Upaya Hidupkan Fiksi secara Masif
Setelah museum, buku katalog, dan film,
novel Museum Kepolosan kini hadir dalam bentuk buku skenario berisi esai-esai pendek. Menawarkan cara pandang berbeda dengan menambahkan tokoh-tokoh yang tidak
ada di novel. PADA akhir Maret lalu, bersamaan dengan penayangan serentak film Hatıraların Masumiyeti ( Kepolosan Kenangan) di kotakota besar Turki, buku dengan judul yang sama hadir ke depan pembaca. Buku tersebut berisi skenario, esai-esai pendek halihwal Museum Kepolosan ( The Museum of Innocence/Masumiyet Müzesi), dan obrolan Orhan Pamuk dengan sutradara Grant Gee.
Skenario yang ditulis sendiri oleh Pamuk itu menghadirkan kejutan dan kebaruan dengan perspektif yang unik. Museum Kepolosan yang awalnya adalah karya novel (terbit 2008), lalu ditransformasikan ke dalam bentuk museum (dibuka 2012), dan kali ini diadaptasi ke film, adalah pencapaian kreativitas yang luar biasa.
Betul, sudah banyak karya novel hebat dunia difilmkan. Tapi, Museum Kepolosan mempunyai ”arena operasi” sendiri yang dieksplorasi secara distingtif. Khususnya dalam aspek kreativitas seni dan sastra.
Kehadiran buku dan film ini semakin menyempurnakan semesta Museum Kepolosan dengan sentuhan segar. Sebagai produk imajiner yang kemudian terdedah ke dalam konstruksi fiksi-yang terlihat.
”Arena operasi” Pamuk yang saya maksud adalah proses menghidupkan Kota Istanbul. Pamuk tengah ”berproyeksi” menahbiskan Istanbuller ( Istanbullu) dalam dirinya, seperti Dubliner bagi James Joyce.
Meski bukan Pamuk seorang yang menulis Istanbul, tak bisa dimungkiri bahwa hari ini Pamuk adalah si Istanbullu itu sendiri. Seorang yang meniupkan napas kepada kotanya. Atau, sebuah kota yang setia melumuri intuisi dan imajinasi kepada dirinya (hal 79).
Jika boleh bertaruh, ihwal karya novel yang akan dikenang di masa depan –atau bahkan sepanjang sejarah– saya tak ragu untuk menyebutkan Museum Kepolosan. Alasannya, novel ini sudah bertransformasi ke dalam bentuk karya seni yang lain.
Misalnya, Januari lalu sebagian koleksi museum dibawa ke Somerset House London untuk dipamerkan. Sebelumnya, buku Seylerin Masumiyeti ( Kepolosan Objek-Objek, 2012) terbit sebagai katalog.
Lagi-lagi, buku katalog itu disentuh dengan teks-teks magis Pamuk sendiri yang melengkapi bangunan fiksi novel Museum Kepolosan! Hal distingtif lain dari proyek Museum Kepolosan ini adalah upaya menghidupkan fiksi secara masif. Dan, Istanbul menjadi lokusnya.
Sebagai karya yang bersumbu dari satu pusar, yaitu novel, ketiganya sangat identik. Membicarakan satu berarti harus siap bergulat dengan empat karya seni (novel, museum, buku katalog, dan film) tersebut.
Nilai plus dari buku skenario ini adalah esai-esai pendek yang membuat semesta Museum Kepolosan kian utuh dan mendalam. Buku ini juga mempunyai cara pandang berbeda dalam mendekati semesta Museum Kepolosan. Pamuk menambahkan tokohtokoh yang sebelumnya tidak muncul dalam novel untuk bercerita. Misalnya, Ayla, Ara Güler, Tukang Kertas, Türkan Soray, Kenan Evren, dsb.
Pamuk juga menghidupkan karakter-karakter dialog yang –bagi saya– ”asal ingat”. Atau memang sebentuk twist untuk mengganggu ingatan pembaca kepada beberapa dialog dalam novel (hal 45). Nilai plus dari buku skenario ini adalah esai-esai pendek tentang semesta Museum
Kepolosan sehingga menjadi makin utuh dan mendalam.
Selain Kemal, Ayla adalah tokoh utama dalam film ini. Ayla diplot menjadi teman dekat Füsun yang pernah tinggal satu apartemen. Karena miskin, ayah Füsun Tarik Bey menyewa rumah di lantai dasar, sedangkan Ayla dan keluarganya tinggal di lantai atas, apartemen kecil yang kini disulap menjadi museum.
Sebagai teman dekat satu apartemen, Ayla sangat paham Füsun. Sebab, dari 1970 hingga 1980, Füsun dan Ayla kerap main bersama (hal 15). Artinya, waktu narasi dalam novel yang berlatar tahun 1974 terjadi, Füsun dan Ayla tengah asyik bermain sebagai seorang anak gadis yang baru lulus SMA. Bahkan, dalam dialog perdana (hal 13).
Pamuk menghadirkan Ayla bukan tanpa alasan. Ini sentuhan genius Pamuk agar Füsun yang lugu dan miskin (dalam novel menjadi objek dan represi kegilaan cinta Kemal dari kelas borjuis) terbatas menceritakan dirinya.
Kehadiran tokoh dan karakter yang dalam novel hanya disebutkan nama (untuk menghadirkan realisme sejarah Turki), atau bahkan yang tak pernah ada, merupakan catatan kaki untuk melengkapi lanskap cerita dan panorama Istanbul. Hadirnya Kenan Evren, misalnya, komandan kudeta mi- liter paling beringas tahun 1980, melengkapi intrik dan intimidasi politik yang menanamkan kecemasan dalam memori bangsa Turki (hal 46-47). Dipungkasi oleh karakter Ara Güler, fotografer nomor satu Turki yang dijuluki The Eye of Istanbul itu.
Selain itu, karakter Sopir Taksi, Tukang Kertas, dan Reporter semakin melengkapi semesta Museum Kepolosan. Tentu, sebagai film yang digarap secara unik (semacam dokumenter atas karya fiksi), Pamuk menjadi komando dalam menarasikan film. Sebagai narator untuk menjelaskan Museum Kepolosan.
Terakhir, sebagai ending tercanggih adalah terjadinya dialog kembali antara Pamuk dan Kemal: ”Dalam novel kalimat terakhirku jangan lupa, Tuan Orhan,” pesan Kemal. ” Unutmam ( aku tidak lupa),” jawab Pamuk (hal 55).
Dialog ini mengingatkan saya pada bagian akhir novel (bab 83 halaman 531-2) ketika Kemal menyerahkan tugas narator kepada Orhan Pamuk dan novel setebal 561 halaman tersebut pada akhirnya berubah menjadi ”suara” Pamuk seutuhnya. (*)