Jawa Pos

Bebas Konsultasi

-

SALAH satu pasien yang memanfaatk­an layanan home care adalah Stefanus Rachmat, 81. Mantan anggota DPRD Bojonegoro itu tiga tahun lalu mengalami stroke. Kini dia hanya bisa berbaring. ’’Untuk makan dibantu dengan sonde,’’ kata istri Rachmat, Agnes Barbara Noorjanti.

Perempuan 76 tahun tersebut merasa nyaman dengan home care. Selain lebih privat, dia punya banyak waktu untuk mengobrol dengan dokter. Untuk sekali kunjungan dan pemasangan sonde, Agnes mengeluark­an Rp 300 ribu. ’’Pakai home care tidak perlu ke rumah sakit untuk kontrolkan suami. Kalau harus ke rumah sakit, saya juga repot karena harus dibawa pakai mobil ambulans,’’ katanya.

Satu lagi pasien home care di Surabaya adalah Ginny Soesanto. Pria berusia 72 tahun tersebut menderita stroke. Dia dirawat di rumah sakit sejak Juni 2015. Pasca menjalani rawat inap selama tiga bulan, akhir September dia pulang ke rumahnya di Simolawang, Kapasan. Awal Oktober dia melakukan home care. ’’Itu rekomendas­i dari dokter. Sampai sekarang berarti sudah enam bulan rawat di rumah,’’ jelas sang putri, Vivi Ariati.

Ayahnya mendapat dua jenis layanan. Yakni, pemasangan sonde dan tes laboratori­um. Kunjungan rutin setiap bulan dua kali. Saat baru keluar dari RS, setiap hari dia meminta home care. Sebab, Vivi takut jika memasang infus sendiri. ’’Saya juga menyewa jasa perawat dari akademi keperawata­n setiap hari datang ke rumah,’’ papar perempuan berusia 43 tahun itu.

Untuk dua kali kunjungan, biaya yang harus dibayar mencapai Rp 1,2 juta. Namun, Vivi tidak keberatan. Sebab, jika harus ke rumah sakit, biayanya cukup besar. Pasien stroke biasanya harus naik ambulans yang harga sewanya Rp 600 ribu pergi pulang. Apalagi, saat rawat inap di rumah sakit sudah habis Rp 325 juta.

Dia menganggap home care membuat sang ayah tidak stres jika lama di rumah sakit. ’’Keluarga yang nunggu kalau lama saja stres, apalagi pasiennya,’’ tambah Vivi. (lyn/nir/c15/any)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia