Musiklehrer
UNEE Musica da Wolfsburg, lembaga musik semiotonom yang bergantung pada anggaran pemerintah terancam dibubarkan apabila tahun ini kami tidak mampu mempersembahkan piala bagi wali kota. Dalam beberapa festival musik dan lagu, kami memang selalu mampu merepotkan para juara, tapi selau gagal naik podium. Bulan Januari lalu, dalam lomba lagu klasik di Leiden University, Leidy berada di posisi ke-4 dari 112 peserta. Grup musik kontemporer kami juga meraih posisi yang sama, kali ini dari 88 peserta, dalam Contemporary Art Festival yang diadakan di Southampton. Terakhir, aku meraih peringkat yang sama --aku lupa dari berapa peserta karena menurutku tak penting lagi-- dalam obiedich, pekan seni mahasiswa se-Jerman. Malangnya, semua event itu tak menyediakan piala, piagam, atau sekadar surat keterangan bahwa kami meraih juara harapan pertama. Tidak ada.
Ya, bagaimana mungkin Ecker Inza, orang nomor satu di Wolfsburg itu, akan menandatangani anggaran bagi Unee Musica jika kami tak mampu mengharumkan nama Wolfsburg di sejumlah event. Kami hanya punya satu kesempatan lagi: European Mini-Choir Invitation di Glasgow tiga bulan lagi. Tak ada pilihan lain, Stimme harus memanfaatkan kesempatan ini.
Hampir dua bulan, kami naik trem ke Gelsenkirchen saban Jumat malam dan kembali ke Wolfsburg pada Minggu malamnya. Benar saja, Ivy melatih kami dengan cara yang kontroversial. Ivy membuat komposisi vokal tanpa kertas partitur! Di belakangnya, Hanna menyebut Ivy udik, Haas menyebutnya konvensional, Leidy menyebutnya kuno, Schmidtz menyebutnya tak masuk akal, Jenn menyebutnya gila!
’’Kalaupun itu sebuah keha- rusan, silakan buat sendiri setelah kalian mampu membawakan aransemen ini secara utuh,” ujar Ivy cuek ketika mendengar bahwa salah satu syarat wajib lomba itu adalah menyerahkan partitur aransemen baru kepada panitia karena itu bagian penilaian oleh juri.
Kami tak menjawab. Keraguan mulai merayapi. Tapi keinginan untuk memenangkan kejuaraan membuat kami mengabaikan kesangsian.
Lagu yang kami pelajari adalah La Bohemenya Charles Aznavour, penyanyi legendaris Armenia-Prancis yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Armenia pada 2006.
Ivy meminta kami menirukan suaranya ketika menyanyikan empat bar intro secara legato. Ia memang hanya membunyikan –mencontohkan-- setiap bagian komposisi dan kami menyimaknya. Benar-benar merepotkan. Untunglah kami dipersilakan merekam setiap potongan komposisi. Setiap cord akan dibunyikan oleh orang-orang yang berbeda, sesuai dengan warna suara masing-masing. Yang lebih rumit adalah ketika kami harus menyimak canon dan decrescendo yang dicontohkannya. Kami tak punya panduan matematis dan acuan kekuatan dinamika. Kami benar-benar lelah. Kami terbiasa dengan not balok --partitur. Kami seperti kembali beberapa abad ke belakang: belajar bernyanyi bersamasama ketika lambang-lambang musik belum ditemukan. Benar-benar aneh!
Namun kami sungguh takjub mendapati hasilnya. Setelah dua bulan terlewati, kami mampu membawakan dengan sangat menawan. Kami tak menyangka lagu itu menjadi seperti lagu-lagu klasik pada periode Barok dan Rakoko. Pada bagian
Ivy menjadikan lirik-liriknya seperti hidup karena dinamikanya
menjadi dengan dan contrapunct yang selalu diakhiri dengan cord miring sehingga pada beberapa bagian, lagu itu terdengar sangat kromatis. Kami seperti menyanyikan The Four Sea karya agung musisi klasik Italia Antonio Vivaldi yang hidup pada zaman musik klasik Barok dan Rakoko.
’’Aku tak peduli pada Vivaldi atau Beethoven,” ujar Ivy menanggapi kekaguman kami, ’’sebagaimana tak pedulinya aku apakah komposisi ini lebih mirip dengan Overture- nya Beethoven atau The Four Sea- nya Vivaldi,” lanjutnya.
’’Kalian sesekali perlu kuperdengarkan rekaman yang dikirim pamanku di Indonesia. Kalian akan terpesona dengan pembacaan kakawin, tembang karawitan, lagu keroncong, atau cengkok Melayu.”
Kami tak mengerti apa yang ia bicarakan. Ivy memberi rujukan yang tak kami pelajari di kelas-kelas musik.
’’Sudahlah!” Ivy menangkap kebingungan kami. ’’Yang paling penting, kalian merasakan sesuatu yang absurd tiba-tiba merasuki jiwa kalian ketika menyanyikan lagu ini. Kalian adalah Aznavour-Aznavour yang hidup kembali, mengusir badai yang membuat kehidupannya berkabut, suram, dan mengerikan, hingga akhirnya Aznavour memilih untuk kembali kepada-Nya sebagai pilihan terakhir untuk keluar dari kegelapan.”
Sungguh, kata-kata itu membuat kami merinding.
’’Lagu ini akan ditutup dengan yang terdiri dari do, mi, sol, le, dan re. Do dibunyikan oleh Haas.’’
’’Suara satunya dengan tak percaya.
’’Kalau Hanna.” *** tanya Haas aku akan memilih TEPAT ketika partitur itu kami rampungkan, aku menanyakan kepada Krisbee biodata Ivy. ’’Paling tidak, kita harus menuliskan trackrecord pelatih di formulir pendaftaran dan di akhir partitur ini,” ujar Schmidtz sembari melepaskan pena tinta yang dibeli mamanya di Monaco tahun lalu. Keesokan harinya, jawaban Krisbee membuat kami terdiam. Ivy tidak bisa membaca not balok! Ivy tidak bisa menulis partitur! Ivy tidak bisa memainkan satu alat musik pun! ’’Apa yang perlu disesali dari kebodohan yang jenius ini?” ujar Krisbee dengan senyum kemenangan. Mungkin ia lelah selalu kami serang karena memilih pelatih yang kualitas musikalnya tak lebih dari anak-anak yang hanya pandai bernyanyi. ’’Siapa yang berani bilang kalau komposisi La Boheme versi Ivy lebih baik dari karya arranger Stimme sebelumnya?” *** STIMME meraih medali perak dalam kejuaraan vokal grup bergengsi se-Eropa itu. Untuk pertama kalinya kami merasakan tatapan dan jabat tangan Inza dengan senyumnya yang hangat. Kami sungguh tak menyangka wali kota yang tengah menghadiri sebuah konferensi tentang lingkungan hidup di Celtic, masih menyempatkan diri menyaksikan penampilan kami di putaran final. Kami pulang ke Jerman dengan pesawat paling pagi. Kami harus sampai di Munich sebelum pukul sepuluh apabila tidak ingin ketinggalan trem pertama tujuan Gelsenkirchen. Kami tak menemukan Ivy di rumahnya. Istrinya mengata kan, setelah berbicara dengan salah satu anggota Stimme di telepon usai latihan terakhir kami, suaminya jadi murung dan banyak melamun. Kami saling tatap. Mencari kambing hitam. ’’Aku yang menelepon Ivy,” ujar Krisbee dengan nada menyesal. ’’Aku memang bodoh. Aku menanggapi celotehan tak penting Schmidtz tentang pelatih itu. Aku yakin Ivy pasti tersinggung.’’ Kami semua menghela napas. Rasa bersalah berhasil menyodokkan gumpalan udara keluar dari kerongkongan kami. ’’Pergilah ke Mootseel, sekitar enam kilometer ke barat kota ini,” ujar istrinya. ’’Sejak menerima telepon dari kalian, menjelang siang Ivy menghadiri kelas musik di samping toko bakery Nyonya Steffy yang terkenal itu. Katanya, dia mau belajar menulis partitur. Dia memang suka bercanda.” Kami menyusul Ivy dengan rasa bersalah yang menggumpal. Di balik kaca kelas, Ivy duduk di kursi piano membelakangi kami. Punggungnya basah. Kami tahu ia sangat tegang dan mungkin tertekan memahami tuts-tuts piano di hadapan jemarinya yang kaku. Kami baru saja menyesatkan Ivy ke jalan partitur yang gelap, jalan yang meruntuhkan anugerah Tuhan yang ia imani diam-diam selama ini, sebelum bertemu kami. *** Catatan: Lubuklinggau, Suara (pada nada) tinggi yang ketika dibunyikan, getaran dari nada-nadanya terasa hingga kepala. Suara laki-laki, yang ketika bernyanyi, melampaui jangkauan normal suaranya. Lirik atau bagian lirik pada nada tertentu yang dibunyikan dengan panjang. sebuah lagu. Kekuatan suara (musik) yang naik secara perlahan. Kekuatan suara (musik) yang turun secara perlahan. Penyusun komposisi karya musik (lagu). Paduan dua nada atau lebih yang menghasilkan harmoni. Pengulangan syair lagu yang dilakukan pada ketukan tertentu –pada bait-bait tertentu. Mirip dengan tapi sifatnya mengarsir/mengisi tempat-tempat yang kosong dalam suatu lagu dengan improvisasi. Menyanyikan gabungan beberapa not yang berurutan dalam satu waktu. Dinamika yang sangat keras. SAHASRA SAHASIKA adalah pengajar bahasa Inggris dan pengampu kelas menulis di kampung halamannya. Buku-bukunya antara lain
(2009) dan (2010).