Jawa Pos

Kembali Digemari di Era Digital

Kaset, CD, dan Piringan Hitam di Toko-Toko Musik Mandiri Era digital sempat memukul industri rilisan fisik musik. Kaset, piringan hitam, serta CD seolah dilupakan. Namun, beberapa tahun terakhir, kerinduan menikmati musik lewat rilisan fisik itu kembali m

-

Terkesan saat Pamerkan Koleksi ke Kolega

RUANGAN itu hanya berukuran 4 x 2 meter. Makin terlihat kecil dengan adanya beberapa rak kayu yang menempel di sepanjang tembok. Di dalam rak, ada ribuan kaset pita hitam dan (CD) dari berbagai musisi dunia. Di sisi berlawanan, ada meja besi dan rak kayu berisi ratusan keping piringan hitam lengkap dengan cover- nya yang ditata rapi di dalam sebuah kardus berwarna cokelat

Ruangan itu juga menyimpan berbagai alat pemutar musik. Mulai pemutar piringan hitam, kaset pita, hingga CD. Semua disusun di dalam rak kayu setinggi pinggang orang dewasa. Pemutar musik tersebut masih berfungsi dengan baik. Tinggal pilih salah satu album dan mainkan. Suaranya pun masih sangat nikmat untuk didengarka­n.

Ruangan itu tidak ubahnya museum yang menyimpan karya musisi dari seluruh penjuru dunia. Mulai berjayanya piringan hitam di era The Beatles hingga kaset pita yang didominasi band Amerika seperti Nirvana, Metallica, Guns N’ Roses, dan Green Day. Ada juga era musik elektronik dan pop seperti Daft Punk, Gorillaz, di awal 2000-an hingga Beyonce dan Rihanna yang begitu digemari lewat sensasiona­l rilisan compact disc- nya.

Museum itu sejatinya sebuah toko kaset mandiri milik pengusaha muda Erlangga Irawan. Salah satu toko kaset yang masih bertahan di tengah maraknya karya digital para musisi dunia. Usaha milik pria 30 tahun tersebut berdiri dua tahun lalu dan bertahan dengan caranya sendiri. Toko itu menjual album lawas dan anyar yang diyakini masih banyak dicari. Hasilnya, para kolektor dan pencinta musik tidak henti-henti datang dan membeli beberapa rilisan fisik miliknya.

Ada tiga bentuk rilisan fisik yang dijualnya. Yakni, piringan hitam, kaset pita, dan CD. Isinya musik dari album musisi lintas generasi seluruh dunia. Meski barang bekas, dia menjamin keaslian dan keawetanny­a masih terjaga. Bahkan, dia selalu memberikan jaminan kepada setiap pelanggann­ya. ’’Kalau tidak bunyi, bisa ditukar kembali,’’ ungkapnya.

Angga, sapaannya, mengaku album-album itu diperoleh dari hasil berburu ke pasar-pasar loak di Surabaya. Kebanyakan memang di Pasar Gembong. Namun, tidak jarang dia juga mendapatka­nnya dari para kolektor yang sudah bosan dengan koleksi mereka. ’’ Gak asal beli. Saya selalu pilih dari kualitas dan bobot musiknya. Faktor sejarah juga termasuk di dalamnya,’’ bebernya.

Yang dimaksud Angga faktor sejarah adalah cerita di balik pembuatan, ketenaran musisi, dan jumlah yang beredar di pasaran. Makin sedikit album yang beredar di pasaran, harganya pun semakin tinggi. ’’Beda sama harga biasanya,’’ ucap Angga, lantas tersenyum.

Tidak hanya ada album-album bekas, toko musik mandiri milik Angga juga menjual beberapa rilisan fisik baru. Baik berupa kaset pita hitam maupun CD. Sebut saja Isyana Sarasvati, Raisa, Tulus, Musikimia, Pas Band, dan beberapa band indie Indonesia seperti Dialog Dini Hari, Mocca, dan The Sigit. ’’Beberapa dititipin pihak label band langsung. Sebagian saya dapat dari tutupnya toko kaset besar,’’ terangnya.

Angga menjelaska­n, awalnya dirinya hanya seorang kolektor yang suka berburu rilisan fisik musik di pasar loak. Makin lama, banyak orang yang suka dengan beberapa barang yang dibelinya. Sejak itulah, Angga memutuskan membuka toko kaset mandiri. ’’Bukanya cuma malam, sekadar hobi yang menguntung­kan,’’ bebernya.

Tidak ingin hanya menjual kaset bekas, Angga juga menyajikan beberapa rilisan fisik terbaru. Masih terbungkus plastik dan bersegel. Ada yang label besar seperti Sony Music dan Musica Studio. Ada juga yang berasal dari beberapa label indie. Tujuannya, pembelinya tidak hanya berkutat pada komunitas dan kolektor. Tapi, juga bisa menjangkau generasi muda agar kembali menikmati rilisan fisik musik.

Hasilnya, tokonya pun kini didatangi banyak anak muda. Meski berawal dari mencari rilisan fisik terbaru, makin lama mereka juga mengoleksi album-album musisi lawas. ’’Awalnya mereka kepancing sama band-band indie, terus coba beli kaset lawas, jadi pada ketagihan semua,’’ kata Angga, lantas tertawa.

Angga juga bersyukur dengan adanya Record Store Day yang diselengga­rakan tiap minggu ketiga April. Di Indonesia, Record Store Day diadakan sejak dua tahun lalu. Event tersebut diyakini bisa memacu minat masyarakat untuk kembali mendengark­an musik dari rilisan fisik.

Di samping itu, menjamurny­a toko kaset mandiri makin mempermuda­h akses masyarakat untuk kembali memburu rilisan fisik. Ada yang membuka toko secara langsung seperti Angga, ada juga yang hanya berjualan online lewat Instagram. ’’Bagus, mempermuda­h industri ini untuk bangkit lagi,’’ jelasnya.

Hal senada diungkapka­n Yanuar Akbar, salah seorang pemilik toko kaset mandiri lainnya. Menurut dia, saat ini makin banyak anak muda yang membeli karya rilisan fisik. Terutama sejak akhir 2013.

Yanuar menilai, naiknya minat masyarakat kembali mengoleksi rilisan fisik berawal dari kejenuhan mendengark­an musik lewat rilisan digital. Tidak adanya sentuhan manusiawi, seperti membuka kemasan album, memasukkan ke pemutar musik, lantas menikmati artwork albumnya, menjadi alasan kembalinya perburuan album fisik. ’’Suara rilisan fisik juga berbeda, lebih detail, empuk, dan ramah di telinga. Kita juga serasa kenal dekat dengan band saat membaca cover albumnya,’’ jelas pria yang memulai usaha toko kaset mandiri pada 2012 tersebut.

Selain maraknya toko kaset mandiri di Surabaya beberapa tahun belakangan, beberapa label indie yang memproduks­i musisi metropolis pun bermuncula­n. Salah satunya label Radio ActiveForc­e milik Fadly Zakaria. Berdiri sejak 2012, label itu merilis 13 album dari 15 musisi. Semuanya sold-out diburu para pencintany­a.

Meski hanya merilis karya-karya musisi dengan segmen tertentu, label seperti Fadly menjadi patokan para musisi. Sebab, sama halnya dengan label-label musik lain, band yang berhasil dirilis bisa dikatakan mempunyai kualitas. Artinya, bukan hanya aransemen musik yang bagus, animo masyarakat juga cukup tinggi atas kehadiran musisi tersebut.

Fadly lebih memilih kaset pita untuk tiap rilisannya. Selain cocok untuk dikoleksi, kaset pita hitam lebih awet dan nyaman di telinga saat didengarka­n. Peminatnya pun dinilai lebih militan jika dibandingk­an dengan piringan hitam atau CD. ’’Sekarang banyak label indie yang memilih pita hitam meski terkadang mereka cetak dua kali dengan CD. Kaset untuk koleksi dan CD untuk didengarka­n, biasanya begitu,’’ jelas Fadly saat ditemui Jawa Pos di kediamanny­a, daerah Petemon Kuburan, Surabaya.

Label indie lain bernama Beautiful Terror Record melakukan hal yang sama. Eri Rumana, pemilik label tersebut, mengaku lebih suka merilis kaset pita hitam. Ongkos produksi yang relatif murah menjadi alasannya. Jumlah cetakan yang sekitar 50 keping membuatnya dengan mudah mendistrib­usikan ke beberapa jaringanny­a. ’’Pita hitam kan layak koleksi sekali,’’ ujar pria yang memulai merilis label indie setahun belakangan tersebut.

Jangan lupakan nama yang satu ini. Yakni, Arief Arvakesit. Pria asli Kapasari, Surabaya, tersebut selalu menjadi rujukan bagi penikmat musik berbahan dasar pita hitam. Bahkan, namanya sudah dikenal hingga ibu kota lantaran koleksinya terbilang sangat lengkap.

Setiap hari Arief menggelar lapak di rumahnya. Yakni, di Jalan Kapasari Gang 9 DKA No 18. Tidak mudah menemukan rumahnya. Sebab, di Kapasari terdapat puluhan gang. Lebar gang rumah Arief hanya 1 meter. Agak menanjak. Setiap orang yang masuk ke dalam gang harus menuntun sepeda motornya.

Jarak rumah Arief dengan mulut gang sekitar 100 meter. Lokasinya di depan Musala Miftahul Jannah. Bangunanny­a memanjang. Saat Jawa Pos berkunjung Jumat lalu (15/4), sayup-sayup terdengar suara lagu The Trooper milik band Iron Maiden dari dalam ruangan. Di ruangan itu, terdapat delapan rak kaset. Memanjang dari ruang tamu hingga kamar tidur. ”Jumlahnya sekitar 20 ribu kaset,” ucap Arief ketika ditemui.

Arief hobi membeli kaset sejak kelas V SD. Kala itu, harga kaset masih Rp 1.250. Dia menyisihka­n uang jajan sebulan untuk membeli satu kaset kompilasi heavy metal. Band pengisinya merupakan nama-nama tenar. Antara lain, Yngwie J. Malmsteen, Judas Priest, serta Iron Maiden. Hal yang sama dia lakukan hampir tiap bulan.

Semakin lama, koleksi kasetnya semakin banyak. Pada 2008 dia memutuskan berjualan kaset di depan gang rumahnya. Usahanya sempat ramai. Namun, karena sering ada razia, pelanggan pun menghilang. ” Gak nyaman. Kucing-kucingan dengan satpol PP,” ucapnya.

Akhirnya dia membuka toko di rumahnya. Di ruang tamu sampai ruang tidur dipasang rak kaset. Orang yang akan melihat kaset bisa langsung memilihnya. Rak di ruang tamu berisi lagu-lagu dari semua genre. Misalnya, Radiohead, Green Day, dan Iwan Fals. Sedangkan rak di kamar tidur khusus lagu-lagu heavy metal, rock, dan kaset yang langka. Antara lain, Guruh Gipsy, Giant Step, SAS, dan God Bless. Arief juga sempat terpukul era digital. Orang bisa men- download lagu secara gratis.

Alumnus manajemen Unitomo itu sempat dibuat pusing. Penjualan kasetnya menurun drastis. Yang awalnya sebulan terjual 30–50 keping menjadi hanya 5–10 keping. ”Tapi, saya tetap berjualan kaset,” jelasnya.

Badai akhirnya berlalu. Kini rilisan fisik kembali digemari. Salah satunya dengan kampanye Record Store Day. Arief mengaku kini dalam sebulan bisa menjual 200 kaset. Total keuntungan mencapai Rp 30 juta. (rid/aph/c7/fat)

 ?? ARYA DHITYA/JAWA POS ?? PAMOR NAIK: Penggemar rilisan fisik musik mencoba kaset lawas di Cempaka Music Store. Saat ini toko-toko musik mandiri kembali marak. compact disc
ARYA DHITYA/JAWA POS PAMOR NAIK: Penggemar rilisan fisik musik mencoba kaset lawas di Cempaka Music Store. Saat ini toko-toko musik mandiri kembali marak. compact disc

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia