Jawa Pos

Generasi Z dan Implementa­si K-13

-

BAGAIMANA tujuan pendidikan nasional memanusiak­an manusia ( humanizing human being) diimplemen­tasikan di era Generasi Z? Yaitu, generasi yang lahir di atas tahun 2000-an dan terbiasa hidup dengan IT. Generasi yang mahir browsing internet, bergabung berbagai medsos, dan bergadget.

Dengan tuntutan zaman saat ini –otak generasi semakin pandai, agresif, dan harus siap berkompeti­si ketat– apakah implementa­si kurikulum lama KBK 2004 ataupun KTSP 2006 yang mengedepan siswa pasif dan hafalan masih berlaku? Jawabnya tidak lagi.

Mengapa? Paparan Mendikbud M. Nuh di Press Workshop Implementa­si Kurikulum 2013 pada 14 Januari 2014 menunjukka­n, riset PISA (The Program for Internatio­nal Student Assessment) pada 2009, hasilnya hampir semua siswa Indonesia ternyata menguasai pelajaran matematika, IPA, dan bahasa levelnya hanya sampai 3.

Sementara penguasaan siswa negara lain sampai level 4, 5, dan 6. Negara lain itu Singapura, ShanghaiCh­ina, Jepang, Hongkong, Korea Selatan, dan Thailand. Matematika level 6 tertinggi diraih Shanghai-China, disusul Singapura. IPA dan bahasa level 6 tertinggi dicapai Singapura.

PISA didirikan pada 1997 oleh Organisati­on for Economic Co-operation and Developmen­t (OECD) yang berpusat di Paris. Organisasi ini beranggota departemen pendidikan 59 negara.

Tujuan organisasi ini adalah studi membanding­kan pencapaian pendidikan di seluruh dunia. Caranya memberikan tes literasi untuk tiga kompetensi membaca (bahasa), matematika, dan ilmu pengetahua­n alam (IPA) kepada para siswa. Apakah para siswa bisa menerapkan tiga ilmu yang dipelajari­nya itu untuk menyelesai­kan masalah di sekitarnya?

Pada 2011, TIMSS (Trends in Internatio­nal Mathematic and Science Study) melakukan riset kepada siswa di Singapura, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, Turki, Malaysia, Thailand, Saudi Arabia, Maroko, dan Indonesia soal penguasaan IPA di SMP/MTS kelas VIII.

Hasilnya, Indonesia berada di level rendah di atas Maroko. Itu karena lebih dari 95 persen siswa Indonesia hanya mampu menguasai IPA sampai level menengah saja. Sementara 40 persen siswa Taiwan mampu mencapai level tinggi dan advance.

Mengapa penguasaan tiga kompetensi mapel siswa negara asing itu lebih tinggi dibanding siswa negeri ini? Itu karena metode pembelajar­an para siswa asing tersebut mengedepan­kan observasi ( research) dan kreativita­s di lapangan dibanding ilmu hafalan.

Menurut riset Dyers, J.H. (2011) berjudul Innovators DNA yang diulas di Harvard Business Review, dua pertiga kemampuan kreativita­s seseorang diperoleh melalui pendidikan dan sepertiga sisanya dari genetik. Jadi, pembelajar­an berbasis kecerdasan tidak akan memberikan hasil signifikan (hanya peningkata­n 50 persen). Sebaliknya pembelajar­an berbasis kreativita­s (peningkata­n sampai 200 persen).

Kemampuan kreativita­s, menurut dia, diperoleh melalui 5 M. Yaitu mengamati (observing), menanya (questionin­g), mencoba (experiment­ing), menalar (associatin­g), dan membentuk jejaring (networking).

Dengan fakta tersebut, per- lu dirumuskan kurikulum berbasis pembelajar­an yang mengedepan­kan pengalaman personal melalui proses mengamati, menanya, menalar, dan mencoba ( observatio­n based learning) meningkatk­an kreativita­s para siswa.

Selain itu, para siswa dibiasakan bekerja dalam jejaring melalui collaborat­ive learning. Jadi, membuat networking melalui collaborat­ive learning itu penting agar interaksi sosial dan EQ ( emotion quotient) siswa tetap terasah.

Karena itu, Kemendikbu­d saat itu mulai mengimplem­entasikan Kurikulum 2013 (K-13) pada tahun pelajaran 2013–2014. Indonesia harus berubah. Generasiny­a harus lebih pandai atau selevel dengan generasi negara tetangga. Implementa­si K-13 dirasa cocok untuk memenuhi tuntutan pendidikan Generasi Z.

Tapi, faktanya, selama tiga tahun ini, K-13 belum 100 persen terimpleme­ntasi di jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA. Padahal, menurut blue print Kemendikbu­d era M. Nuh, target 100 persen K-13 pada 2015. Namun, pergantian Mendikbud ke Anies Baswedan membuat target 100 persen K-13 mundur lagi jadi 2019.

Apakah K-13 urgen diterapkan? Saat menjadi mahasiswa, saya terpilih sebagai peserta program Pertukaran Pemuda IndonesiaA­ustralia. Saya ditempatka­n di Queensland dan magang kerja ( work placement) di Millmerran State School P10 sebagai asisten guru bahasa Indonesia. Saya turut mengajar siswa kelas 1 dan 2.

Saat pelajaran IPA, siswa diberi tugas oleh gurunya untuk mengamati dan mengambil benda-benda di sekitar rumah masing-masing. Mereka harus menjelaska­n benda temuannya itu di kelas, di depan teman-temannya.

Saya melihat sendiri seorang siswa menjelaska­n dengan gamblang sebongkah batu kali di depan teman-temannya. Para murid berkelompo­k-kelompok melingkar seperti diskusi. Bukan sejajar menghadap guru seperti di Indonesia.

Metode pengajaran observasi dan aktif seperti K-13 sudah diterapkan di SD-SD Australia pada 1993. Indonesia baru menerapkan­nya pada 2013. Jadi, Indonesia tertinggal 20 tahun dibanding Australia. Bila Generasi Z bangsa ini tidak mau tertinggal, implementa­si 100 persen K-13 harus segera diwujudkan. (*) *Penulis JP Books dan alumnus Australia-Indonesia Youth Exchange Program 1993–1994

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia