Jawa Pos

Tambah 12 Juta Blangko E-KTP

Tak Ada Batas Pelayanan

-

JAKARTA – Pemerintah memastikan tidak ada batas waktu perekaman e-KTP. Sempat beredar kabar bahwa deadline pengurusan adalah 30 September. Hal itu ternyata justru berdampak positif. Di berbagai daerah, antusiasme masyarakat merekam data kependuduk­an meningkat drastis.

’’Kalau biasanya (pemohon) 30 ribu sehari, sekarang itu 200 ribuan di seluruh Indonesia,’’ kata Dirjen Kependuduk­an dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementeria­n Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh di Jakarta kemarin (2/9)

Di jalan-jalan tak banyak ditemui lalu-lalang kendaraan. Beberapa kali mobil sewaan yang saya tumpangi melewati perbukitan dan keluar masuk hutan. Jarang sekali ada perkampung­an penduduk. Perjalanan pun terasa membosanka­n.

Sesampai di Pelabuhan Binjai, saya langsung ke loket pembelian tiket feri. Memang, Pelabuhan Binjai bukan pelabuhan besar seperti Tanjung Perak Surabaya atau Tanjung Priok Jakarta. Hanya kapal-kapal seukuran 15 meteran yang bisa ditampung. Itu pun tidak banyak. Pelabuhan tersebut diapit hutan bakau di kanan-kirinya.

Hanya ada satu kali penyeberan­gan ke Pulau Sedanau dalam sehari, setiap pukul 15.00. Begitu pula sebaliknya, dari Sedanau ke Binjai, setiap pukul 07.30. Maka, kalau calon penumpang terlambat tiba di pelabuhan, konsekuens­inya harus menunggu esok untuk menyeberan­g.

Feri yang saya tumpangi menuju Pulau Sedanau berisi 33 kursi. Semua terisi. Bahkan, ada sejumlah penumpang yang harus berdiri selama perjalanan karena kehabisan tempat duduk. Suasana seperti itu, tampaknya, sudah biasa. Mereka lebih baik berdiri daripada harus menunggu esok hari. Yang penting, mereka bisa terangkut ke tujuan.

Kapal berjalan dengan kecepatan sekitar 20 knot laut. Lumayan kencang. Sesekali air memercik ke jendela saat haluan kapal membelah ombak. Sementara itu, para penumpang dihibur alunan suara merdu Ari Lasso yang membawakan lagu-lagu lawas milik mantan grupnya, Dewa 19.

Tak terasa, sekitar 30 menit kemudian, feri tiba di Pelabuhan Sedanau. Pelabuhan itu ternyata lebih besar daripada Pelabuhan Binjai. Banyak kapal berukuran besar yang sandar. Terlihat pula perahu-perahu pompong, perahu nelayan khas Natuna, yang berseliwer­an.

Meski begitu, Pulau Sedanau lebih sepi jika dibandingk­an dengan Kota Ranai. Pendudukny­a tak lebih dari 450 kepala keluarga. Disebut Pulau Sedanau karena posisinya dikitari gunung-gunung di Pulau Tiga dan pulaupulau kecil lainnya.

Sedanau terkesan seperti kota apung. Banyak rumah yang berada di bibir pantai. Bangunanny­a berupa rumah panggung. Ada yang berdinding kayu, ada pula yang berdinding batako. Air laut berwarna hijau kebiruan berada di bawah rumah-rumah itu. Ikan-ikan kecil terlihat berenang dalam gerombolan, menandakan ekosistem di daerah tersebut masih bagus.

Setiba di Sedanau, saya langsung menuju ke penginapan. Di pulau kecil itu, terdapat banyak penginapan. Maklum, sebelum ada larangan ekspor ikan napoleon, pulau tersebut ramai disinggahi kapal asing. Kapal-kapal dari Hongkong dan Tiongkok rutin datang untuk membeli ikan yang dibesarkan nelayan setempat.

Selain penginapan, di pulau itu terdapat persewaan sepeda motor. Jadi, untuk mengelilin­gi pulau, cukup dengan sewa motor. Jangan lupa untuk memenuhi BBM-nya. Sebab, tak banyak warung yang menjual bensin eceran.

Saat saya keliling Sedanau, tampak di sisi timur pulau rumah-rumah tunggu keramba milik warga. Kebanyakan warga Sedanau berprofesi nelayan. Rumah-rumah tunggu tersebut berada agak menjorok ke laut dengan kedalaman minimal 5 meter. Keramba-keramba milik warga itulah tempat pembesaran ikan napoleon.

Kawasan laut Pulau Sedanau memang menjadi habitat bagi ikan-ikan mahal itu. Di sana nelayan tidak harus berburu di tengah laut seperti nelayan di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Itu pun pada musim-musim tertentu. Di Pulau Sedanau nelayan tidak harus menunggu musim untuk mencari bibit-bibit ikan napoleon. Setiap saat mereka bisa menjaring, sebelum kemudian dibesarkan di keramba-keramba milik warga.

Ikan napoleon hingga saat ini termasuk komoditas laut yang banyak dicari tengkulak ikan dari Tiongkok. Bagi warga Tiongkok, ikan itu menjadi hidangan istimewa yang disajikan untuk menjamu pejabat atau orang-orang penting lainnya. Tak heran bila harganya melambung. Ikan tersebut bisa tumbuh hingga panjangnya mencapai 2 meter. Namun, yang banyak dicari para tengkulak justru yang ukurannya kecil-kecil, sebesar ikan gurami.

Menurut Mukh Rizal, salah seorang pemilik keramba, ikan yang banyak dicari seukuran berat 1 kilogram. Konon, pada ikan napoleon seukuran itu, dagingnya sangat lezat. Gizinya juga tinggi. Orang Tiongkok sangat suka.

”Makanya, ikan napoleon seberat 1 kilo saja harganya di sini mencapai Rp 1 juta,” ujar Rizal.

Kenapa ikan yang bentuk kepalanya menyerupai topi pahlawan Prancis Napoleon Bonaparte tersebut sangat mahal? Selain kandungan gizi dan kelezatann­ya, bagi orang Tiongkok, memakan ikan itu dipercaya bisa mendatangk­an keberuntun­gan (hoki). Terlebih, bagi mereka, tidak mudah menemukan ikan napoleon di negara mereka. Untuk mendapatka­n ikan istimewa tersebut, para tengkulak mesti berlayar beribu- ribu kilometer menuju perairan China Selatan yang berbatasan dengan Indonesia.

Apalagi, diperlukan proses panjang untuk mendapatka­n ukuran ikan yang ideal untuk dikonsumsi. ”Untuk proses pembesaran dari bibit hingga ukuran sekitar 1 kilogram saja, diperlukan waktu sekitar empat tahun. Jadi, wajar kalau harganya jadi mahal. Saya tidak tahu, di China dijual berapa,” jelas Rizal yang juga dikenal sebagai lurah di Pulau Sedanau.

Rizal sudah lama menjadi peternak ikan napoleon. Karena itu, dia tahu betul manis pahitnya beternak ikan tersebut. Termasuk ketika pemerintah pada 2015 mengeluark­an kebijakan larangan penjualan ikan napoleon secara bebas seperti selama ini kepada para tengkulak ikan dari Tiongkok. Pemerintah beralasan melindungi keberadaan ikan napoleon yang makin sedikit di perairan Indonesia.

’’Sejak ada larangan penjualan ikan secara bebas itu, kami mulai susah menjual napoleon,’’ ungkap Rizal. ’’Padahal, ikan itu andalan kami. Harganya mahal,’’ tambahnya.

Dulu, saat larangan itu belum keluar, Rizal bisa mendapatka­n keuntungan lumayan. Satu keramba ikan berukuran 4 x 6 meter miliknya bisa menghasilk­an puluhan juta rupiah sekali panen. Pasalnya, keramba seluas itu bisa menampung sekitar 50 ekor ikan napoleon.

Dia mengakui, bila ikan-ikan di Pulau Sedanau tidak bisa dijual bebas lagi, nelayan akan mengalami kerugian besar. Apalagi, saat ini ada ribuan ikan napoleon yang siap dipanen. Bila ikan-ikan tersebut tak segera dipanen dan kemudian terus membesar, bisa jadi para pemilik keramba tidak bisa menjualnya lagi. Sebab, ikan napoleon yang telanjur besar, seukuran lebih dari 1 meter, tidak diminati para tengkulak asal Tiongkok. Sebab, rasa daging ikannya sudah berubah. Tidak enak lagi.

’’Kalau kebijakan itu tetap diterapkan, jelas kami akan merugi banyak,’’ katanya.

Meski begitu, masih ada tengkulak ikan napoleon dari Tiongkok yang mampir ke Pulau Sedanau untuk membeli ikan napoleon. Hanya, kuantitas pembeliann­ya sudah sangat jarang. Bila selama ini kapal-kapal Tiongkok bisa datang sebulan sekali, dalam setahun terakhir, baru tiga kali ada kapal negara itu yang berlabuh di Sedanau. ’’Kata pemerintah, yang ditakutkan itu, ikan napoleon punah,’’ ujar Rizal.

Namun, menurut dia, kekhawatir­an tersebut berlebihan. Sebab, di Pulau Sedanau banyak ikan napoleon yang hidup di laut lepas. Nelayan bisa mencarinya dengan bebas. ’’Kami menangkap ikan itu dengan jaring, bukan dengan racun atau bom,’’ ungkapnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia