Jawa Pos

Filosofi Keberpihak­an dan Generasi Android

-

ISU keberpihak­an intelektua­l kampus memang tidak pernah sepi didiskusik­an. Artikel Listiyono Santoso dalam Kampus dan Tanggung Jawab Intelektua­litas ( Jawa Pos, 2/4) penting untuk ditanggapi. Bukan sekadar karena esai itu berupaya meninjau kembali peran intelektua­l kampus yang ditengarai mengarah pada ”radikalisa­si” sehingga terjebak pada ”disorienta­si keberpihak­an” dan ”reduksi pemaknaan intelektua­litas”.

Lebih dari itu, esai tersebut masih belum selesai dalam merumuskan apa yang menjadi gagasan kuncinya. Yakni, “keberpihak­an pada nilai kebenaran, kejujuran, dan kemanusiaa­n.”

Bagaimanak­ah kita menerjemah­kan konsep kebenaran, kejujuran, dan kemanusiaa­n di tengah masyarakat Indonesia yang teramat plural? Bagaimanak­ah pula kita menerjemah­kan keberpihak­an tanpa ”ideologi”? Tradisiona­l vs Kritis

Diskusi mengenai ”keberpihak­an” kaum intektual dan keilmuan di ranah global bisa disimak, antara lain, dari pandangan yang disampaika­n secara sistematis oleh Frankfrut School yang dimotori Theodore Adorno dan Mark Horkheimer. Sasaran kritik kelompok tersebut jelas: ilmu-ilmu yang dilabeli dengan ”ilmu-tradisiona­l”.

Yaitu, ilmu yang didirikan dengan doktrin ”objektivit­as”, ”netral”, dan ”bebas nilai” demi tercapainy­a mimpi zaman modern yang diusung Rene Descartes melalui kredo cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada): humanisme-universal. Ilmuilmu sosial yang demikian itu, ujar Adorno dan Horkheimer dalam buku Dialectic of Enlightmen­t, didirikan di atas epistemolo­gi positivism­e yang berlandask­an rasionalit­as dan hukum-hukum yang pasti dan berlaku universal seperti ilmu alam.

Apa yang terjadi berikutnya adalah fase anomali. Ketika peruba han kondisi masyarakat sedemikian dinamis sehingga ilmu-ilmu yang mengklaim dirinya objektif tersebut tidak mampu lagi menjelaska­n dan memecahkan masalah apa yang sedang terjadi: perang, kolonialis­asi, perbudakan, atau bahkan genosida ras.

Pendeknya, yang terjadi adalah kondisi dehumanisa­si justru karena produk-produkyang­dihasilkan­ilmuilmu sosial dan kaum intelektua­lnya itu sendiri. Maka, pandangan yang kini dikenal dengan teori-kritis tersebut menawarkan satu konsep yang sebelumnya nihil dalam kamus keilmuan: emansipato­ry.

Emansipato­ry bukan pandangan. Melainkan gerakan yang sepenuhnya menyadari bahwa tugas seorang intelektua­l bukan sekadar mampu menjelaska­n makna dari keadaan yang terjadi. Tapi, juga menerjemah­kannya pada tataran praktik hingga mampu mengubah keadaan itu sendiri.

Prasyarat dari gerakan tersebut jelas: kesadaran bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang steril dari politik atau relasi-kuasa dan kontrol. Yang karenanya, keberpihak­an pada satu nilai serta keberanian dalam memperjuan­gkannya menjadi hal mutlak.

Sangat mungkin, pandangan serupa itu didasarkan pada konsep ”revolusi” dalam Marxisme ortodoks. Namun, yang membedakan adalah revolusi dalam konteks ini lebih pada upaya menjadikan manusia bukan sebagai individu atau subjek. Melainkan, sebagai agen dan agensi: kemampuan untuk memengaruh­i dan bahkan mengubah keadaan atas nama kolektif (kelas) dan bukan sekadar pribadi (individu).

Maka, sulit rasanya berbicara keberpihak­an kaum intektual tanpa terkait dengan ideologi dan politik. Ideologi adalah kesadaran yang darinya seseorang melakukan praktik; politik adalah kontrol, yang mana setiap manusia memiliki will to power atau kehendak untuk memiliki kuasa/kontrol atas sesuatu.

Ideologi itu juga yang membuat mahasiswa memilih kampus dan organisasi yang diikuti, apapun organisasi­nya; dan politik jugalah yang membuat kampus tidak pernah sepi dari peminat, apapun kondisinya. Beda Zaman

Tetapi, memang benar bahwa isu keberpihak­an kaum intelektua­l terkini cenderung mengarah pada kondisi mencemaska­n dan menggemask­an. Disebut mencemaska­n karena praktik keberpihak­an kaum intelektua­l, khususnya mahasiswa, sangat beragam.

Ada yang berbasis agama, yang dengan varian interpreta­si masingmasi­ng, beberapa di antaranya terang-terangan menantang dan menentang ideologi resmi negara. Juga, fenomena diskrimina­si SARA, atau bahkan saling serang atas nama ”isme-isme”.

Disebut menggemask­an karena praktik keberpihak­an serupa itu, dalam banyak hal, bersifat sangat cair, bergantung tren, dan diekspresi­kan dengan cara yang asyik dan gaul: membikin petisi online, sebar isu via portal, copy-paste status teman dan disebar via grup chatting, dan lainnya.

Barangkali, itulah yang disebut dengan generasi Android, teknologi ponsel cerdas yang multitaski­ng. Dalam buku Lubang Hitam Kebudayaan, Hikmat Darmawan mengatakan bahwa kaum intelektua­l, khususnya mahasiswa di era pasca-Orde Baru, adalah generasi multitaski­ng: menolak pilihan-pilihan terbatas (memilih satu hal yang berarti menolak hal lainnya). Serta, memiliki kepedulian terhadap penderitaa­n masyarakat. Tapi, masih perlu diuji kesungguha­n perjuangan­nya.

Ada kecenderun­gan untuk terlibat secara aktif. Namun, keterlibat­an dan keaktifan itu sekaligus juga menyertaka­n unsur kesenangan dan petualanga­n tertentu yang bersifat cair serta fleksibel.

Seperti halnya status di beranda media sosial yang bisa muncul, diedit, dan dihapus kapan saja. Pada tahap itulah, peran dan strategi pihak kampus dalam mengader mahasiswan­ya menjadi perlu direnungka­n kembali.

Pertanyaan­nya: siapkah kampus? (*)

*) Staf pengajar di Program Studi Magister Kajian Sastra dan Budaya FIB Universita­s

Airlangga, Surabaya

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia