Putar Film Indie dari Gang ke Gang
Independen Film Surabaya (Infis), Ajang Ekshibisi, Distribusi, dan Edukasi Film Indie Bosan melihat tontonan film yang itu-itu melulu? Infis Surabaya mengajak masyarakat untuk melihat, memaknai, dan membuat tontonan berkualitas yang mengasah daya pikir.
ABISZAR Rasyidin tampak keberatan menenteng kamera. Tangannya yang mungil tak mampu memegang bagian kamera secara mantap. Tangan kirinya memegang pergelangan tangan kanannya. Membentuk siku-siku yang menopang tangan kanan yang lelah.
Sementara itu, kelima temannya sibuk mengubah mimik muka agar sesuai naskah. Satu siswa lainnya yang bertugas sebagai sutradara sesekali berbisik-bisik mengingatkan para pemain agar membetulkan posisinya. Keseruan itu berhenti sejenak ketika ada teriakan. ” Cut!”
Dimas dan teman-temannya tak sendiri. Pembuatan film pendek di SD Muhammadiyah 16 itu dipandu langsung oleh sineas Infis. Mulai pembuatan skrip, penataan, hingga alur cerita. ”Kegiatan ini kami sebut Kidsaster. Temanya mengangkat tindakan penanggulangan saat bencana,” terang Fauzan Abdillah, ketua Infis. Kegiatan keliling sekolah itu memang untuk mengajak siswa mencintai serta bisa membuat film. Itu, kata pria 27 tahun tersebut, adalah salah satu tujuan Infis.
Sejak berdiri pada 13 September 2000, Infis mengkhususkan produksi film. Namun, fokus pada pembuatan film saja ternyata menggelisahkan para anggota
Bahkan, para senior Infis mengatakan, terlalu asyik membuat film bisa bikin mereka lupa cara memutar dan mempertontonkannya.
Memutar film indie memang tidak gampang. Film itu biasanya beda betul dengan sinema mainstream. Napas idealisme begitu kental dalam tiap adegan. Selain itu, tempat pemutaran tidak mudah. Harus tahu diri. Menyewa tempat bukan perkara gampang. Sebab, pembuatnya kadang tak punya banyak ongkos. ”Tempat menonton menjadi pemikiran utama saat itu,” jelasnya.
Di sisi lain, produksi film indie di Surabaya kian menggeliat. Banyak filmmaker yang bermunculan pada era 2000-an. Mereka terus tumbuh hingga kini. Tapi, banyak yang tidak punya wadah untuk menampilkan karya. Di situlah pernah Infis.
Ucan, sapaan Fauzan, mengatakan bahwa Infis lantas berubah haluan. Ia menjadi penyedia jasa. Memfasilitasi film indie di Surabaya.
Pada 2005, Infis membuat kegiatan besar dengan menyelengga rak an festival. Namanya Surabaya 13 Film Festival. Isinya adalah kumpulan film indie arek Suroboyo. ”Tanggapannya cukup ramai dan meriah kala itu,” ujar Fauzan. Saat itu, dia masih seorang peserta. Belum resmi bergabung dengan Infis.
Ya, 2005 adalah titik awal perkembangan utama Infis. Secara bertahap, kelompok itu membikin CCCL (2007) dan Cinta untuk Kota Surabaya (CUKS) pada 2008.
CUKS merupakan proyek Infis bersama komunitas lain. Mereka kemudian membuat film omnibus, film ”majemuk” dengan beragam genre, bertajuk Surabaya Roman Taste. ”Surabaya Roman Taste menjadi festival yang cukup semarak. Tak hanya film, komunitas komik dan musik bergabung,” tuturnya. Jumlah penonton membeludak hingga mencapai 1.500 orang. ”Karena jumlah penonton membeludak, kami harus menambah tempat kala itu,” jelasnya.
Surabaya Roman Taste tidak hanya berhenti di Surabaya. Kumpulan berisi cerita tentang Surabaya itu diputar di beberapa kota. Misalnya, Jakarta, Bali, Purwokerto, Bandung, Jember, Solo, dan Jogjakarta. ”Kami keliling selama empat bulan waktu itu,” ungkapnya. Road show itu kemudian membuka network Infis dengan komunitas film di beberapa daerah. Misalnya, Minikino (Bali), Kolektif (Jakarta), dan RuangFilm (Semarang).
Sempat melambung, nama Infis kembali meredup. Awal 2010, pentolan pengurusnya mulai keluar. Satu per satu. Sibuk bekerja. Rata-rata di luar kota. ”Saat itu masa terberat bagi Infis,” jelasnya. Fauzan yang didapuk menjadi ketua sempat kelimpungan. ”Padahal, terus ada agenda festival yang dipersiapkan,” ujarnya.
”Sempat curhat juga dengan para sesepuh Infis. Akhirnya, diberi saran untuk tak melulu mengejar agenda tahunan semacam festival,” ungkapnya. Di tengah kelesuan itu, teman-teman yang tersisa berbenah. Mereka memutar otak mencari orientasi baru.
Era baru Infis mulai tumbuh di tengah isu kesibukan dan berkumpulnya komunitas. ”Kami mulai berpikir untuk terjun aktif meluaskan film kepada masyarakat dan pencinta film indie di Surabaya,” ucapnya. Salah satunya membikin klinik film. ”Ya, kegiatan itu memang mirip kegiatan dokter. Namun, yang dibedah tentu saja film,” imbuhnya.
Biasanya, para peserta film klinik adalah komunitas film indie. Acara diadakan di kampus-kampus sekaligus membagi tip pembuatan film. Sebab, bagi mereka, konsistensi dan semangat adalah modal utama membuat film.
Tak sampai di situ. Gebrakan anyar kembali dibuat Infis dengan mengajak masyarakat untuk cerdas memilih dan menikmati film. ”Pada 2013, Gerobak Film kami launching,” terangnya. Kegiatan itu menitikberatkan kedekatan masyarakat dengan hiburan. ”Acaranya keliling ke setiap kampung. Kami putar film-film berkualitas,” jelasnya.
Syaratnya mudah. ”Biasanya, para karang taruna di kampung menghubungi kami,” terang Fadhli Zaky, koordinator Gerobak Film. Acara tersebut diselenggarakan di balai RW hingga ke gang-gang kampung. Kalau gerimis, tentu bubar.
Meski film bisa dipilih sesuai kesepakatan, Infis selalu memasukkan film indie lokal. Tujuannya, masyarakat Surabaya mencintai film buatan orang Surabaya sendiri.
”Di setiap kampung yang disinggahi selalu ada hal menarik,” ungkapnya. Biasanya, banyak anakanak yang datang. Lantas, orang tua ikut nimbrung. Terkadang, saat film berjalan, raut wajah mereka penuh tanda tanya. ”Maklum , film indie biasanya memiliki alur cerita yang berbeda dengan film mainstream,” imbuhnya.
Fadhli melanjutkan kisahnya. ”Ada anak kecil menggelendot ke kami membawa sebuah CD. Dia minta diputarkan film kesukaannya. Namun, setelah dibuka, ternyata film kartun,” kenang Fadhli sambil terkekeh.
Di bidang edukasi, Infis juga membentuk Cynematology. ”Fokus utamanya adalah mengajarkan cara membuat film di kalangan siswa sekolah,” terangnya. SD hingga SMA/SMK bisa berpartisipasi. ”Modalnya hanya niat. Tak lupa kerja keras,” jelasnya. Infis tak hanya ingin menjadi komunitas yang asyik bagi pencinta film. ”Infis juga ingin menjadi wadah bagi calon-calon sineas muda Indonesia di masa depan,” ungkap Fauzan
Kevakuman Infis dalam membuat festival besar membawa hikmah. ”Infis mulai berpikir memberdayakan film-film yang sudah dibuat untuk didistribusikan secara luas,” jelasnya. Memanfaatkan jaringan dari beberapa daerah, Infis berhasil memutarkan filmnya di luar negeri.
Pada 2012, Infis mendapatkan undangan dari komunitas film Sindiket Soljah dari Malaysia. Infis diberi slot untuk memutar film di sana dan disaksikan budayawan serta kritikus film Malaysia. ”Sempat deg-degan juga saat mendapat kritik dan masukan dari mereka,” kenangnya.
Dua tahun kemudian, Infis kembali melebarkan sayap. Fauzan mendapatkan tawaran dari Kementerian Kebudayaan berangkat ke Washington DC untuk ikut master class film. ”Kami berdiskusi cara membuat film, memasarkannya. Teknik hingga model juga diberikan kepada peserta,” jelasnya.
Seluruh capaian itu, menurut Fauzan, adalah berkat kerja keras pengurus. Mengembangkan ratusan ide di setiap serpihan film memang bukan hal mudah. Tapi, dia dan teman-temannya tetap yakin. Di tengah gempuran film-film yang itu-itu melulu, masyarakat pasti membutuhkan oasis yang menyegarkan. ”Untuk itu, film indie juga harus menjadi konsumsi alternatif di masyarakat,” katanya. (*/c6/dos)