Cari Yang Bersertifikat, Dapatnya Padi Colorado
Ke Bengkel Tim Padi setelah Karya Mereka Terbang Bersama Roket NASA
Anak-anak SMA Indonesia yang tergabung dalam Tim Padi meriset rekayasa padi agar
bisa tumbuh di luar angkasa. Kini mereka sedang menunggu kiriman foto pertumbuhan padi
di antariksa dari NASA.
MALAM kian larut. Tapi, mata Syailendra Harahap sulit sekali terpejam. Mondar-mandir. Dari meja kerja tempat laptop tergeletak ke kasur untuk sekadar rebahan. Lantas beranjak menuju jendela kamar.
Balik lagi ke meja. Berulang-ulang, sejak berjam-jam sebelumnya
Sesekali direktur Center for Innovative Learning itu menenggak air minum, meski tak haus benar. ”Saya bingung sekali waktu itu mau bikin apa,” kenang Syailendra tentang malam menggelisahkan pada Agustus tahun lalu di Houston, Amerika Serikat, itu.
Penyebab kegelisahan tersebut adalah permintaan presentasi dari NASA yang harus dijalani keesokan harinya. Badan Antariksa Amerika Serikat yang mengundang dia dan tim pembina dari SMA Unggul Del itu menggariskan tema besar: bagaimana menumbuhkan bahan makanan di luar angkasa?
Nah, tugas Syailendra dan tim dari SMA yang berlokasi di Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, tersebut ialah menemukan tema yang cocok dan khas Indonesia. Persoalannya, waktu yang disediakan tidak banyak. ”Kami baru diberi tahu sehari sebelumnya,” ungkap pakar fisika kelahiran Bandung, 29 Mei 1983, itu.
Akhirnya Syailendra pun bulat menetapkan tema penelitian bagaimana pertumbuhan padi di luar angkasa. Mulai benih sampai tumbuh di dalam kondisi lingkungan yang minim gravitasi ( microgravity). Sedangkan tim SMA Unggul Del meneliti ragi.
Keputusan Syailendra tersebut lalu ditindaklanjuti tim berisi sepuluh siswa SMA yang dibentuk di Indonesia. Karya mereka lalu terpilih untuk diterbangkan roket tanpa awak milik NASA, Atlas 5, ke luar angkasa. Persisnya ke International Space Station (Stasiun Antariksa Internasional). Peluncurannya dari Cape Canaveral, Florida, pada 23 Maret lalu.
Sepuluh siswa SMA anggota Tim Padi tadi berasal dari lima sekolah. Yaitu, SMA Advent Doyo Baru Jayapura dan SMAN 1 Sentani diwakili masing-masing 2 siswa, SMA Pelita Harapan Lippo Village (3), SMA Binus Simprug (2), dan SMA BPK Penabur Bandung (1). Adapun ide meneliti ragi yang diajukan tim pembina dari SMA Unggul Del dikerjakan sepuluh siswa dari sekolah itu sendiri. Hasil riset mereka turut diterbangkan roket yang sama.
Meski karya mereka telah berada di angkasa, Tim Padi masih terus berkiprah. Kemarin sore, di sebuah ruangan 3 x 3 meter di gedung Center for Innovative Learning, Serpong, Tangerang Selatan, milik Prof Johanes Surya, Tim Padi masih sibuk. Mereka membuat replika karya mereka yang telah ”mengangkasa” itu. ”Tim Padi sedang tidak komplet. Sedang sibuk dengan sekolah masing-masing,” kata Syailendra yang menjadi pembimbing tim tersebut.
Alumnus Universitas Parahyangan Bandung itu menceritakan, awal mendapatkan informasi peluang kerja sama riset dengan NASA itu terjadi Juli tahun lalu. Selain Indonesia dan Amerika, kerja sama tersebut diikuti siswa dari Finlandia. Riset NASA itu disokong juga oleh Quest Institute. Lembaga riset tersebut berisi pensiunan NASA dan perusahaan teknologi informasi di Negeri Paman Sam.
Ketika Syailendra tengah berada di Houston untuk mengikuti pembekalan yang disusul permintaan presentasi tadi, di Indonesia sudah dimulai pendaftaran Tim Padi. Ada sekitar 40 siswa yang mendaftar. Namun, karena pembatasan kuota, hanya sepuluh yang dinyatakan terpilih. Kriteria pemilihannya adalah prestasi akademik.
Begitu Syailendra tiba kembali di Indonesia, riset pun dimulai. Berbagai peranti yang bisa menjadi media tanam padi di antariksa pun disiapkan. Aneka peranti itu nanti disimpan di dalam tabung plastik kecil dengan dimensi 15 x 5 x 4 cm.
Ukuran tabung itu kecil. Kira-kira seukuran gelas air mineral. Ukuran tabung tersebut disesuaikan dengan rak penyimpanan ketika nanti sudah sampai di stasiun luar angkasa.
Syailendra menjelaskan, seluruh komponen atau onderdil yang digunakan harus bersertifikat dan diakui internasional. Selain itu, keamanannya mesti benar-benar dijamin.
Bahkan, biji padi yang digunakan sebagai bahan utama penelitian pun tidak boleh biji padi sembarangan. Tidak bisa menggunakan biji padi ramos, rojo lele, atau IR yang banyak dijumpai di Indonesia. ”Semua padi di Indonesia tidak ada yang bersertifikat keamanan dan diakui internasional,” ungkapnya.
Akhirnya Tim Padi menggunakan padi impor dari Amerika Serikat. Tepatnya adalah padi Colorado. Padi ini rumpun padi Jepang. Bentuk bijinya agak bulat-bulat. Berbeda dengan biji padi di Indonesia yang umumnya lonjong-lonjong.
Perangkat lain adalah kamera, pompa air mini, tabung air, tabung plastik bening, dan komponen elektronik kecil-kecil lain. Seluruhnya harus bersertifikat keamanan internasional. ”Saya dapat padi Colorado ini dari teman saya. Bukan beli langsung dari Amerika Serikat.”
Untuk pompa air mini, Syailendra menggunakan barang produksi Jerman. Alat mungil seukuran ruas jari telunjuk itu dia beli dari kantor cabang yang ada di Singapura.
Setelah perlengkapan komplet, riset pun dimulai. Mereka dikejar target Januari 2016 harus jadi. Sebab, peranti riset mereka harus menjalani masa karantina sekaligus pengujian kelayakan mengangkasa selama tiga bulan.
Dua bulan menjelang deadline, Tim Padi sudah berhasil merampungkan peranti riset mereka. Hasilnya lantas dikirim ke Amerika. Ternyata setelah sampai di sana ditolak. Banyak yang harus direvisi atau diganti produknya. Selain itu, harus ada perubahan desain. Alasannya, terkait dengan keamanan dan kelancaran proses riset selama di angkasa.
Team Leader Tim Padi Bennett Jonathan Krisno menjelaskan, salah satu desain yang diminta diperbaiki adalah posisi kamera. Awalnya ditempatkan di dalam tabung untuk pertumbuhan padi. ”Kamera harus dikeluarkan. Karena kalau di dalam tabung rentan korsleting. Sebab, di dalam tabung itu ada airnya,” tutur remaja 17 tahun tersebut.
Siswa SMA Pelita Harapan kelas XI itu menerangkan, mereka melakukan rekayasa untuk media tanam. Diganti spons dan pupuknya berupa lembaran kertas. Di dalam tabung ( chamber) penelitian, sudah diisikan lima butir biji padi yang diikat dengan kain kasa.
Setelah berada di luar angkasa, perangkat elektronik yang menjalankan sistem pencahayaan, pompa air, dan kamera harus beroperasi dengan normal dan teratur. Contohnya, air yang menetes mesti sesuai dengan takaran. Tidak boleh banyak-banyak karena bisa membuat biji padi membusuk. ”Kami harus sering bekerja sampai larut malam di laboratorium. Tapi, itu tak sampai mengganggu jadwal sekolah,” katanya.
Hasil riset mereka akan diseminarkan di Jakarta pada 17 April. Bennett menambahkan, dirinya dan kawan-kawan saat ini sedang penasaran dengan kiriman foto dari tim NASA. Secara berkala tim NASA memang akan mengirimkan gambar foto pertumbuhan padi itu. Mereka juga akan mengirimkan gambar peragian dari Tim Ragi.
Syailendra memprediksi, kalaupun nanti padi di angkasa bisa tumbuh, pertumbuhannya tidak senormal di bumi. ”Mungkin nanti tumbuhnya keriting. Tidak lurus,” ucapnya.
Meski begitu, dalam jangka panjang, riset tersebut sangat penting karena untuk kelangsungan umat manusia. Tentunya jika nanti ada migrasi umat manusia tinggal di luar angkasa. (*/c9/ttg)