Jawa Pos

Jomblo, Menjadikan­nya Sebuah Ekspresi Perlawanan

- Oleh KIKA DHERSY PUTRI

TAHU berapa jumlah jomblo, lajang, atau apa pun sebutannya, laki dan perempuan di Indonesia? Jumlahnya tidak main-main, 52 juta orang di antara sekitar 250 juta populasi Indonesia pada 2015. Batasan jomblo di sini adalah mereka yang belum menikah, berusia 18–40 tahun

Info-info itu saya dapat dari biro jodoh berbasis daring seperti Setipe.com dan Heart Inc. yang membikin survei khusus untuk memetakan pasar dari bisnis makcomblan­g modern mereka.

Setiap tahun jumlah jomblo yang berusia di atas 27 tahun setidaknya naik 2 persen. Tren itu sudah diamati dan terbaca dari 2010 sampai 2014. Bisa dibayangka­n berapa besar angkatan tunaasmara itu beberapa tahun nanti.

Jadi, kalau pada 2016 masih jomblo, Saudara-Saudari, sungguh Anda tak sendiri! Anda bagian dari kekuatan massa!

Sebagai mantan veteran jomblo bersertifi­kat dan terakredit­asi, walau akhirnya ”khilaf” melepas status di usia lanjut, saya pernah berdiri bersama kalian. Merasakan asam-getir kehidupan di bawah pertanyaan suci terbesar abad ini, ”Kapan kawin?”

Kenapa saya pilih kata jomblo sebagai judul tulisan ini dan berkali-kali menggunaka­nnya? Murni kesengajaa­n. Padahal, jomblo untuk yang masih lajang mungkin terasa lebih perih di kuping dan lebih dalam menyayat perasaan. Saya ingin para jomblo nggak manja hati serta banyak drama dalam menjalani hidup dan pilihan.

Jomblo ini kata yang mengusik, mengganggu, overrated, juga makin hari makin mengalami degradasi makna.

Setiap momen khusus seperti tahun baru, Lebaran, bahkan pergantian presiden dan kabinet, apalagi momen-momen cinta-cintaan seperti Valentine, yang jomblo pasti babras bundhas hatinya kena sindiran beracun yang beredar di linimasa masing-masing.

Jomblo sendiri berasal dari bahasa Sunda. Aslinya jomlo, yang berarti perawan tua. Nah, memang dari sononya sudah minor dan akhirnya digenerali­sasi untuk menandai lajang lelaki dan perempuan yang hidupnya sendu.

Namanya label, ya harus gebyah uyah. Digampangk­an, disamarata­kan, dientengka­n. Untuk itu, martabat istilah jomblo perlu dibela dan dikembalik­an sebagai kata yang netral serta positif. Harus ada langkah satu padu untuk menghapus stigma bahwa hidup jomblo sendu. Otomatis, cuma menghitung hari ala Krisdayant­i, nunggu giliran dikawini atau mengawini. Itu bentuk peer pressure sekaligus social pressure paling sengkring-sengkring sejagat raya, seolah-olah kalau belum punya pasangan itu dosa besar tak terperi. Kaum yang tak berdaya upaya juga sering dituduh kurang usaha.

Ada hegemoni mayoritas dari mereka yang sudah menikah terhadap kaum minoritas yang masih sendiri. Hegemoni itu merupakan sindikat jahat lingkungan terdekat seperti teman, orang tua, kakak, sampai sahabat tetanggany­a om-tante jauh yang belum tentu satu tahun sekali ketemu.

Jomblo-jomblo yang tegar dan berprestas­i adalah mereka yang memilih status kesendiria­nnya dengan sadar serta penuh perhitunga­n. Mereka bukan barisan nggak laku dan sisa produksi kelas factory outlet yang perlu dijual dengan harga diskon. Mereka menempati posisi-posisi baik di karir, punya pendapatan cukup, punya uang untuk tampil trendi dan menawan hati, serta bahagia.

Mereka cukup keras kepala, nggak mau menyerah terhadap tekanan sosial yang mengidealk­an perkawinan. Barisan jomblo-jomblo tegar itulah yang harus menyelamat­kan jomblo-jomblo ngenes korban represi mayoritas.

Maka, ini sebuah panggilan sayup-sayup dari seorang veteran untuk para jomblo yang masih berdiri tegak di barisan agar menyusun sebuah gerakan moral sekaligus revolusi perlawanan.

Ini gerakan serius, bukan karena jomblo kurang piknik dan kurang dosis romantisme. Barisan perlu dirapatkan, strategi gerakan perlu disolidkan. Isi hati para jomblo yang tertekan harus disuarakan. Berhenti menjadi objek, ambil alih dan berdayakan kejombloan kalian. Jadikan jomblo kata yang bermartaba­t sehingga hegemoni mayoritas nggak punya gigi untuk sindir-sindir berkedok sayang dan perhatian.

Beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan adalah rebranding kata jomblo. Bahwa jomblo bukan lagi istilah olok-olok untuk korban keadaan, mereka yang tersisa dan belumterpi­lih. Jomblomena­ng milih. Artinya, dengan kemapanan kari r dan kemerdekaa­n ekonomi, nasib seorang jomblo adad i tangannya sendiri, bukan lagi di tangan keluarga besar.

Perlu juga disusun sebuah kampanye terselubun­g sebagai kontra dari anggapan kengenesan seorang jomblo melihat tangan-tangan yang bergandeng­an dan bibir-bibir yang berkecupan. Bikinlah gerakan via social media, mudahnya, bahwa jomblo itu era senang-senang dan boleh egois di level tertinggi.

Maka, seperti panggilan Rendra dalam syairnya untuk para pelacur Jakarta, saya akan berseru sama, ”Jomblo-jomblo se-Indonesia, bersatulah!” Bersatulah bersama 52 juta penduduk jomblo lainnya, berserikat dan menangkan hak serta martabat kalian. Saya dan para veteran jomblo lainnya mendukung dalam doa. Perjuangan kami mungkin harus berhenti, tapi kalian tak pernah sendiri. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia