’’nJoged mBagong’’, Teks Kultural Tradisi Tari
DALAM naungan rindang malam, langit mendung, tetapi tak berhujan, hawa gerah. Hangat, sehangat penyambutan tuan rumah, Butet Kartaredjasa, 55. Kali ini mendapat tugas mulia, sebagai among tamu. Tugasnya: salaman dan senyam-senyum.
Sementara itu, adik bungsunya, G. Djaduk Ferianto, 52, mendapat tugas menjadi salah satu penabuh karawitan iringan. Selebihnya, helat bertajuk nJoget mBagong perayaan 58 Tahun Pusat Latihan Tari (PLT) Bagong Kussudiardja itu ditangani oleh anak-anak Butet-Djaduk dan suadara-saudara sebaya mereka. Sejak Oktober 2015, PLT yang didirikan maestro tari Bagong Kussudiardja pada 1958 itu telah sepenuhnya dikelola anak-anak muda generasi ketiga ’’gugus Bagong”.
Bangsal Diponegoro Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) Jogjakarta sudah dipenuhi tamu dan penonton. Tidak hanya para ’’penari gaek” Jogjakarta, tetapi Minggu malam itu (10/4) juga berhimpun anak-anak muda bergairah pada seni tradisi (Nusantara) sebagai basis pijakan pengembangan kreativitas mereka. Pendapa Diponegoro, bangunan panggung utama kompleks padepokan seni yang didirikan Bagong pada 1978, penuh sesak penonton. Sebagian di antara mereka adalah kawan-kawan lama yang pernah menyerap dan berkreasi bersama dalam gugus Bagong Kussudiardja (1928–2004).
Sihir utama malam itu bukan pada reriuangan penonton, tetapi justru pada apresiasi kepada lapis muda lingkungan ’’gugus Bagong’’ yang bergairah menggarap ulang dan manafsir kembali karya-karya mediang. Ditambah sajian karya tari generasi kedua dan ketiga. Artinya, Bagong juga telah menebarkan spirit genitas kreatif penciptaan tari kepada lapis-lapis generasi berikutnya. Tidak hanya kepada anak cucu biologis, tetapi juga kepada mereka yang tumbuh berkesenian di lingkungan Bagong.
Perayaan yang berslogan ’’tubuh bagai mata air, kreativitas terus mengalir’’ itu menjadi tidak sebatas sajian repertoar tari. Jauh lebih penting dari itu, yakni sebagai salah satu bentuk upaya menempatkan karya-karya Bagong K. Di antaranya, Permainan Anak (era 1970-an), Jemparing Gagah (1984), Ronggeng Parung (1981), Gema Nusantara (1984) yang malam itu ikut disajikan bersama ratusan karya tarian lain yang dibikin pada 1953–2003 ke dalam teks kultural tari Indonesia. Bagaimana basis tradisi (Nusantara) telah diolah melalui pergulatan kreatif untuk menjawab kebutuhan masyarakat pada masanya.
Relevansi sikap berkesenian Bagong K. terhadap kebutuhan dunia tari saat ini adalah kesadaran akan kekayaan dan keragaman tradisi untuk membangun masyarakat bangsa yang berkepribadian secara kebudayaan. Teks-teks sosial mungkin sudah banyak berubah, teks-teks kultural mungkin juga sudah bergeser, tetapi kontektualitas kebutuhan akan arti penting pembangunan karakter bangsa menjadi matra perjuangan abadi. Bagong memilih jalan perjuangannya lewat kesenian, khususnya tari dan lukis, karena dia yakin bahwa kesenian yang berpijak kepada akar tradisi masyarakat punya peran besar dalam membangun harga diri dan watak bangsa, bahkan untuk dipergaulkan, dipersandingkan, dan dipersaingkan dalam kancah universal.
Tidak kalah penting, pendirian dan pengembangan PLT sebagai penyangga sikap berkesenian Bagong yang penari dan peñata tari. PLT didirikan bukan hanya oleh sebab keinginan pribadi untuk memiliki sanggar tari dengan murid-muridnya. Teks kultural tari setelah kemerdekaan masih membawa daya pengaruh dominasi kuasa dominan sumber estetik pada patron budaya.
Sebagaimana diketahui, Bagong Kussudiardja adalah salah seorang murid maestro tari klasik Jogjakarta GPH Tejokusumo (1881–1976). Bahkan, keluarganya pernah tinggal di lingkungan Dalem Tejokusuman. Dia kenyang dalam otoritas estetik tari klasik Jawa sehingga ’’pemberontakan kreatif’’ (konon, diam-diam didukung GPH Tejokusumo) yang muncul menjadi gerakan saat itu, diarahkan untuk menjawab kebutuhan penampungan kreativitas dalam otoritas personal. Sampai dengan keikutsertaan Bagong dalam misi kebudayaan yang dikirim Bung Karno ke luar negeri pada 1954, karya-karya atas nama pribadi belum banyak muncul. Tari Kuda-Kuda (1953), tari kreasi awal yang disusun bersama kakaknya, Kuswadji, menjadi serpihan kecil bagian dari materi dalam misi itu. Namun, konon, tarian berdurasi pendek itu mendapat sambutan menyenangkan dari publik di mancanegara.
Bagong Kussudiardja mengaku sempat mabuk teknik tari balet sepulang dari belajar tari modern di Amerika pada 1957. Tetapi, kemudian dia menemukan sikap untuk mengembangkan kebebasan menciptakan tarian dengan menjadikan kekayaan tradisi bangsa sebagai pijakan atau sumber inspirasi. Sejak itu ’’karya-karya tarian bebas’’ atas nama pribadi Bagong terus bermunculan. Kaprah disebut tarian ’’kreasi baru”. Ratusan karya tari pribadi Bagong 1954–2003, karya tari yang ’’keluar dari kebiasaan menjadi luar biasa’’ (pada zamannya); dari Tari Layang-Layang (1954), tarian tunggal yang simpel, lincah, lucu, ekspresinya memperlihatkan adanya bekal tinggi dalam teknik menari; sampai dengan karya terakhirnya, Guruh Gemuruh (2002) dengan penari para mahasiswa S-2 Seni Pertunjukan ISI Jogjakarta yang diasuhnya.
Bagong juga dikenal sebagai koreografer tarian fragmen berkisah dan tarian kolosal yang dimainkan di lapangan terbuka. Baginya, bidang ruang pementasan yang sempit terbatas, atau yang luas terbentang, diperlakukannya bagai kanvas media yang digunakannya saat melukis. Pelukis Amang Rahman (Surabaya, 1931–2000) menyebut Bagong sebagai ’’penjinak gerak dan garis”. Bagong adalah sedikit di antara koreografer tari yang juga seorang pelukis. Perspektif seni rupa selalu menyertai cita rasa tariannya, perspektif gerak selalu tecermin dari goresan-goresannya.
PLT dan pilihan kreatif Bagong Kussudiardja yang tak ingin tercerabut dari akar budaya bangsanya sekaligus tidak takut mempersan-dingkan dan mempersaingkan karya kreatifnya di pentas dunia menjadi salah satu teks kultural yang ikut mewarnai pertumbuhan dan perkembangan dunia tari Indonesia. Gelaran nJoged mBagong bukan sekadar perayaan penghormatan, tetapi juga bagian dari cara telisik ulang denah karya mediang dalam peta perjalanan tari Indonesia. Utamanya dalam mengolah dan mengelola kekayaan tradisi untuk kepentingan masyarakat kini. Bagong Kussudiardja dan PLTnya merupakan bagian dari teks kultural tari Indonesia. Suatu teks politik yang menempatkan arti penting terwujudnya suatu bangsa berkepribadian secara kebudayaan. (*) Pemerhati seni-budaya, penulis buku ’’Joget mBagong, di Sebalik Tarian Bagong Kussudiardja’’ (2007)