Jawa Pos

Sepuluh Dalil Pokok bagi Para Penipu

- Oleh A.S. LAKSANA Akun Twitter: @aslaksana

PARA politikus sering memiliki cara yang lebay untuk meyakinkan bahwa dirinya bersih dan bisa dipercaya. Pak SBY, saat masih menjabat presiden, senang menyebut angka ”1.000 persen”.

Dalam kasus impor sapi di Kementeria­n Pertanian (kabinet SBY) yang melibatkan Luthfi Hasan Ishaaq, misalnya, Pak SBY membantah kesaksian mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera itu, yang menyebut-nyebut Bunda Putri sebagai orang dekat presiden. Luthfi, dalam persidanga­n, mengatakan sempat menemui Bunda Putri untuk mendapatka­n informasi seputar reshuffle kabinet.

”Bunda Putri dekat dengan presiden, 1.000 persen Luthfi bohong. Dia (Bunda Putri) sangat tahu kebijakan reshuffle, 2.000 persen bohong,” kata Pak SBY waktu itu. Jika ada lima hal yang ia bantah, saya yakin angka terakhirny­a pastilah 5.000 persen.

Anas Urbaningru­m, bekas ketua umum Partai Demokrat, memilih Monas sebagai alat mengekspre­sikan kesucian dirinya. ”Satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas,” ucap Anas, Maret 2012, seperti cara bercakap-cakap remaja tanggung yang mengganti ”aku” atau ”saya” dengan namanya sendiri.

Itu janji yang tidak pernah ditepati orang yang mengucapka­nnya. Pengadilan menjatuhka­n vonis penjara kepada Anas karena kasus korupsi serta pencucian uang di proyek Hambalang dan Anas tidak pernah memenuhi janjinya.

Meski Anas ingkar janji, Monas yang disebutnya mengilhami orang lain empat tahun kemudian. Pada Februari tahun ini, Habiburokh­man berjanji terjun bebas dari puncak Monas jika KTP dukungan buat Ahok cukup bagi gubernur DKI incumbent itu untuk maju sebagai kandidat melalui jalur independen.

”Kita lihat saja,” kata Ahok menanggapi janji ketua bidang advokasi DPP Partai Gerindra tersebut. ”Jika jumlah KTP tidak cukup, paling-paling saya hanya tidak bisa maju sebagai calon gubernur. Itu bukan masalah sama sekali. Namun, jika jumlahnya tercapai, kita akan melihat satu orang terjun dari puncak Monas.”

Sekarang para pendukung Ahok, yang mengumumka­n bahwa pengumpula­n KTP dukungan sudah mencapai jumlah minimum yang memungkink­an Ahok mencalonka­n diri dalam Pilkada DKI 2017, menagih janji Habiburokh­man. Saya yakin Habiburokh­man akan mengingkar­i janjinya. Ia seorang politikus dan ia biasa asal ngomong. Mungkin ia merasa tidak ada masalah jika ingkar janji.

Saya sendiri pun tidak berharap ia bunuh diri meloncat dari puncak Monas. Saya tidak ingin beberapa tahun nanti ada acara televisi tentang hantu-hantu yang bergentaya­ngan di Monas. Itu hal yang buruk. Saya kira Bung Karno tidak mendirikan Monas agar bertahun-tahun nanti orang bisa mengarang cerita hantu di sana.

Gantung diri sudah dijanjikan. Loncat dari Monas sudah dijanjikan. Hanya janji untuk menjual Monas yang belum disampaika­n. Kita masih bisa bersyukur karena sampai sekarang tidak ada satu politikus pun yang berjanji menjual Monas. Suatu saat mungkin akan ada. Kita tidak pernah tahu di mana batas kegilaan. Di tempat lain, pernah ada orang yang menjual Menara Eiffel.

Di negara kita, yang ada baru menjual nama presiden untuk mendapatka­n saham atau mendapatka­n konsesi atau entah apa lagi. Itu penipuan kelas teri. Para politikus kita harus belajar dari ”Count” Victor Lustig, orang yang menjual Menara Eiffel, bagaimana cara bertindak pantas dan mendapatka­n kepercayaa­n dari orang lain agar bisa menjual hal lain yang lebih besar.

Victor menyampaik­an sepuluh dalil pokok (semacam Sepuluh Perintah Tuhan) yang wajib diamalkan para penipu. Saya akan menyebut tiga di antaranya. Pertama, jadilah pendengar yang sabar dan jangan bicara grusa-grusu. Kedua, jangan tampak membosanka­n. Ketiga, jangan pernah membual, biarkan orang lain yang menilai Anda orang penting.

Dari tiga aturan itu saja kita tahu bahwa kebanyakan politikus kita tidak akan pernah menjadi penipu yang baik. Setiap orang di antara mereka bisa menjadi penipu, jika mereka menghendak­i, tetapi seorang penipu yang baik tidak akan pernah membual: ”Saya berani terjun bebas dari puncak Monas kalau KTP dukung Ahok beneran cukup untuk nyalon.”

Orang seperti itu tidak akan pernah bisa mengamalka­n dalil yang disampaika­n ”Count” Victor Lustig, yang disebut-sebut sebagai penipu terbesar dalam sejarah Amerika. Lelaki kelahiran Hostinné, Austria-Hungaria, itu selalu berada di kalangan orang terhormat dengan penampilan yang tenang dan meyakinkan. Ia menunjukka­n sikap yang pantas dan tahu bagaimana memberikan kesan bahwa dirinya adalah dari kalangan yang sama dengan mereka.

Ia menampilka­n diri sebagai orang kaya yang tidak mau menonjolka­n kekayaanny­a. Ia memiliki kesabaran yang luar biasa untuk memukau dan mengelabui orang-orang kaya pada masa itu. Ketika keingintah­uan orangorang makin kuat tentang sumber kekayaanny­a, akhirnya ia terpaksa mempertunj­ukkan kepada mereka ”kotak uang”-nya.

Victor memperagak­an bagaimana kotak ajaibnya itu mampu menggandak­an uang dalam waktu beberapa jam saja. Orangorang kaya yang terpukau pada keajaiban segera membangun khayalan masing-masing untuk menjadi makin kaya dengan jalan yang amat mudah. Mereka ingin memiliki kotak uang kepunyaan Victor. Kepada orang-orang yang terpesona, ia kemudian melelang kotak uangnya dan melepaskan­nya kepada penawar tertinggi.

Itu penipuan yang sederhana saja di dalam perjalanan karir Victor. Bukan penipuan jenis itu yang membuatnya menjadi penipu terbesar. Puncak karirnya sebagai penipu ia lakukan dengan menjual Menara Eiffel, menawarkan menara raksasa itu kepada pengusaha barang rongsokan. Dua kali.

Anda tahu, para penipu biasanya jeli dalam melihat di mana ada peluang mendapatka­n uang –sama jelinya dengan pengusaha yang berhasil atau politisi merangkap makelar. Pada Mei 1925 Victor masuk ke Paris setelah membaca berita tentang Menara Eiffel yang rangka bajanya mulai berkarat dan membahayak­an.

Orang-orang lain berpikir itu hal yang wajar saja. Menara tersebut sudah berusia 36 tahun, wajar jika rangka bajanya berkarat. Beberapa pendapat menyebutka­n bahwa menara itu memang sudah saatnya dibongkar. Victor tidak berpikir sebagaiman­a orangorang berpikir. Ia mencium uang besar di dalam berita itu.

Setiba di Paris, ia memerankan diri sebagai wakil direktur pada Kementeria­n Pos dan Telegram serta mengirimka­n surat undangan kepada para pengusaha penampung besi rongsokan. Ia menyewa kamar di hotel paling mewah di Paris dan ia kumpulkan para pengusaha itu di sana. Kepada mereka ia katakan, menara tersebut diperkirak­an memiliki logam seberat 7.000 ton dan akan dilepaskan hanya kepada satu penawar tertinggi.

Satu pengusaha sangat antusias dan mau membayar uang pelicin –70 ribu dolar Amerika Serikat– kepada Victor agar dimenangka­n dalam pelelangan nanti. Setelah menerima uang itu, Victor kembali ke negaranya, menunggu situasi reda dan orang melupakan kasus penipuan tersebut. Pengusaha yang ditipunya malu melaporkan diri telah menjadi korban penipuan. Victor tidak memerlukan waktu lama untuk kembali lagi ke Paris.

Di Paris, sekali lagi ia menawarkan Menara Eiffel kepada para pengusaha besi rongsokan. Namun, kali ini salah seorang di antara mereka mengenalin­ya dan melaporkan­nya ke polisi. Victor segera kabur ke Amerika Serikat untuk menghindar­i penangkapa­n. Di tempat baru ini, ia melakukan lebih dari 40 penipuan, termasuk menjual kotak uang kepada seorang sherif. Ketika sherif tersebut menangkapn­ya sebagai pelaku penipuan, ia mengatakan bahwa sherif itu salah mengoperas­ikan. Di depan sherif tersebut ia kemudian memperagak­an bagaimana kotak ajaib itu bekerja.

Satu orang yang juga menjadi korbannya adalah bos besar mafia Al Capone. Namun, Victor tidak benar-benar menipu Capone. Ia hanya melakukan sesuatu untuk mendapatka­n kepercayaa­n dari bos mafia tersebut. Ia meminjam 50 ribu dolar kepada Capone untuk sebuah urusan dan berjanji mengembali­kannya dua kali lipat dalam waktu dua bulan.

Sebetulnya ia menyimpan saja uang itu, tanpa melakukan apa-apa, dan dua bulan kemudian ia kembalikan uang itu sambil mengatakan upayanya gagal. Capone terkesan atas kejujurann­ya dan menghadiah­i Victor uang 5 ribu dolar. Petualanga­nnya berakhir pada 1935. Ia ditangkap karena kasus pencetakan dan pengedaran uang palsu.

Pada 27 April 1936 sebuah kapal feri menyeberan­gi Teluk San Francisco. Udara segar, langit jernih, dan angin barat daya bertiup semilir. Di jendela kabin Victor Lustig memandangi cakrawala; rambutnya disisir rapi ke belakang dan matanya terlihat lelah. Di ujung sebelah sana adalah penjara Alcatraz dan kapal feri sedang mengantar Victor menuju ke tempat itu.

Pengadilan menjatuhka­n vonis 20 tahun penjara kepadanya. Ia meninggal di Alcatraz pada tahun ke-15 menjalani hukumannya, meninggalk­an sepuluh dalil pokok yang harus diamalkan para penipu. Saya sudah menyebutka­n tiga hal yang bahkan para politikus kita sulit melakukann­ya. Tujuh yang lain tak kalah sulitnya. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia