Tunggal Putri Suram di Tokyo 2020
Tunggal putri Indonesia menjadi sektor paling mengecewakan di Olimpiade Rio 2016. Satu-satunya wakil Merah Putih Lindaweni Fanetri selalu kalah dalam penyisihan grup J.
Melihat materi pemain putri sekarang, sulit rasanya membayangkan Indonesia akan meraih medali di Tokyo 2020. Apalagi mengulangi capaian Susy Susanti mendulang emas di Barcelona 1992.
Tunggal putri meraih medali terakhir Indonesia di Olimpiade di Beijing 2008. Ketika itu, Maria Kristin Yulianti yang sama sekali tidak diunggulkan tiba-tiba melesat, memberikan kejutan dengan meraih perunggu.
Maria sendiri mengatakan, tunggal putri Indonesia sulit mendapat medali di Tokyo. Sebab, perkem- bangan bulu tangkis dunia saat ini sangat pesat dan bervariasi.
Perempuan asal Tuban itu memberikan contoh bagaimana Tiongkok yang selama ini dianggap sebagai superpower harus mengakui kehadiran pemain Spanyol Carolina Marin yang meraih emas di Rio de Janeiro. ’’Jadi, persaingan sangat merata,’’ ucapnya ketika ditemui di GOR Djarum, Jati, siang kemarin (2/9).
Susy menambahkan, tunggal putri bisa kembali berprestasi setidaknya bisa mencontoh apa yang dilakukan Marin. Istri Alan Budikusuma itu menjelaskan, Marin menimba ilmu setengah tahun di Denmark, lalu ke Tiongkok, dan Indonesia. ’’Bukan masalah latihannya pindahpindah. Namun, semangat dia menyerap ilmu itu yang harus dilihat,’’ tutur Susi.
Selain itu, satu hal penting yang harus dicamkan adalah tidak boleh gampang drop. Maria mengatakan, kadang pemain Indonesia langsung lengah ketika menjumpai lawan yang berani mengajak bermain rally.
’’Kalau sudah begitu, kadang kita bisa jatuh mental karena lawan tidak menunjukkan kelelahan sedikit pun. Ujung-ujungnya, ritme menjadi berantakan,’’ papar Maria kembali. (apu/c4/nur)