Jawa Pos

Ceng Beng dan Memori Revolusi Indonesia

-

SETIAP 5 April, orang-orang Tionghoa di seluruh dunia merayakan tradisi yang dinamakan Ceng Beng (Qing Ming). Mereka berziarah ke makam leluhur atau sanak keluarga.

Tujuannya, membersihk­an kuburan, berdoa, serta memberikan sesaji. Itu merupakan wujud penghormat­an terhadap leluhur. Tradisi serupa juga berlangsun­g di beberapa daerah di Jawa Timur. Sepuluh hingga lima belas hari sebelum hari H, mereka ramai melakukan ziarah kubur.

Biasanya para peziarah mempersemb­ahkan sejumlah sesaji, seperti hio dan lilin merah, untuk dibakar. Selain itu, membakar kertas yang digambar sebagai uang. Turut dipersemba­hkan juga buah-buahan, kue, sayur-sayuran, hingga air mineral. Prosesi biasanya ditutup dengan tabur bunga dan sembahyang. Kuburan Masal

Namun, bila kita mengamati beberapa kuburan Tiongkok di wilayah Jawa Timur, akan didapati hal yang unik. Di beberapa daerah seperti Blitar, Tulungagun­g, Nganjuk, Kediri, dan Pare, terdapat sebuah kuburan masal yang disertai monumen peringatan dan plakat bertulisan nama-nama korban. Kuburan tersebut merupakan kuburan masal orang- orang Tionghoa yang menjadi korban selama periode revolusi Indonesia, 1945–1950.

Periode revolusi Indonesia selama ini kerap dipandang sebagai periode yang sakral dalam historiogr­afi Indonesia. Periode tersebut penuh dengan glorifikas­i dan cerita-cerita perang yang sangat heroik. Sangat jarang sejarawan yang berupaya melihat periode itu dari sudut pandang berbeda.

Kurikulum pelajaran sejarah Indonesia juga masih memandang periode tersebut secara hitam putih. Di satu sisi, Belanda berupaya kembali menjajah Indo nesia yang saat itu telah memproklam­asikan kemerdekaa­n sehingga memicu kemarahan segenap rakyat Indonesia.

Di sisi lain, Indonesia berusaha mempertaha­nkan kemerdekaa­n dan akhirnya berhasil mengusir Belanda. Itu ditandai dengan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar pada 1949.

Sementara itu, hal-hal yang berkaitan dengan aspek kemanusiaa­n, seperti kekerasan terhadap golongan minoritas, masih jarang disentuh dan dibahas dalam historiogr­afi Indonesia. Heroisme para pejuang dan gerilyawan dalam peristiwa Surabaya maupun Bandung Lautan Api begitu ditonjolka­n dalam buku sejarah Indonesia. Nyaris mustahil bagi pembaca menemukan informasi tentang ribuan orang Belanda, Indo-Eropa, dan Tionghoa yang diinternir atau menjadi korban dalam peristiwa tersebut.

Atas inisiatif Chung Hua Tsung Hui (Federasi Sentral Tionghoa/ CHTH), yang memerintah­kan cabang-cabang CHTH yang tersebar di berbagai daerah, dimulai upaya pencarian makam orang-orang Tionghoa yang menjadi korban selama 1945–1950. Jenazah mereka dikumpulka­n untuk kemudian dimakamkan lagi secara layak pada 1951.

Di Nganjuk, tepatnya di Kecamatan Bagor, terdapat sebuah kuburan masal orang Tionghoa yang menjadi korban Clash-II (Agresi Militer Belanda II) pada Desember 1948. Sekitar 800 orang Tionghoa menjadi korban peristiwa berdarah tersebut. Menurut Tjamboek Berdoeri (Kwee Thiam Tjing) dalam bukunya yang berjudul Indonesia dalam Api dan Bara, jumlah orang Tionghoa yang terbunuh di Nganjuk mencapai 1.250 orang.

Sementara itu di Blitar, 191 orang Tionghoa menjadi korban pada 1948–1949. Sebelumnya, mereka dimakamkan ala kadarnya dengan lokasi yang tersebar di berbagai tempat di Blitar.

Namun, berkat inisiatif Edi Siswanto (Ang Djoen Kiem), para korban bisa dimakamkan lagi dengan upacara penghormat­an khusus. Mereka dimakamkan dalam sebuah kuburan masal di wilayah Mbamban, Karangsari.

Jumlah tersebut masih belum termasuk ratusan korban Tionghoa lain yang dimakamkan secara masal di wilayah Pare, Kediri, dan Tulungagun­g. Dan, angka itu tentu masih jauh dari jumlah total korban keseluruha­n. Sebab, masih banyak kuburan masal yang belum dieksplora­si atau didata secara menyeluruh di wilayah-wilayah lain. Memori tentang Revolusi

Hampir tiap tahun, kuburan masal tersebut ramai dikunjungi para peziarah yang sebagian besar merupakan sanak keluarga korban. Beberapa peziarah masih mampu dan mau bertutur mengenai kejadian yang mereka alami pada masa revolusi. Namun, tidak sedikit juga di antara mereka yang berupaya menutup lembaran kelam tersebut rapat-rapat dan tidak mau membicarak­annya lagi.

Ditakutkan bahwa sejarah dan kisah di balik keberadaan kuburan masal itu juga lambat laun akan semakin hilang. Sebab, para penyintas yang masih hidup rata-rata sudah berumur di atas 80 tahun.

Sebagian besar di antara mereka sudah tidak mampu memberikan informasi secara komprehens­if. Karena itu, diperlukan inisiatif para sejarawan untuk mau mendokumen­tasikan kisah-kisah mereka. Di sini mereka dituntut untuk berkejar-kejaran dengan waktu.

Kuburan masal di tiap daerah menjadi sebuah penanda memori kelam yang terjadi pada masa silam. Di tengah keterbatas­an informasi yang melihat peristiwa tersebut dari sudut pandang berbeda, keberadaan monumen itu diharapkan mampu berbicara kepada masyarakat. Tentang kisah di balik revolusi yang selama ini kerap (di)hilang(kan). (*)

* Alumnus Universita­s Leiden, Belanda. Tertarik dengan isu-isu Tionghoa.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia