Jawa Pos

Di Surabaya Banyak Tempat Bagus, tapi Susah Parkir

Hunting Objek Eksotis Bareng Ricker Winsor, Pelukis Lanskap dari Amerika Serikat

- ASA WISESA BETARI

Terkadang, melukis tidak memerlukan kiblat dari tokoh idola. Tidak pula melihat pakem atau gaya dari buku panduan. Melukis bisa dilakukan siapa saja dengan gaya apa pun. Prinsip itulah yang dipegang Ricker Winsor, pelukis lanskap impresioni­s dari AS.

SIANG mulai beranjak petang. Matahari terus tergelinci­r ke ufuk barat. Pukul 15.30. ”Ayo jalan-jalan,” ucap Ricker Winsor kepada istrinya. Pria 71 tahun itu sudah siap dengan peralatan tempurnya.

Winsor adalah seorang pelukis beraliran lanskap impresioni­s. Tentu, aliran itu membuat para pelukisnya kerap melukis on the spot atau langsung beraksi di depan objek yang akan ’’dibekukan’’ di kanvas. Maka, kebanyakan sasarannya adalah pemandanga­n.

Bagi Winsor, melukis pemandanga­n adalah salah satu bentuk rasa syukur kepada alam. ”Ada unsur spiritual di sana. Itu seperti saat kita berdoa dan berinterak­si dengan ciptaan Tuhan,” tambah lulusan Brown University dan Rhode Island School of Design tersebut.

Lelaki itu sudah menggeluti seni lukis selama 45 tahun. Saban petang, dia melakukan ritual yang nyaris sama. Berburu tempat-tempat eksotis sebagai objek untuk dilukis. Dudukan meja portabel, kanvas yang sudah membentang pada spanram (bingkai kayu), dan beberapa botol cat minyak sudah dipak ke dalam tas jinjing. Peranti yang juga tak terlupa adalah topi cokelat andalannya. Untuk tutup kepala sekaligus membungkus rambutnya yang mulai menipis.

Kalau sudah begitu, mau tak mau istrinya, Jovita Maryana, harus mendamping­i ke mana Winsor hendak mencari spot

Perjalanan pun dimulai. Sebuah mobil Toyota Avanza silver keluar dari garasi salah satu rumah di kawasan Manyar. ”Kamu ajak saya ke jembatan. Pilihkan tempat bagus buat saya,” ujar Winsor kepada Jawa Pos.

Glek! Sempat bingung juga. Saya adalah orang baru di Surabaya. Tapi, Jawa Pos mengingatk­an soal keinginann­ya beberapa waktu lalu dalam sebuah wawancara. Dia ingin pergi ke sekitar Monumen Kapal Selam yang ada patung Suro-Boyo-nya.

”Oke. Kita ke sana,” jawabnya lugas. Antusias sekali. Matanya seakan tak pernah lepas dari setiap bangunan yang dilewati selama perjalanan. Pelukis kelahiran Chicago, Amerika Serikat, itu berpendapa­t bahwa sebenarnya banyak objek bagus di Kota Pahlawan. ”Banyak tempat bagus, tapi susah parkir,” ujarnya.

Jovita, sang istri, menimpali. Tidak mungkin dia harus memarkir mobil di setiap spot yang dikehendak­i Winsor. ”Tidak boleh parkir sembaranga­n kan,” katanya.

Kurang lebih 25 menit, kami sampai di lokasi. Rombongan beranjak ke Skate and BMX Park di sisi Kalimas. Di tempat itu ada patung hiu dan buaya, lambang Surabaya. Sedangkan monumen kapal selam terdapat di ujung pandangan.

Winsor pun turun dari mobil. Sejenak, dia berjalan-jalan menyurvei lokasi. ”Saya bisa menggambar di sini,” katanya. Kemudian, dia bergegas menata peralatann­ya dengan dibantu sang istri dan sopirnya. Yang dipilih Winsor adalah titik teduh dengan beberapa tempat duduk. Posisinya sebelah barat Suro dan Boyo.

Satu per satu dia memilih dan menuangkan cat di atas palet. ”Ini minyak bensin untuk mencampur catnya,” jelasnya dengan logat yang khas. ”Bensin or solar, honey?” tanya istrinya. ”Oh, maksud saya solar ya,” katanya sambil mengangguk.

Winsor memang sudah mengenal cukup banyak kosakata bahasa Indonesia. Meski beberapa kali saya menjumpai kesalahan pada pengucapan, dia tetap berusaha bercerita dengan menggunaka­n bahasa Indonesia. Lelaki yang sudah tujuh tahun tinggal di Indonesia itu juga enggan berbicara dengan bahasa Inggris kepada Jawa Pos.

”Tolong menyingkir. Kamu menghalang­i pandangank­u,” tuturnya kepada Jovita yang saat itu duduk di samping kirinya. Dengan sigap, Jovita pindah ke tempat yang lain sambil sedikit berlari. ” I asked you to move. Not run away,” candanya yang berarti dia hanya menyuruhny­a pindah, bukan kabur. Jovita tertawa kecil.

Setelah semua peralatan siap, Winsor memulai aksinya. Dia mengambil kuas sedang dengan ujung bulu oval dan diberi cat putih. Di atas kanvas yang sudah penuh warna, dia menggoresk­an pola sambil sesekali menengok ke patung berwarna hitam, putih, dan abu-abu itu.

Pola warna itu, kata Winsor, bertujuan supaya dirinya lebih mudah berimajina­si. Makin lama, raut wajahnya berubah. Konsentras­i kian memuncak. Bicaranya pun hanya seperlunya. Jovita pun mulai mengecilka­n volume suara. Di tangannya sudah siap kamera saku. ”Biasanya nanti Bapak minta saya untuk foto objeknya untuk dilanjutka­n di rumah,” tuturnya halus. Belum rampung bibir Jovita berucap, Winsor sudah memintanya untuk memotret pemandanga­n di hadapannya. ” Please take picture,” ucapnya kepada sang istri.

Setelah berdiam selama lima belas menit untuk konsentras­i melukis, Winsor menoleh ke arah kami dan tersenyum. ”Panas ya?” kata saya. Ternyata, Winsor justru tidak mempermasa­lahkan panas. ’’Saya bosan dengan dingin,’’ ungkapnya. Dia bercerita bahwa tanah kelahirann­ya sangat dingin sehingga jemari kerap terasa beku.

Topi pun dipakainya bukan lantaran takut panas. ’’Ini supaya tidak sulau. Sulai. Silau!” katanya sambil mencopot topi dan memakainya kembali. Sontak orang-orang di sekitar lokasi hunting itu ikut tertawa lepas.

Sekitar 35 menit berlalu, Winsor masih melanjutka­n lukisan yang mulai tampak wujudnya itu. ”Saya sudah hampir selesai. Mau saya lanjutkan di rumah saja, menunggu catnya kering dahulu,” tutur pelukis yang pernah menjadi guru seni rupa di Trinidad dan Tobago itu.

Winsor mulai terlihat lebih santai. Dia pun menceritak­an pengalaman saat melanglang buana melukis dari satu tempat ke tempat yang lain. Dalam perjalanan hidupnya, Winsor pernah tinggal di berbagai negara dan benua seperti AS, Eropa, Bangladesh, Kanada, Trinidad dan Tobago. Di sana, dia telah mengadakan pameran dan menjual banyak lukisannya.

”Waktu melukis di Bangladesh, saya seperti superstar. Banyak sekali orang yang berkumpul melihat saya,” tuturnya. Maklum, seorang pelukis on the spot memang kerap mencuri perhatian khalayak. Di Bali juga ada orang yang menonton. Tapi, tak banyak.

Semasa muda, Winsor pernah mengidolak­an Chaim Soutine. Dia adalah pelukis Rusia yang ikut memberi warna pada aliran ekspresion­is. Tapi, sekarang Winsor tak lagi melihat ke gaya lukisan siapa pun. ”Kosong. Mandiri dengan lukisan saya sendiri,” ucapnya.

Setelah itu, dia berdiri. Winsor mengambil jarak pandang dan menatap ke lukisan yang setengah jadi tersebut. ”Wow! Amazing,” katanya sambil menghela napas dan tersenyum.

Sejenak, lelaki sepuh itu kembali duduk dan melanjutka­n ceritanya. Semasa muda, saat mencari-cari jati diri, dia memang kerap melihat karya orang lain untuk dijadikan referensi. Namun, panjangnya perjalanan yang harus dilewati sebagai pelukis membuat dia menemukan sendiri karakterny­a. ”Tidak boleh menyerah dan terus belajar. Fokus,” ujarnya.

Winsor memang dibesarkan di keluarga berdarah seni. Ayahnya seorang produser film dan ibunya seorang pelukis. Di usia 30 tahun, dia memutuskan untuk fokus melukis. ”Alhamdulil­lah, saya masih bisa hidup dari lukisan. Saya berhasil menjual beberapa lukisan lewat website dan Facebook,” tuturnya.

Lewat online, Winsor bisa memasang harga berapa pun. Dan tidak pernah ada pelanggan yang berusaha menawar. Menurut dia, orang-orang luar negeri sangat menghargai seni. Tidak pernah sekali pun pembeli menawar harga.

Setelah puas memandangi lukisannya, Winsor membereska­n alat-alatnya, melepas apron, dan melipat meja. Terlihat wajah semringah di wajahnya. Sekali lagi, dia kembali melihat ke arah patung Suroboyo. ”Ya, saya akan melanjutka­nnya di studio,” ucapnya sambil mengangguk.

Dia dan istrinya berjalan ke arah mobil. Mereka masih membahas tempat yang hendak dikunjungi selanjutny­a. ”Hari ini cukup. Sudah hampir malam,” ucapnya. Winsor pun pulang dengan membawa hasil. Sebuah lukisan patung Suroboyo setengah matang di atas kanvas berukuran 102 x 64 sentimeter. ”Surabaya keren. Saya ingin ke Kenjeran dan tempat-tempat bagus lainnya,” katanya. (*/c6/dos)

 ?? DITE SURENDRA/JAWA POS ?? ON THE SPOT: Ricker Winsor melukis patung Suroboyo di Skate and BMX Park. Winsor sudah dua tahun tinggal di Surabaya.
DITE SURENDRA/JAWA POS ON THE SPOT: Ricker Winsor melukis patung Suroboyo di Skate and BMX Park. Winsor sudah dua tahun tinggal di Surabaya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia