Liku-Liku Laku Kocak Nikah Antarbangsa
Kisah-kisah blakblakan tentang gegar budaya sejoli yang beda bangsa. Narasi disajikan mengalir dan lentur ala reportase partisipatif.
BEKERJA sebagai pemandu wisata di Bali mengantarkan Sigit Susanto, seorang lelaki Jawa, kepada pernikahan dengan perempuan Swiss bernama Claudia Beck. Namun, kawin tidak semata soal cinta, tapi juga pertemuan dua budaya dan bangsa. Di sini petualangan keduanya yang sama-sama memiliki hobi melancong dimulai.
Membicarakan pernikahan beda bangsa, bagi kebanyakan orang, adalah bicara tentang kerumitan. Maklum, berbagai persoalan kerap mengiringi, baik sebelum maupun sesudah ’’ijab kabul’’. Mulai persetujuan orang tua, cara pandang, kebiasaan, budaya, gaya hidup, hingga pola pikir. Pendeknya: gegar budaya.
Namun, membaca buku Kesetrum Cinta: Kisah Jenaka Pria Jawa Menikah dengan Perempuan Swis ini, segala kerumitan itu tak bakal Anda jumpai. Problematika yang jamak terjadi bagi pasangan yang kawin campur budaya itu seolah selesai bagi Sigit Susanto, penulis buku yang diterbitkan Buku Mojok, Jogjakarta, awal tahun ini tersebut. Yang ada, bersiaplah Anda untuk kesetrum tawa setelah membacanya.
Dikisahkan, prosesi pernikahan antara Sigit dan sang istri Claudia Beck dihelat cukup sederhana. Hanya 30 menit di kampung istri di Balai Desa Walchwil pada 4 November 1996. Malamnya diadakan jamuan makan di rumah orang tua Claudia di Kota Luzern sebagai penanda kecil-kecilan bahwa mereka telah kawin.
Yang hadir pada acara ’’resepsi’’ pernikahan itu hanya lima orang. Yakni, kedua orang tua Claudia, suami istri saksi dari pihak Claudia, dan kakak perempuan Claudia. Proses ngunduh mantu pun dilakukan dengan cara yang sama. Dilakukan pada April 1997 saat keduanya mudik ke Kendal, Jawa Tengah, kampung Sigit, untuk kali pertama sebagai suami istri.
Claudia tidak suka kawin cara Jawa yang ditonton banyak tamu. Kelucuan pun terjadi di sini. Sigit yang bilang tamunya hanya 50 orang ternyata pada hari H total mencapai 2 ribu orang. Claudia pun geleng-geleng kepala. Sebab, untuk kali pertama selama hidup dia berada di tengah lautan manusia dan semua menyalaminya.
Buku yang terdiri atas 135 judul ini menyajikan kisah-kisah blakblakan tentang gegar budaya sejoli yang beda bangsa. Narasi kisah disajikan mengalir dan lentur ala reportase partisipatif. Cerita-cerita itu kadang serius. Tapi, lebih banyak cerita serius yang disampaikan dengan penuh humor. Sebagian kisah lain bahkan menyentuh hati dan humanis.
Kisah Kocak gegar budaya sejoli ini tampak ketika awal-awal hidup bersama Claudia di kampung istri, Zug. Salah satu kejadian jenaka itu, misalnya, ketika Sigit sedang sakit. Claudia memberi ucapan dalam bahasa Indonesia, ’’Selamat sehat.’’
Padahal, lazimnya ucapan doa orang-orang di Indonesia untuk orang yang sedang sakit adalah ’’semoga lekas sembuh’’. Yang diucapkan Claudia adalah terjemahan frasa Jerman, gute besserung.
Sarat Kritik Sosial Meski berbeda, satu kesamaan tema besar yang sebenarnya telah mengendap dalam diri keduanya adalah sama-sama menyukai petualangan. Perjalanan demi perjalanan membuat segala perbedaan kemudian berbalut dalam rasa saling memahami satu sama lain.
Perjalanan keduanya telah membuahkan buku Menyusuri
Lorong-Lorong Dunia yang ditulis Sigit hingga mencapai 3 jilid (diterbitkan Insist Press Jogja, 2005, 2008, 2012). Tercatat 42 negara di dunia telah mereka kunjungi.
Tak hanya berkutat dengan masalah keseharian mereka. Di dalam buku setebal 264 halaman tersebut, Sigit yang kocak ini juga terampil menyisipkan kritik sosial. Ini bisa dibaca, antara lain, pada judul Hak Perempuan (hal 41).
Pada tulisan ini, dia melalui omongan sang istri seolah mengkritik ketidakadilan hak waris antara laki-laki dan perempuan serta relasi kesetaraan gender. Pun, perihal gejala konsumerisme yang melanda masyarakat saat ini. Gaya hidup dan gengsi yang membuat pola pikir baru: semua serbakredit.
Dia tulis kritik itu dalam Bangsa Kredit (hal 160). Pada bagian ini, Sigit tampak seperti seorang ekonom yang kritis. Dia membandingkan sistem bunga kredit di negerinya dengan di negera istrinya yang sangat jauh berbeda.
Berbekal kecintaan yang kuat pada literatur, terutama karya sastra di Eropa, Sigit yang seharihari bekerja sebagai karyawan di sebuah restoran ini bisa luwes dan bijak menyikapi gegar budaya. Itu menjadi bekal antropologis bagi Sigit.
Buku ini saya kira patut dibaca semua kalangan. Namun, ada beberapa kritik yang perlu disampaikan. Pertama, ada beberapa cerita yang dikisahkan dengan tanpa penyebutan kala. Kedua, judul buku Kesetrum Cinta mengingatkan saya pada judul-judul FTV. Meskipun sahsah saja, menurut saya ada judul yang bisa jadi lebih menarik yang bisa dicomot dari salah satu judul dalam isi buku. (*)