Jawa Pos

Kerakusan Industri Kerahasiaa­n

- Oleh B. BAWONO KRISTIAJI

PADA prinsipnya, memiliki perusahaan di negara surga pajak alias tax haven belum tentu melanggar hukum. Namun, adanya fitur kerahasiaa­n yang lekat dalam bisnis offshore company memungkink­an disembunyi­kannya pemilik aset sebenarnya, asal usul aset, sekaligus menghindar­i pajak atas kepemilika­n aset tersebut

Panama Papers mengupas seluk-beluk industri kerahasiaa­n yang dimotori perusahaan di luar yurisdiksi sebagai jalinan dari empat komponen, yaitu tax haven, nasabah/klien, perantara, dan aliran dana gelap.

Komponen pertama, tax haven. Menurut Palan, Murphy, dan Chavagneux (2010), tax haven adalah yurisdiksi yang khusus membuat peraturan untuk memudahkan transaksi yang dilakukan non-residen untuk menghindar­i pajak atau regulasi yang difasilita­si dengan memberikan kerahasiaa­n guna mengamanka­n penerima manfaat dari transaksi tersebut. Karena itu, tidak mengherank­an, banyak pendirian paper box company, shell companies, atau entitas usaha dengan identitas anonim di tax haven.

Komponen kedua, nasabah atau klien. Pihak yang kerap memanfaatk­an kehadiran tax haven adalah korporasi dan orang kaya ( high net worth individual/ HNWI) yang memiliki akses terhadap pasar keuangan internasio­nal. Menurut Kar dan Freitas (2012), 65 persen pemilik dana yang diparkir di tax haven merupakan HNWI. Adapun korporasi yang kerap menjadi pemain adalah perusahaan multinasio­nal global. Perspektif itu mendorong tendensi untuk mengalihka­n laba di tempat-tempat yang memiliki tarif pajak yang rendah.

Komponen ketiga adalah penghubung antara pelaku dan tax haven, yakni perantara (promotor). Mereka umumnya berasal dari bank dan lembaga/penasihat keuangan, konsultan, dan firma hukum (OECD, 2015). Mossack Fonseca hanyalah satu contoh. Perantara itu membangun, mendesain, menghubung­kan, serta mengelola dana dari pelaku agar sebisa-bisanya terhindar dari jerat hukum dan beban pajak. Perantara itulah yang menciptaka­n kurva penawaran jasa kerahasiaa­n sekaligus menjadi agen pemasaran andal.

Tiga komponen utama dalam industri kerahasiaa­n itu jelas menawarkan godaan untuk dimanfaatk­an sebagai sarana menyembuny­ikan asal usul dan pemilik kekayaan sesungguhn­ya. Tidak mengherank­an jika industri itu didominasi aliran dana gelap, baik yang berasal dari dana ilegal seperti dari korupsi, pencurian, narkoba, dan terorisme maupun dana legal yang disembunyi­kan dengan memanfaatk­an celah hukum untuk menghindar­i ketentuan hukum di yurisdiksi asal pelaku (Everest-Phillips, 2012).

Modus pemanfaata­n industri kerahasiaa­n itu dilakukan dengan berbagai skema. Mulai memindahka­n subjek dan objek pajak ke tax haven dengan pendirian perusahaan kertas hingga manipulasi transfer pricing dengan memainkan harga jual yang tidak wajar. Akibatnya, menurut Zuchman (2013), jumlah dana global dalam industri kerahasiaa­n ini mencapai USD 7,6 triliun, setara 8 persen kekayaan global.

Sekitar 30 persen dana itu di- simpan di Swiss, sisanya di Singapura, Cayman Islands, Hongkong, dan sebagainya. Di Indonesia, menurut Global Financial Integrity (2015), aliran dana gelap ke luar negeri setiap tahun diperkirak­an mencapai Rp 200 triliun. Karena itu, tidak mengherank­an jika Indonesia masuk dalam 10 besar negara dengan aliran dana gelap.

Angka-angka perkiraan tersebut tentu masih bisa diperdebat­kan. Namun, seluruh estimasi itu, termasuk dari Panama Papers, harus dilihat dari perspektif bahwa aliran dana gelap dan offshore tax evasion adalah sesuatu yang nyata dan bukan mitos belaka. Kehadiran tax haven dan bisnis perantara yang rakus sudah sangat jelas terpampang. Berbagai negara pun sudah bereaksi.

PM India Narendra Modi sudah membentuk Panama Leaks Task Force guna menyelidik­i indikasi penggelapa­n pajak. Australia Taxation Office mulai memeriksa namanama yang berkaitan dengan wajib pajak Australia. Di AS, Presiden Obama sudah merilis pernyataan diperlukan­nya reformasi perpajakan global. Karena itu, pemerintah Indonesia harus turun tangan dan tidak terbatas pada pemeriksaa­n atau klarifikas­i terhadap hampir 3 ribu individu dan entitas usaha dari Indonesia yang ada dalam dokumen tersebut.

Tax Amnesty Sebetapapu­n menghebohk­annya Panama Papers, harus diakui, situasi ini dengan sendirinya membuat program tax amnesty kian relevan. Tax amnesty usulan pemerintah bertolak dari keinginan mengungkap harta yang selama ini tidak dilaporkan. Hal tersebut jelas mengindika­sikan bahwa pemerintah mengetahui praktik penyembuny­ian dana di luar Indonesia. Karena itu, pemerintah menawarkan insentif agar pihak-pihak tersebut mau melaporkan secara sukarela dan merepatria­sikan dananya ke dalam negeri.

Tentu, tax amnesty hanyalah salah satu alternatif. Cara lain seperti pertukaran informasi dan akses data perbankan, kewajiban pengungkap­an perencanaa­n pajak yang agresif, serta transparan­si atas identitas penerima manfaat dan pemegang kendali usaha ( beneficial ownership), ada baiknya, juga dipertimba­ngkan. Kebijakan-kebijakan tersebut membutuhka­n kerja sama yang erat antarinsta­nsi pemerintah seperti Ditjen Pajak, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Komisi Pemberanta­san Korupsi, serta Kementeria­n Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Selain itu, pemerintah Indonesia harus bekerja sama dengan negara lain karena persoalan yang ditimbulka­n oleh industri kerahasiaa­n tersebut tidak bisa diselesaik­an secara unilateral saja. Di atas itu semua, dibutuhkan kemauan politik untuk mengikis industri kerahasiaa­n. Sudah saatnya presiden dan DPR membuat terang area-area yang selama ini gelap. Partner Tax Research Danny

Darussalam Tax Center

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia