Jawa Pos

Remisi Koruptor Menodai Keadilan

-

JAKARTA – Rencana revisi Peraturan Pemerintah ( PP) Nomor 99 Tahun 2012 jalan terus. Padahal, hal itu dinilai tidak konsisten dengan politik hukum pemerintah yang menganggap korupsi sebagai kejahatan luar biasa ( extraordin­ary crime) yang memerlukan pengecuali­an.

”Pemerintah yang kemarin dan sekarang ini kan politik hukumnya masih sama. Dalam setiap instrumen menempatka­n korupsi sebagai extraordin­ary crime. Mengapa sekarang koruptor diberi penguranga­n hukuman?” kata Rasamala Aritonang, anggota Biro Hukum Komisi Pemberanta­san Korupsi (KPK), dalam diskusi di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) kemarin.

Rasamala tidak setuju jika PP itu disebut membuka ruang diskrimina­si bagi narapidana. Bagi dia, karena extraordin­ary crime, penanganan untuk korupsi memang harus berbeda. Termasuk dalam hal pemidanaan. ”Politik hukum kita menganut seperti itu juga,” katanya.

Dia mencontohk­an kasus percobaan korupsi yang tetap diancam dengan hukuman yang sama. Sementara itu, di Kitab UndangUnda­ng Hukum Pidana (KUHP), ancaman hukuman untuk percobaan tindak pidana dikurangi sepertiga dari hukuman pokok.

PP 99 itu bertentang­an dengan UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarak­atan.” Ma’mun Staf Ahli Menkum HAM

”Jelas undang-undang membedakan antara korupsi dan pidana umum,” terang Rasamala.

Dalam criminal justice system, korupsi harus ditangani dari hulu sampai hilir. Tiap lembaga tidak bisa berdiri sendiri. Rasamala merasa aneh jika Kementeria­n Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) menganggap penegak hukum campur tangan dalam pemberian remisi karena adanya syarat justice collaborat­or ( JC).

Ma’mun, staf ahli Menkum HAM, berpandang­an lain. Dia kukuh bahwa revisi PP 99 telah sesuai dengan filosofi pemasyarak­atan, tinjauan yuridis, dan aspek sistem peradilan pidana.

”PP 99 itu bertentang­an dengan UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyara katan,” ujar Ma’mun. (gun/c11/ca)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia