Gunting Klise Foto Reformasi, Pernah Diancam Celurit
Kisah-Kisah Pengabdian Tiga Fotografer Senior Pemkot Surabaya Sudah 16 tahun Humas Pemkot Surabaya tidak merekrut fotografer. F.X. Ratno, Suyadi, dan Kusmali masih jadi andalan. Meski begitu, karya-karya para fotografer berusia setengah abad lebih itu sud
F.X. Ratno adalah yang paling senior di antara trio fotografer Pemkot Surabaya. Dia akan pensiun tahun depan. Jawa Pos mendatangi rumah pria kelahiran 7 Juni 1959 itu di Kelurahan Petemon, Kecamatan Sawahan, Selasa (30/8). Ratno sudah menunggu di teras rumahnya lengkap dengan suguhan biskuit dan air mineral.
Sejurus kemudian, dia menghambur lagi ke ruang belakang rumahnya. Dikeluarkannya album foto berukuran 4R berwarna oranye. ”Ini lho fotofoto yang membuat saya takut,” ujarnya sembari membuka satu per satu halaman album.
Foto-foto tersebut menunjukkan demonstrasi saat reformasi, Mei 1998. Tampak para mahasiswa memben- tangkan spanduk meminta Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Banyak tulisan dan umpatan yang terekam dalam jepretan Ratno. Yang dia tunjukkan hanya sebagian. Sebab, sebanyak 10 rol foto sudah dia guntingi. Masing-masing rol berisi 36 foto. Karena itu, setidaknya ada 360 foto yang lenyap.
Dia tak sengaja menemukan rolrol klise foto tersebut saat hendak memindahkan koleksi dan dokumentasi fotonya pada 2013. Dia jadi galau. Muncul rasa khawatir kalau foto-foto tersebut menyebar. Setelah berpikir seharian, dia akhirnya memutuskan untuk mengguntingi ratusan klise itu
” Sampean iki lapo toh, Pak (kamu ini kenapa sih, Pak)? Kok diguntingi?” tutur Ratno menirukan omelan istrinya, M.G. Sri Wahyu Indrayanti, tiga tahun silam. ” Wes ta (sudahlah), Ini kalau nyebar berbahaya. Bisa dituntut mencemarkan nama baik,” sahut Ratno.
Untuk menjepret foto-foto tersebut, dia harus izin kepada kepala Departemen Penerangan Surabaya saat itu. Kala itu, politik sedang memanas. Nyaris tidak ada kegiatan yang bisa dilakukan di kantor. Setelah mendapat izin, dia akhirnya terjun ke jalan. Sudah ada feeling bakal terjadi peristiwa bersejarah. Dengan menyiapkan beberapa rol klise, mantan anggota grup lawak TRI AS tersebut turun ke jalan.
Setelah Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya, departemen penerangan dibubarkan. Para pegawai dimutasi ke berbagai tempat. Ratno dipindah ke bagian humas pemkot. Tetap jadi fotografer. Saat itu wali kota Surabaya dijabat Soenarto Soemoprawiro.
Sambil memakan biskuit, Ratno melanjutkan cerita. Belakangan dia menyesal telah melenyapkan foto-foto tersebut. Menghilangkan catatan sejarah seolah jadi ganjalan di hatinya sekarang. Tak banyak kamera yang merekam kejadian itu. Apalagi dia menjadi fotografer berseragam yang tergabung di departemen penerangan. Karena berseragam, banyak foto eksklusif yang dia miliki. Hanya album mini itu sisa bukti sejarah yang dia simpan. Tapi, jumlahnya sedikit.
Dari cerita zaman reformasi, Ratno melanjutkan kisahnya beberapa tahun belakangan. Belum mengecap satu kata, Ratno sudah ketawa duluan. Sambil menggaruk-garuk rambutnya yang sudah memutih, lalu sembari geleng-geleng dia memulai cerita. Saat itu dia mendampingi Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang melakukan sidak di Sumber Rejo, Pakal. Terjadi banjir di daerah pertambakan. Saat hendak melintasi pematang sawah, mobil yang dia tumpangi terjebak lumpur karena menghindari mobil lain di arah berlawanan.
Seisi mobil pun keluar. Mereka mendorong mobil Isuzu Panther itu sekuat tenaga agar kembali ke jalur. Sebagai fotografer, momentum gotong royong tersebut bisa jadi foto menarik. Ratno mengambil jarak 50 meter dan mengganti lensa kameranya dengan lensa tele. Sambil mencari angle foto yang pas, Ratno mulai bergeser ke kanan membidik target. Tanpa disadari, dia terperosok. Byurr. Tak ada yang menolongnya. Saat itu arus cukup deras. Akibatnya, dia terseret 5 meter.
Untungnya, dia hobi berenang. Setelah memijak dasar tambak, dia langsung mengentakkan kakinya. Karena dasar tambak itu lumpur, bukan keramik kolam renang, Ratno harus sekuat tenaga untuk naik ke permukaan.
Begitu menghirup udara, ayah dua anak itu salah menghadap. Dia menghadap ke pematang sawah yang jauhnya puluhan meter. Padahal, tempat dia jatuh hanya berjarak 5 meter. Dia baru sadar ketika memutar badan dan mendengar petugas satpol PP meneriakinya. ”Kamera lensa, dua handphone rusak semua. Padahal, Nikon D3X itu harganya Rp 70 juta dulu. Untungnya bisa diservis dan saya pakai sampai sekarang,” ujar Ratno, lalu menunjukkan kamera yang memiliki banyak goresan itu.
Untungnya, dia membawa kamera cadangan. Meski begitu, dia tidak sempat ganti baju. Padahal, pengambilan gambar dilakukan hingga malam. ”Sampai celana jinsku garing-garing dhewe (kering sendiri, Red),” paparnya, lalu ngakak.
Cerita tercebur di air juga dialami Suyadi. Dua kali. Tetapi, kali ini Yadi –sapaannya– tidak tercebur seluruh badan. Hanya kakinya. Kejadian tersebut tetap saja membuatnya sangat jengkel. Saat itu acara bersihbersih pantai di Kenjeran. ”Apa ini kok anget-anget? Ternyata, menginjak kotoran.” Kejadian itu terulang lagi. Kali ini di Kalimas. Dia juga menginjak kotoran. Namun, dia baru sadar ketika sudah berjalan ke mana-mana. Bau itu mengikutinya. ”Ternyata, di sepatuku,” lanjut dia.
Pria yang hobi tenis meja tersebut satu angkatan dengan Ratno. Sama-sama masuk di departemen penerangan pada 1983. Tetapi, dia lebih junior. Dia banyak belajar kepada Ratno. Waktu itu dia masih memakai kamera Pentax. Masih pakai sistem kokang.
Baru pada 1991 dia menggeluti dunia fotografi dan diangkat sebagai fotografer departemen penerangan. Objek belajar fotografinya adalah pernikahan adiknya. Setelah melihat hasilnya bagus, Yadi semakin percaya diri ikut memotret di acara departemen penerangan. ”Kalau Cak Ratno tidak bisa ambil fotonya, saya yang back up. Dulu kamera saya dapat lungsurannya Cak Ratno,” ujar pria asal Lamongan itu.
Selama menjadi fotografer pemkot, Yadi Cling –nama bekennya– pernah menghadapi situasi menegangkan. Dia pernah diacungi celurit saat hendak memotret sentra PKL di Kalidami, Menur. Saat itu dia ditugaskan mengambil kondisi daerah yang hendak ditertibkan. Yadi sebenarnya sudah mengantisipasi agar tidak terjadi konflik. Dia berpura-pura mengabadikan bunga-bunga dan tanaman. Bila ada kesempatan, barulah lokasi PKL tersebut difoto.
Tetapi, aksi samaran itu diketahui para pedagang. Salah seorang pedagang langsung memaki-maki sambil membawa celurit. ”Aku bukan wartawan, Mas. Saya hanya hobi foto-foto,” kilah pria yang kini berusia 50 tahun itu. Foto-foto tanaman yang dia ambil pun menyelamatkannya.
Dia menunjukkan foto-foto itu kepada pedagang yang marah. Agar suasana lebih tenang, dia memberanikan diri membeli kopi di warung pedagang tersebut. ” Padahal, kakiku sudah gemeteran,” kata Yadi saat ditemui di kantor humas pemkot.
Satu lagi fotografer andalan pemkot, Kusmali. Pria kelahiran 3 Juni 1963 itu terhitung paling lama menjadi fotografer humas pemkot. Bila Ratno dan Yadi baru masuk ke pemkot pada 2000, Kusmali mengabdi di humas lima tahun lebih dahulu. Meski begitu, dia menjelaskan bahwa tidak ada senioritas di antara mereka. ”Satu sama lain harus bekerja sama. Tidak boleh saling iri. Itu kuncinya,” sebut Kusmali.
Bagi Pakde Kus, sapaannya, semua hari bersama dua sahabat fotografer itu mengesankan. Dia sering tidur di kantor humas dengan Yadi bila ada agenda pagi. Sebab, rumah keduanya cukup jauh. Yadi tinggal di Lamongan, sedangkan Kusmali tinggal di Tanggulangin, Sidoarjo. Tak jarang, tiga fotografer yang dianggap legenda hidup pemkot itu jalanjalan bareng. Mereka biasanya menghabiskan waktu di Kebun Binatang Surabaya, Pacet, Tretes, hingga Bromo. ”Dengan catatan, semua pekerjaan beres,” tambah Kusmali, lalu tersenyum.
Bagi Kusmali, menjadi fotografer pemkot dianggapnya sudah takdir. Tiga fotografer itu menganggap pekerjaan mereka membantu perkembangan Surabaya meski secara tak langsung. Sebab, hasil jepretan mereka sering kali dibawa wali kota ke luar negeri untuk dipamerkan. (*/c6/dos)