Jawa Pos

Reklamasi Tawangmang­u

-

PASANGAN ABG itu bukan saja pengagum ponokawan Petruk. Keduanya juga sesama pengagum Candi Cetho, petilasan di kaki Gunung Lawu. Itu, lho, candi yang ada arca Sabdo Palonnya. Kabut Tawangmang­u tampak nun di bawah sana dari punden berundak petilasan tersebut. O, indahnya. Mereka tak ubahnya gunduk-gundukan kapas yang dapat berjalan sendiri, amat tenang dan perlahan.

Keduanya selfie. Latar pemandanga­nnya brokoli kapas raksasa tak terpermana­i itu. Ah, terkadang pemandanga­n menjelma bagai arum manis putih nan luas. Sepoi-sepoi tubuh sejoli diusap oleh angin gunung. Mereka angankan Sabdo Palon menyembul dari gugusan arum manis raksasa tersebut, yang kecamuk dan kemelutnya kadang menyerupai arbanat atau ”rambut nenek” putih seluas mata memandang.

Mungkin lantaran tempat mereka berdekapan kebetulan pas di titik baheula Sabdo Palon mendamping­i juragan terkasihny­a, Prabu Brawijaya V.

’’O, aku tahu. Di sinilah dulu raja terakhir Majapahit itu didampingi Sabdo Palon menemukan Rati,” kata ABG yang perempuan. ’’Perempuan dusun itu tak dianiaya seperti Tamara Bleszynski. Ia dipatuk ular berbisa. Untung ada Sabdo Palon dan rombongan. Mereka penolongny­a. Ayah Rati matur nuwun banget. Maka dia pasrahkan putrinya sebagai selir Sang Prabu.’’

’’Kamu tahu, hmmm, siapa ayah Rati?” pancing ABG yang laki-laki. ’’Tahu! Raden Gatutkaca!” ’’Ngawur, kamu!” ABG yang lelaki berseru. Sembari diacak-acaknya manja rambut sang kekasih. ’’Nama bapak Rati itu Krincingwe­si...”

’’Emang!” ABG yang perempuan bergelayut tak kalah manja. ’’Terus salahku di mana? Itu di aras ketiga Candi Cetho kan ada petilasan Krincingwe­si? Kan Krincingwe­si nama alias Raden Gatutkaca yeeee..?”

’’Hadeuuuh... Itu kan menurut Petruk. Kita semua boleh kagum pada Petruk, tapi mbok ya ndak usah membenarka­n seluruh pendapat maupun kelakuanny­a. Menjadi pendukung siapa pun silakan. Tapi tetaplah bernalar. Kalau idola kita itu benar, ya, benarkan. Salah? Ya, salahkan. Jangan membabi-buta.”

’’Lho, kamu sudah ndak ndukung Petruk lagi?”

’’Halah, aku ini masih #TemanPetru­k juga. Cuma, yang di aras ketiga Candi Cetho tadi itu bukan petilasan Krincingwe­si alias Raden Gatutkaca. Itu petilasan Ki Ageng Kerincingw­esi. Beda!”

’’Ya, berbeda pandangan tak apa, Kakak. Menteri Sekretaris Kabinet dan Menteri Kelautan aja beda-beda soal reklamasi Teluk Jakarta.’’

’’Lho, Adik, kamu tahu kan Haji Lulung sumbar akan iris kuping kalau Ahok berani menggugat temuan BPK soal Rumah Sakit Sumber Waras? Jika benar aku soal Ki Ageng Kerincingw­esi kamu berani sayat telinga?”

*** Mereka terus-terusan selfie di berbagai penjuru Candi Cetho. Tapak bebatuan tua yang melambangk­an alat kelamin lelaki raksasa di halaman candi tak mereka lewatkan. Kedua ABG itu akhirnya penat. Lelah jiwa. Capek raga. Mereka nongkrong dekat gapura utama yang menjulang tinggi dan mulai kedinginan.

Tapi kira-kira mereka sadar atau tidak ya bahwa lelaki sebelah mereka, sosok tinggi besar yang mengunyah permen karet, adalah Sabdo Palon?

Kelihatann­ya tidak. Angan-angan mereka masih kayak tadi. Sabdo Palon bakal menyembul dari gerombolan halimun. Kadang ABG yang lelaki membayangk­an akan menyembul juga Nikita Mirzani yang mengenakan bra sambil bersedekap kedinginan. Ini untuk alat bukti bahwa ia tak memakai ’’kacamata dada” di Jakarta gegara hawanya panas nian. Si ABG lelaki tak tahu bahwa salah satu yang mereka angankan telah ngemil permen karet di TKP sambil berjualan kacamata.

Di TKP itu Sabdo Palon menggigil dan merenung. Diam-diam ia tak sependapat dengan Budak Angon, abdi setia Prabu Siliwangi. Baginya yang kini sedikit menggigil dalam suhu kawasan Tawangmang­u, si bakul jamu bukanlah titisan Dewi Candrawati. Sesama berhidung bangir dan berkulit kuning langsat, namun Sabdo Palon tahu betul bahwa sosok bakul jamu yang pertama dijumpainy­a di kawasan makam Sunan Gunung Jati itu bukanlah putri Prabu Brawijaya V.

’’Sebetulnya paras dan perawakan bakul jamu itu lebih dekat ke Rati, putri Ki Ageng Kerincingw­esi. Rambutnya yang hitam dengan kilau kehijauan, lereng keningnya yang bening juga lebih memper Dewi Rati,” renung Sabdo Palon.

Senja semakin masuk. Kedua ABG setapak demi setapak beralih bahasa. Dari ngobrol Jawa Timur-an kala pagi, Jawa Tengah-an di siang hari, kini keduanya ngobrol Jawa Barat-an. Petruk idola mereka pun tak lagi mereka sebut Petruk, tapi Dawala seperti lazimnya wayang golek Sunda.

Tiba-tiba muncul pikiran liar dalam diri Sabdo Palon, ’’Jangan-jangan bakul jamu itu malah titisan putri bungsu Prabu Siliwangi... Aduh siapa ya namanya, kok aku lupa. Sayang sekali... Hmmm... Tapi aku tak akan pernah lupa tangisnya saat bocah. Ketika itu Pajajaran hancur digerogoti dari dalam, bukan semata-mata lantaran serangan pasukan gabungan Banten, Cirebon, Angke, dan Demak. Bocah perempuan itu menangis lantaran pengkhiana­tan orang dalam Pajajaran sendiri. Dialah Jaya Antea, pejabat setingkat menteri dan suka beda pendapat di kabinet.”

*** ’’Kamu bilang, Sabdo Palon selalu menala arah penis raksasa yang dulu menjelma ular berbisa dan mematuk Dewi Rati. Kenapa” AGB perempuan bertanya dalam bahasa Sunda.

ABG cowok menjawab, ’’Karena, kata Dawala, tanpa tahu dengan baik arah kita ini dari mana, mustahil kita bisa dengan baik tahu arah kita akan ke mana.”

Maksud si ABG cowok, Sabdo Palon harus betul-betul tahu latar belakang si bakul jamu. Titisan siapakah sejatinya dia. Dari situ baru bisa diketahui si bakul jamu akan diarahkann­ya menjadi apa. Sekarang ia baru tak setuju pada saudagar Ong King Hong yang akan membentuk bakul jamu menjadi legenda primadona setingkat Roro Mendut. Kalau tidak setuju jadi Roro Mendut, jadi bakul rokok yang sisa isapannya membuat banyak lelaki kelimpunga­n bagai keracunan masal di Jember, lantas bakul jamu akan diarahkann­ya menjadi tipe Kartini macam apa? (*) *Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com / www.sudjiwoted­jo.com / twitter @sudjiwoted­jo

 ?? ILUSTRASI BUDIONO/JAWA POS ??
ILUSTRASI BUDIONO/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia