Selain soal anggaran, Kalapas dan Karutan mengeluhka­n penyidikan kasus narkoba di dalam lapas atau rutan yang justru kerap memicu kerusuhan. ”Kami berharap teman-teman di Polri maupun BNN kalau mengembang­kan perkara di dalam lapas atau rutan mengubah strateginy­a. Agar ikannya didapat, tapi kolamnya tidak keruh,” tutur Arpan, Kalapas Tangerang.

Arpan yang pernah menjadi Kalapas Tanjung Gusta (lapas yang pernah terbakar karena kericuhan) mengatakan, petugas harus memahami psikologi napi dan tahanan. Para napi dan tahanan itu masih memiliki dendam terhadap penegak hukum.

Deputi Pemberanta­san BNN Arman Depari menjelaska­n, penyidik butuh kecepatan dalam mengungkap jaringan narkoba. Karena itu, penjemputa­n dan penggeleda­han kadang memang harus dilakukan dengan cepat ke lapas atau rutan.

Kasus penyalahgu­naan narkoba dalam lapas setiap tahunnya memang tergolong tinggi. Untuk kasus yang ditangani Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri saja, pada 2015 tercatat ada 20 kasus serta 39 tersangka narkoba berstatus napi. Sebelumnya, pada 2014, hanya ada 10 kasus dan 16 tersangka. (gun/c9/agm)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia