Terbentur Masalah Klise: Anggaran
MELALUI program pengiriman guru garis depan (GGD), pemerintah ingin meningkatkan kualitas pendidikan di wilayah pinggiran. Agar bisa mendaftar program GGD, seseorang harus lulus program pendidikan profesi guru (PPG) berasrama
Tahun ini kuota GGD mencapai 6.930 orang. Kabupaten Rote Ndao mendapatkan alokasi 52 GGD. Alokasi untuk seluruh wilayah NTT mencapai 908 orang. Yang terbanyak adalah Kabupaten Sumba Barat Daya. Sebanyak 344 orang.
Sayang, Kemendikbud malah mengurangi kuota program tersebut. Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud Sumarna Surapranata mengatakan, tahun depan alokasi GGD dipangkas menjadi tinggal 3.500 orang. Alasannya klise. Anggaran. ”Uangnya seperti sarung. Ditarik ke bawah, yang atas kelihatan. Ditarik ke atas, yang bawah kelihatan,” katanya, lantas tertawa.
Kemendikbud berusaha kuota GGD tahun depan tidak turun secara drastis. Sebab, manfaat program tersebut sangat dirasakan masyarakat. Para guru pilihan itu berhasil membawa suasana pembelajaran yang lebih baru, berkualitas, dan menyegarkan.
Pengiriman guru berkualitas di wilayah terpencil dimotori gerakan Indonesia Mengajar (IM). Ketua Yayasan Indonesia Mengajar Hikmat Hartono menyatakan, persoalan pendidikan di daerah pinggiran adalah guru. Tantangan dan kendala bagi guru di daerah pelosok adalah minimnya media interaksi dengan pihak luar.
Pemerintah harus membuka hambatan birokrasi. Dengan begitu, guru di wilayah terpencil mendapat kesempatan berinteraksi lebih luas. Ketika ada lomba atau pelatihan, jangan hanya guru di tengah kota yang diberi akses. Guru di pelosok juga harus mendapat kesempatan.
Selain itu, sarana dan prasana pun penting. Tapi, pemerintah harus memberikan kebijakan yang jelas. Ada beberapa sekolah yang memperoleh bantuan notebook, proyektor LCD, dan alat peraga lain. Namun, alat itu tetap tersegel. Guru tidak berani menggunakan karena takut rusak. ”Hanya dijaga. Nggak ada manfaatnya,” kata Hikmat. ”Rusak kan tidak masalah. Yang penting sudah digunakan,” ujarnya.
Minimnya fasilitas pendidikan di wilayah terpencil bisa diatasi dengan menggunakan dana desa. Lewat musyawarah desa (musdes), bisa disepakati pembangunan fasilitas pendidikan.
”Sarana pendidikan itu nanti menjadi milik desa dan dikelola desa,” ujar Taufik Madjid, direktur Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. ”Yang harus diperhatikan, infrastruktur pendidikan itu punya siapa. Kalau punya swasta, berarti bukan tanggung jawab desa untuk membangunnya,” sambung dia.
Namun, dana desa hanya dipakai untuk pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat. Tidak bisa untuk membiayai tenaga pendidik. Terkait honor tenaga pendidik, ada alternatif lain. Yakni, mengajukan ke pemerintah daerah melalui satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang membidani pendidikan. Bisa juga dengan menggerakkan partisipasi masyarakat. (wan/lum/tyo/c10/ca)