NUP Jadi Alat Tes Pasar
BERAGAM cara dilakukan pengembang untuk menarik investor properti. Salah satu sistem promosi yang kini cukup banyak diterapkan adalah sistem nomor urut pembelian (NUP).
Davi Daud, Kahuripan Nirwana Village (KNV), mengatakan bahwa NUP merupakan salah satu alat promosi yang digunakan pengembang. ’’NUP sendiri cukup lama digunakan di Jakarta sejak empat–lima tahun terakhir,’’ ungkapnya.
Cara itu dipilih lantaran jumlah permintaan dan ketersediaan rumah di Jakarta tidak sebanding. Dengan demikian, untuk mendapatkan properti, pembeli harus mengantre.
Sistem NUP di Surabaya, Sidoarjo, dan sekitarnya memang baru berkembang satu dua tahun terakhir. Menurut Davi, berbeda dengan di Jakarta, di Sidoarjo umumnya pengembang menggunakan NUP sebagai alat tes pasar. ’’Lahan di Sidoarjo masih cukup luas dibandingkan lahan di Jakarta yang sudah hampir sulit mencari landed house. Sistem antre tidak separah Jakarta,’’ ujarnya.
Karena itu, sebelum meluncurkan produk baru, pengembang mencoba menggunakan cara tersebut. ’’Lagi pula sebagai variasi promosi. Biasanya, konsumen Surabaya dan sekitarnya, termasuk Sidoarjo, cenderung mengikuti tren di Jakarta. Bagi mereka, memiliki kesempatan pertama untuk mendapatkan unit rumah menjadi sebuah kepuasan tersendiri,’’ papar Davi.
Dengan perilaku konsumen yang seperti itu, NUP menjadi semacam alat tes pasar oleh beberapa pengembang. ’’Ada yang ingin menilai seberapa tinggi minat konsumen terhadap produk. Ada pula yang mencari posisi saat peluncuran produk,’’ kata Davi.
Meski demikian, Davi mengamati karakter konsumen di Sidoarjo yang masih cederung melihat harga dan produk. Di Jakarta, orang tidak lagi melihat produk. ’’Asalkan pengembangnya cukup tepercaya, mereka tidak ragu untuk mengambil NUP,’’ ungkapnya. Konsumen di Sidoarjo secara umum berbeda dengan Jakarta. ’’Calon pembeli memang mengambil NUP, namun masih mempertimbangkan banyak hal sebelum memutuskan membeli rumah,’’ paparnya.
Manajer Unit Puri Jaya Sidoarjo Samson Suryanto menegaskan, produk yang bagus tidak akan berbohong. Kini calon pembeli cukup cerdas dalam memilih properti. Pembeli tidak lagi hanya melihat produk yang ditawarkan. Produk yang bagus saja pun tidak menjamin kesuksesan penjualan. ’’Produk yang bagus tanpa disertai kenaikan nilai investasi yang bagus tidak banyak dilirik konsumen saat ini,’’ jelasnya.
Menurut Samson, membeli properti tidak hanya untuk keperluan satu dua tahun, tetapi jangka panjang. ’’Konsumen akhirnya juga mempertimbangkan banyak hal sebelum memutuskan membeli. Bila perlu, mereka survei lokasi untuk mengetahui kecenderungan kenaikan investasinya. Karena itu, dengan NUP, mereka diuntungkan karena sifatnya cenderung tidak mengikat,’’ ungkapnya.
Karena itu, bagi pengembang, sebelum meluncurkan produk, ada baiknya mengadakan product knowledge lebih dulu. ’’Supaya masyarakat pembeli NUP benarbenar paham produknya dan pengembang juga pede (percaya diri) saat peluncuran,’’ kata Samson. Hal itu dilakukan untuk mengurangi banyaknya NUP yang kembali. Saat peluncuran produk, semua unit diharapkan bisa terjual.
NUP cukup efektif digunakan pengembang yang ingin menyasar segmen menengah dan investor. Tanpa NUP, pengembang tetap bisa menjual dengan cara konvensional. ’’Hanya masalah waktu,’’ ucap Samson. Dengan NUP, penjualan unit bisa dilakukan dengan waktu yang relatif singkat. Namun, pengembang harus tetap memperhatikan segmentasi yang mereka tuju dengan produk mereka.
’’Misalnya, di Jayaland, tidak semua unit kami jual dengan pembelian NUP,’’ kata Samson. Tujuannya, memfasilitasi kalangan yang memiliki uang cukup untuk punya rumah. ’’Analoginya, jika konsumen memiliki uang yang cukup untuk ambil rumah, untuk apa harus mengantre? Mereka bisa langsung deal saat itu juga,’’ tegas Samson. (vo/c15/fal)