Kerja Sama untuk Bahagia
SIAPA yang tidak ingin bahagia? Kita menempuh segala cara untuk mencapai keadaan terbaik itu. Memang tidak ada yang sanggup menolak derita, namun kita tak berhenti berikhtiar untuk mengurangi perihnya. Dan, sembuh itu, seperti halnya sehat, datang dari dalam diri kita sendiri.
Masyarakat perkotaan menguras energinya untuk mencapai bahagia walaupun harus bersabar menjalani derita tiap hari. Lihatlah denyut nadi ibu kota memaksa jutaan manusia di berbagai sudutnya berangkat kerja sejak dini hari dan baru tiba di rumah lagi hampir tengah malam.
Tapi, manusia diciptakan Tuhan tidak tanpa kemampuan menahan dan melawan sakit. Apalagi jika kita belajar mengenal diri sendiri, baik yang jasmani maupun rohani, tak perlu ada kekhawatiran berlebih dalam menghadapi kemungkinan buruk yang tidak diharapkan.
Setidaknya, untuk mengatasi kesumpekan hidup, misalnya, orang-orang kota membentuk komunitas-komunitas yang sesuai dengan selera. Mulai kafe sampai pusat kebugaran, klub yoga sampai kelompok baca puisi, dan arisan sampai pengajian, orang-orang berikhtiar menyegarkan jiwa.
Tidak setiap hal sesuai dengan rencana. Karena itulah, selayaknya kita berdoa, menyempurnakan usaha dengan berserah kepada-Nya. Kita ini bergerak di wilayah proses, Allah yang menentukan hasilnya. Gagal dan berhasil lebih soal bagaimana menata hati agar tidak lupa diri.
Kedewasaan ke arah sana terus berkembang. Beberapa di antaranya masih sebatas menghibur diri. Ada pula yang sudah mendayagunakan komunitasnya untuk membantu sesama dan ada pula yang sudah semakin fokus, yaitu memberi arti ukhrawi pada hal-hal duniawi.
Ibadah personal yang diniatkan semata untuk Tuhan dan ibadah sosial yang kita dermakan untuk kemanusiaan memang perlu disertai pula dengan ibadah natural yang kita baktikan untuk semesta. Dengan demikian, kita sadar bahwa untuk bahagia, kita butuh kerja sama.
Kerja sama dengan Tuhan adalah dengan bersabar dan bersyukur. Bersabar menapaki liku-liku hidup, bersyukur atas peta dan petunjuk arah yang dikaruniakan-Nya. Lalu, kerja sama dengan sesama insan dengan saling menolong, berterima kasih, serta memaafkan.
Kerja sama dengan semesta tidak bisa kita mulai jika kita tak berhenti merusak. Kita harus menanami lagi tanah yang diperdayai, mengalirkan kembali air yang pernah disumbati, menyalakan lagi api semangat yang telah mati, dan meniupkan kembali angin perubahan dari dalam diri.
Komunitas-komunitas yang pada mulanya didirikan untuk menyatukan pehobi, syukurlah, semakin hari bisa semakin mengambil peran penting dalam penyelamatan alam semesta. Gerakan Indonesia Berkebun adalah contoh yang baik. Gerakan ini terus menjalar ke daerah-daerah.
Para aktivis di Malang juga tidak letih menggalang kekuatan sosial di media sosial dan kehidupan nyata untuk menolak revitalisasi Hutan Kota Malabar. Demikian pula masyarakat di Bali yang menolak reklamasi Teluk Benoa. Reklamasi Pantai Jakarta tak luput pula dari perlawanan publik.
Jika angin menggalang badai, air menjelma banjir, panas dasar bumi menggelegakkan kawah, dan tanah menggerakkan gempa, akankah kita sekali lagi terlambat menyesali diri? Untuk bahagia, kita perlu kerja sama. Itu berarti kita tidak bisa seenaknya. Kita tak boleh lagi merusak bumi.
Berhadapan dengan angin, tubuh kita lemah. Dari langit dihujani air, raga kita basah. Menempuh jarak di keluasan tanah, badan kita payah. Tersentuh lidah api, jasad kita kalah. Materi jasmani apa lagi yang bisa kita angkat dengan mendongak kepala dan membusungkan dada?
Kita adalah makhluk yang genap. Memiliki telinga dan pendengaran, mata dan penglihatan, tangan dan pegangan, kaki dan langkah, serta akal dan pikiran. Pada Allah, wajib bagi kita meletakkan kepala, bersujud. Pada sesama, perlu kita ulurkan tangan, bersalaman, tidak justru berebut.
Pada semesta, kita sering lupa untuk berlutut. Bukan menyembah, bukan pula menyerah, melainkan berterima kasih atas segala nikmat dan anugerah yang Tuhan berikan dengan perantaraan angin, air, api, dan tanah. Bersidekap, memejam sejenak, marilah heningkan cipta.
Modernitas berlari kencang dan tradisi ditinggal di belakang. Mereka yang masih bertahan hidup dengan kearifan lokal justru dicap kuno dan menghalangi kemajuan. Sedekah bumi dan laut yang diwariskan leluhur, misalnya, justru ditolak anak keturunannya sendiri. Inikah era baru, era mengubur budaya bangsa sendiri?
Teknologi memang maju, namun janganlah peradaban justru mundur. Teori dan rumus kompetisi memang harus terus diperbarui, tapi gotong royong dan tenggang rasa toh tetap harus dirawat dan dilestarikan. Nilai dan norma sosial khas jati diri bangsa jangan dihapus oleh globalisme.
Globalisme memaksa pengendara zaman tancap gas walau risikonya adalah bertabrakan dengan pranata sosial. Tanpa kita sadari, tahu-tahu sudah tidak terhitung berapa orang yang stres, hidupnya tertekan, dikejar-kejar tagihan serta utang, dan akhirnya keluarga mereka hancur.
Betapa sering kita bergerak tapi lupa untuk diam. Tidak perlu lebih dulu sakit untuk menghentikan kita, bukan? Bersuci dan sembahyang adalah dua di antara cara terbaik untuk mengambil jeda kesibukan dunia. Meditasi juga salah satunya. Kita perlu mengerem diri sesekali.
Bahagia. Siapa yang tidak ingin menuju ke sana? Ia tidak jauh dari kita. Tidak perlu sampai pergi dari hiruk-pikuk dan mengasingkan diri untuk merasakannya. Air mata dan gelak tawa juga bahan racik untuk mengolah kedewasaan manusia. Senang dan sedih itu satu paket.
Dengan kedewasaan itulah kita sanggup melanjutkan perjalanan. Bukan untuk menuju tua, meratapi usia, atau menyesali yang terlewat masa demi masa, melainkan untuk menandai kita pernah mengalami derita. Dan, kini saatnya bahagia. Jangan lagi kalah oleh buai dunia. (*)