Tampung Curhat Tahanan Narkoba sampai Terpidana Mati
Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Psikiatri Unair Coba Rengkuh Tahanan Rutan Di balik jeruji tahanan ada begitu banyak tekanan. Mulai stres ringan, depresi, hingga niat memegat nyawa. Calon-calon psikiater ini menyediakan dirinya untuk menjadi k
Humas PDAM Surya Sembada
PROBLEMATIKA tahanan yang bersembunyi di balik jeruji memang menggunung. Mereka tidak bakal kuasa jika harus memikul berjibun masalah sendirian. Terlebih ada tembok-tembok tinggi yang membatasi kemerdekaan. Penjaga pun tidak main-main.
Ya, para tahanan Rutan Kelas 1 Surabaya (Medaeng) yang jumlahnya hampir 1.900 orang tentu butuh pendampingan. Lebih tepatnya kawan untuk bercerita.
Kawan-kawan budiman itu muncul saban Selasa. Ada dokter-dokter muda calon psikiater yang datang ke penjara. Bergantian. Dua orang tiap pekan. Mereka adalah mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis ( PPDS) Psikiatri di Universitas Airlangga (Unair). Salah satu agenda rutin mereka memang sesi konseling di rutan. Hal itu berkat kongsi antara PPDS Psikiatri dan rutan.
Kerja sama mesra tersebut berjalan hampir tiga tahun. Saling menguntungkan. Rutan bisa terbantu dalam menyentuh sisi psikologi para tahanan atau napi. Para mahasiswa pun punya pengalaman variatif tatkala menangani pasien yang terbelit problem hukum.
Selasa itu (29/3) giliran dr Agung Adi Prabowo dan dr Zayn Budi Syulthoni yang ’’praktik’’ di rutan. Berbeda dengan dokter lain yang ’’ bersenjata’’ stetoskop atau jarum suntik, ’’amunisi’’ dua dokter tersebut adalah ketenangan
Secara kalem, mereka bertanya problem-problem yang dialami pasien, para tahanan tersebut. Nadanya halus dan perlahan, tetapi tetap terdengar jelas. Mata dan perhatian para dokter itu juga tidak pernah lepas dari si pencerita. Gestur tubuh dan ekspresi pun tidak kalah tenang.
Dihadapi dengan jurus kalem, sesi curhat tersebut pun sukses. Tidak perlu lama, cerita dari para pasien keluar dengan deras. Tanpa malu. Tanpa khawatir. Air mata pun menganak sungai berbarengan dengan kisah-kisah pribadi yang menyeruak.
Kondisi itu tampak pada sosok Deni yang sedang melepas kegundahan kepada Agung dan Zayn. Segala cerita diungkap. Narapidana kasus narkotika tersebut berkisah soal orang tua yang keberatan pada minatnya di bidang musik. Konflik membara dalam dadanya. Mau tetap teguh pada hasrat berkesenian, tetapi takut melukai orang tua yang amat disayang.
Lalu, air mata di pelupuk pemuda itu jatuh satu per satu. Basah. Dia menutup sebagian wajahnya dengan dua telapak tangan. Pada Deni, Agung dan Zayn menginduksi dengan sugesti positif. Minat yang berbeda dengan orang tua harus jadi pelecut pembuktian. Buktikan bahwa jalan yang dipilih Deni bisa merengkuh prestasi atau bahkan mencapai karir yang gemilang.
Siang itu air mata bukan hanya milik Deni. Terpidana mati kasus 50 kg sabu-sabu, Tri Diah Torissiah alias Susi, juga tidak kuasa membendung tangis. Perempuan 43 tahun tersebut butuh dorongan dan semangat untuk bisa berdamai dengan takdirnya.
Lega. Itulah kata yang digambarkan Susi setelah meluapkan masalah-masalah yang tertimbun dalam hati. Dua dokter calon psikiater itu tentu sudah terlalu siap melihat air mata. Bukan hanya pada pasien di dalam rutan. Tetapi juga di mana pun dan kapan pun. Keduanya juga meneguhkan diri. Bahwa simpati yang tersembul di hati tidak lantas ikut membuat mereka menangis. Upaya itu perlu, bahkan harus.
’’Tidak bisa dimungkiri, iba dan kasihan itu pasti ada. Tapi, sedapat mungkin kami tidak melibatkan perasaan,’’ ujar Agung. Pria yang menamatkan studi dokter umum di Universitas Brawijaya Malang tersebut menekankan betapa pentingnya menjaga perasaan itu. Supaya bisa memberikan solusi secara objektif. Juga, membantu pasien agar menjadi lebih positif.
Teralu larut dengan perasaan, kata dia, bisa membuat psikiater bias. Maka, ketika pasien sudah meluruhkan air mata, yang selalu dilakukan adalah menyekat cerita. Dengan jeda sejenak. Membiarkan pasien menangis sepuasnya. Hingga mendapatkan ketenangannya kembali.
Dokter Agung sudah tiga kali mendapat giliran konseling di Rutan Medaeng. Lalu, siapa tahanan yang paling membuatnya tersentuh? Dia terdiam sejenak. Berpikir. Lalu, tidak lama dia berkisah. Satu waktu di sesi konseling, Agung bertemu seorang ibu yang masuk Medaeng karena tuduhan korupsi.
Perempuan tersebut berstatus PNS. Punya jabatan strategis di instansinya. Kasus korupsi yang melilit si ibu membuat sang anak shock berat. Sebab, figur ibu yang tangguh dan cerdas sudah telanjur menjadi panutan. Sesal, kecewa, dan kesedihan di antara hubungan ibu-anak yang terjalin dengan penuh kasih dan kepercayaan tersebut membuat Agung terenyuh.
Jika Agung sudah tiga kali mengunjungi rutan, lain halnya dengan Zayn. Pria kelahiran Surabaya itu menjadikan kunjungan pertamanya siang tersebut sebagai pengalaman tambahan. Terlebih jika nanti sudah benarbenar terjun secara profesional di dunia luar. ’’Jadi punya pengalaman dan wawasan untuk menangani pasien yang sedang bermasalah dengan hukum,’’ jelasnya.
Bagi Zayn, tidak ada perbedaan penanganan antara pasien rutan dan pasien nonrutan. Perbedaannya mungkin tingkat stres. Sebab, tahanan di dalam rutan punya tekanan tambahan. Mereka harus menghadapi lingkungan yang benar-benar baru. Mereka harus mampu menerima, beradaptasi, serta melebur di dalamnya.
Dengan tempat pencarian solusi yang terbatas, mereka harus punya daya tahan melebihi orang yang hidup bebas di luar rutan. Meski kompleksitas masalah yang dimiliki tidak jauh berbeda. ’’Kalau kita stres bisa ngopi atau naik gunung. Di sini kan tidak bisa. Jadi, mereka butuh bantuan,’’ jelas Zayn.
Hal-hal yang banyak diceritakan adalah seputar permasalahan hukum. Antara lain, marah, kecewa, dan merasa tidak adil terhadap vonis. Juga, perpisahan dengan keluarga yang mengundang rindu. Persoalan dengan tahanan lain juga kerap menjadi topik curhat. Juga, kegamangan menghadapi dunia luar.
Alfania mengalami hal itu. Perempuan kulit putih dengan tebaran senyum yang selalu tampak imut tersebut masuk bui karena melakukan aksi woman trafficking. Masa lalunya sebelum masuk bui dihabiskan untuk menjalankan bisnis online. Dia menyediakan jasa perempuanperempuan muda untuk diajak bersenang-senang oleh lelaki hidung belang.
Perempuan asal Jogjakarta itu melakukan konseling sehari sebelum bebas. Senang karena esok harinya bisa menghirup kembali udara di dunia luar. Itu pasti. Namun, rasa senang itu harus terselimuti pula oleh kegamangan. Bagaimana dia harus menjalani kehidupan sosial?
Ada kekhawatiran dan kecemasan yang menderu-deru. Cemas tidak diterima lingkungan. Cemas dipandang sebelah mata oleh kawan-kawan lama. Sebab, sudah banyak yang tahu bahwa dia menyandang gelar residivis. ’’Alumnus’’ penjara yang bersalah dan telah melanggar hukum.
Sebagaimana pasien lain, Alfania juga diberi masukan. Saran dan masukan itu diarahkan untuk memancing pilihan-pilihan yang bisa digunakan sebagai solusi persoalan. Dengan begitu, setiap pasien sebenarnya digiring untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. ’’Kami hanya tunjukkan pintunya. Mereka sendiri yang harus masuk ke pintu itu,’’ tutur Agung.
Mahasiswa PPDS Psikiatri Unair semester sepuluh itu ingin agar solusi datang dari pasien sendiri. Jadi, ketika masalah yang sama kembali terulang, mereka menjadi mandiri dan kuat. Bisa menghadapi dan menyelesaikan sendiri. Tidak bergantung pada orang lain.
Bagaimana caranya? Dia menyatakan, gali potensi pasien. Selami kekurangan dan kelebihannya. Bisa jadi, tanpa disadari, ada keahlian atau potensi si pasien yang sebenarnya bisa menjadi solusi bagi permasalahannya sendiri. ’’Kita eksplore karena semua orang punya gaya masingmasing,’’ ungkap Zayn.
Dia mencontohkan kasus pasien pertama yang datang. Tahanan itu bernama Musa. Dia tengah menarik diri dari lingkungan. Dia pandai bermain alat musik dan menyanyi. Keahlian tersebut bisa menjadi kunci adaptasi. Musa bisa saja menghibur tahanantahanan lain dengan bermain gitar dan bernyanyi bersama.
Hanya pada kasus- kasus tertentu, tindakan yang diberikan lebih intens. Misalnya, permasalahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kenakalan remaja. Biasanya, calon psikiater akan menghadirkan pihak kedua seperti keluarga. Tujuannya, tidak hanya terbentuk satu sudut pandang. Jadi, pemahaman masalah lebih lengkap.
Pada tahap-tahap tertentu, jika memang dirasa perlu, pasien akan diberi obat-obatan. Seperti ketika ada pasien yang punya stressor (tekanan) tinggi sehingga dalam dirinya tumbuh gejala gangguan jiwa. Misalnya, kecemasan, stres, dan depresi. ’’Jika ada pasien yang cemasnya sampai mengganggu aktivitas, mengurangi kualitas hidup, kita harus cepat-cepat intervensi,’’ kata Zayn.
Kemungkinan paling parah adalah psikosa. Itu merupakan proses berpikir yang terganggu akibat ketidakseimbangan zatzat kimia dalam otak. Salah satu indikasinya, ada upaya atau tindakan pasien yang membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain. Maka, diperlukan antipsikotik. Obat untuk menstabilkan kembali zat-zat kimia di otak.
Tidak bisa dimungkiri bahwa salah satu risiko seorang pendengar cerita yang baik adalah menumpuknya masalah-masalah orang lain dalam pikiran sendiri. ’’Saya kadang suka kepikiran, kira-kira solusi yang tadi saya berikan benar atau salah ya?’’ ungkap Agung. Jika begitu, dia akan bersepeda untuk menyegarkan pikiran.
Lain lagi dengan Zayn, calon psikiater yang pandai bergurau, tetapi justru terlihat begitu tenang dan serius saat konseling. Dia menggunakan relaksasi. Mengalihkan pikiran pada hal-hal positif supaya lebih rileks. Dia menyebutnya dengan proses ’’mengosongkan cawan’’. Dengan begitu, jika bertemu lagi dengan pasien, mentalnya sendiri sudah siap menerima gempuran masalah.
Konseling di Rutan Medaeng siang itu berakhir menjelang duhur. Agung dan Zayn kembali ke ’’dunia nyata’’ mereka. Bergulat dengan ilmu-ilmu psikiatri untuk menuntaskan studi.
Sundari, perawat rutan, akan kembali menyeleksi para tahanan yang membutuhkan pendampingan atau konseling. Mereka akan dipertemukan dengan calon-calon psikiater. Pada pekan berikutnya, datang lagi dua dokter yang siap menjadi cawan bagi luberan problematika para tahanan tersebut. (*/c15/dos)
double runway