Jawa Pos

Seberapa Besar Kadar Cintamu kepada Klub Bola?

-

SUATU pagi pada musim panas di kedai Sfizio Pizza yang hanya selemparan batu dari Stasiun Termini, Roma. Saya duduk sendirian seperti orang hilang di meja pojokan dekat jendela. Hanya cappuccino yang tinggal separo cangkir dan croissant yang telah tergigit sedikit menemani kesunyian itu.

Kedai sedang sepi. Pagi mulai beranjak, matahari sudah tak malu-malu meneguhkan jati dirinya. Saya tidak begitu acuh ketika seorang pelayan mendatangi dan menanyakan apakah saya ingin mencoba menu lain.

Lalu, dia membuka percakapan. ’’Saya yakin kamu bukan orang Eropa,’’ katanya. Saya tertegun, tumben ada orang Italia mau mengajak orang asing berbahasa Inggris. ’’Ya, saya dari Asia. Dari Indonesia,’’ jawab saya singkat.

Obrolan basa-basi pun kami mulai, hingga dia bertanya apakah saya suka sepak bola. Dan, tentu saja kelanjutan­nya, kami mulai berbicara tentang tim kesayangan masing-masing. Dia tertawa sinis kala saya mengaku sebagai Milanisti.

’’Bagaimana mungkin seorang dari Indonesia bisa menyukai Milan,’’ tanya dia. Saya balik bertanya kepadanya, ’’Kamu sendiri? Saya yakin kamu bukan Laziale.’’ Dia tertawa dan kemudian bertanya, ’’Bagaimana kamu tahu?’’

’’Kamu mengajak saya berbicara. Orang asing, kulit berwarna, yang oleh fans Lazio mungkin tak akan dilirik.’’ Dia menjawab, ’’Sialan, kamu tahu tentang joke itu.’’ Lalu, dia mengenalka­n namanya, Anselmo. Resmi kami berteman. Dia Romanisti.

Kami terus bercerita dengan bahasa Inggris yang tak sempurna. Maklum, sama-sama bukan bahasa ibu. Tapi, segalanya tersampaik­an dengan baik. Dan, yang tak terlupakan oleh saya adalah kata-katanya yang satu ini. Meski sebenarnya, bukan kali pertama saya mendengarn­ya. Hanya, ini kali pertama langsung dari orang Italia.

’’Bisa saja kamu berganti kekasih, istri sekalipun. Bisa juga kamu berganti agama, apalagi hanya berpindah rumah. Tapi, tak mungkin mengganti klub bola yang dicintai,’’ katanya.

Masih banyak obrolan kami, tetapi itu yang paling teringat dan tergiangng­iang kala sudah berada di kereta api dalam perjalanan menuju Florence pada siang itu. Bahkan, masih terpatri jelas dalam ingatan akan ekspresi Anselmo kala mengucapka­n kalimat itu. Dia serius.

Sungguh masuk akal. Saat berganti kekasih, mungkin ada yang kecewa, galau, dan marah, tetapi ada di pihak lain yang bersukacit­a dan bahagia dengan kehadiran kita. Juga, ketika berganti agama. Di agama lama kita disebut murtad, tetapi di agama baru mereka menerima dengan nama mualaf. Tercerahka­n katanya.

Namun, sungguh sulit membayangk­an bahwa dulu pendukung Inter Milan kemudian berganti menjadi Chelsea karena pindah rumah. Atau, dulu Parma berubah Barcelona karena klub lama sudah almarhum (eh masih ada, tapi entah ke mana).

Kalau di Indonesia, coba bayangkan bahwa dulu fans Arema lalu berganti mendukung Persebaya karena pindah tempat kerja. Sama juga saat remaja jadi Bobotoh, lalu mendewasa di Jakarta kemudian mengaku fans Persija. Sulit diterima nalar.

Oleh para fans di tim lama, kita akan dibilang pengkhiana­t. Masalahnya, di fans tim baru juga ragu tentang loyalitas kita. Malah bisa dibilang sebagai kutu loncat atau yang kekinian itu: glory hunter. Ya, begitulah.

Beruntungl­ah kalau Anda lahir dan kemudian mendewasa di satu kota yang sama dengan tradisi sepak bola melegenda, seperti di Surabaya, Bandung, Jakarta, atau Makassar. Nah, kalau seperti saya yang tumbuh besar di Kupang, NTT, tentu bingung.

Hmmm, bukan apa-apa, nama klub di kota Kupang itu lho. Ya, namanya PSK Kupang, dari Persatuan Sepak Bola Kupang, tentunya. Coba bayangkan, sebutan fansnya apa? Kalau Persebaya disebut Bonek, Arema dipanggil Aremania, dan Persib disebut Bobotoh, bagaimana dengan fans PSK Kupang? Apakah PSK Mania? Ampun. Sudah gak perlu bicara prestasiny­a.

Sebagai penikmat sepak bola dari kota kecil yang Anda mungkin baru dengar, jalan keluarnya ya mendukung klub luar negeri. Dan, kepada AC Milan hati saya tertambat. Maklum, saya mulai menonton sepak bola di era jaya Trio Belanda.

Sekarang, Milan sedang dalam periode medioker. Kalau dulu bangga memakai jersey merah hitam ke mana-mana, sekarang hanya dipakai kalau akan tidur. Atau, bermain futsal bersama teman-teman sesama Milanisti. Terus, apakah saya berpikir untuk berpindah menjadi fans Leicester City karena sedang memuncak di Premier League saat ini. Atau, Barcelona yang dalam periode puncaknya. Maaf, tunggu dulu.

Justru, pada masa pancaroba yang tak

Catatan

Wartawan Jawa Pos menentu ini, loyalitas sebagai fans teruji. Bertahun-tahun suporter Arsenal diuji oleh ketiadaan gelar Premier League. Apalagi, Liverpudli­an alias fans Liverpool yang tak pernah mengecap juara di era Premier League. Juga, Romanisti yang sudah lupa cara berpesta di Serie A.

Mereka yang melewati ujian dan tak pindah ke lain hati adalah yang sejati. Jadi sasaran bully teman sekolah, kantor, atau di media sosial, ah cuek saja. Malah semakin menebalkan kecintaan. Mereka yang main mata dan berpindah klub sudah jelas sulit setia. Apalagi mau setia kepada satu kekasih. Catat itu para perempuan cantik sedunia.

Ada juga fans yang jenis ’’setia’’ dalam arti setiap tikungan ada. Mereka mendukung Juventus di Italia, Manchester United di Inggris, dan Real Madrid di Spanyol. Atau, silakan pilih kombinasin­ya. Banyak jenis yang seperti ini. Fans liar. Abal-abal.

Sekarang, hampir satu dekade saya bekerja di Surabaya dan tinggal di Sidoarjo. Persebaya menjadi satu-satunya klub yang dicinta publik Surabaya, bukan yang lain. Lalu, di Sidoarjo, meski ada Persida, tetap saja Deltras yang pernah membuat mereka bangga pada era jaya Claudio Pronetto dkk.

Kebetulan, kini Bonek maupun Deltamania sama-sama berada dalam ujian loyalitas sebagai fans. Bukan hanya karena kompetisi yang sedang mati suri, melainkan juga karena problem yang jauh lebih pelik. Untuk urusan satu ini, Deltamania sedikit lebih beruntung. Mereka hanya turun level kompetisi. Nah, kalau Bonek, mereka kebingunga­n akan nasib dan masa depan klub kesayangan.

Boleh saja Deltras sekarang dalam keadaan kembang kempis, tetapi mereka masih seiring sejalan dalam dukungan Deltamania. Kalau Persebaya, sepertinya agak sulit berharap keruwetan ini ada ujungnya selama masih di tangan manajemen yang itu-itu saja. Tanpa gebrakan. Miskin inovasi.

Coba kalian para Bonek mengingati­ngat, ketika bertemu atau berbincang dengan manajemen, mesti pembahasan­nya masih berputar pada isu-isu yang itu-itu saja. Sama seperti mendengar kaset rusak yang terpaksa diputar berulang-ulang karena tak punya kaset lain.

Nah, justru pada masa inilah loyalitas dan kecintaan seorang fans diuji. Pada akhirnya, akan terang benderang mana yang jenis fans loyal dan mana yang abal-abal. Mana yang mencintai dengan sepenuh hati dan mana yang hanya heboh gebrak-gebrak dan merusak mobil orang kalau sedang berkonvoi. Eh, itu fans klub lain ya... (*)

ham@jawapos.co.id

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia