Jawa Pos

Beli Alat Peraga, Nyeberang Laut Dulu

Namanya saja pinggiran, segalanya serba terpinggir­kan. Layanan pendidikan di kawasan pinggir tanah air membutuhka­n banyak pembenahan.

-

SEBANYAK 68 guru mendapatka­n kesempatan langka di pengujung Agustus lalu. Mereka merasakan pengalaman mengajar di Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT). Itu adalah wilayah paling selatan Indonesia, berbatasan dengan Australia.

Karena keterbatas­an akses transporta­si dan lokasi yang berjauhan, panitia memilih empat sekolah yang menjadi jujukan praktik mengajar dadakan itu

Yakni, SD Inpres Anda Iko, SD Inpres Oenitas, SMPN 1, dan SMPN 2 Rote Barat. Jarak dari pusat kota sekitar 40 km. Ditempuh dengan perjalanan darat selama sejam.

Selama perjalanan, ada hiburan lalu lalang sapi, kambing, anjing, dan babi. Jarak antarrumah cukup lebar. Di antara rumah penduduk terhampar lahan kering. Nah, di sela-sela lahan itu terdapat pohon lontar atau biasa disebut warga setempat sebagai pohon kehidupan.

Di SD Inpres Anda Iko, dua guru mendapat tugas mengajar di setiap kelas. Kehadiran guru baru membuat suasana canggung. Namun, beberapa saat kemudian, kelas menjadi cair.

Ahmad Shodiq, guru dari SDSMP Satu Atap Durai, Karimun, Riau, dan Wahyu Setianings­ih dari SMAN 101 Jakarta Barat bertugas mengajar kelas V. Skenario awal, mereka diberi tugas mengajar sejarah. Tetapi, karena keduanya terbawa suasana, materi yang diajarkan campur aduk.

Para siswa sangat antusias dengan model mengajar Shodiq. Misalnya, mengenalka­n trik menghitung perkalian 11 dengan metode jari. Jadi, siswa tidak perlu menggunaka­n kalkulator. Lulusan FISIP Universita­s Jember itu memang jago menghitung. Selain mengajar sejarah, dia mengampu pelajaran matematika.

Pengalaman lain dirasakan Ayu yang sehari-hari mengajar di Jakarta. ”Ini pengalaman pertama saya mengajar di kawasan perbatasan Indonesia. Selama ini baru dengar-dengar saja,” jelas guru sejarah itu.

Ayu menyoroti minimnya fasilitas di SD Inpres Anda Iko. Misalnya, tidak ada perpustaka­an. Alhasil, buku-buku yang dibawa para guru peserta Kemah Guru di Wilayah Perbatasan (Kawasan) hanya digeletakk­an di meja kepala sekolah.

Dia berharap pemerintah lebih serius memperhati­kan daerahdaer­ah perbatasan. ”Ibarat rumah, daerah perbatasan seperti Rote Ndao ini adalah pagar,” jelas alumni Universita­s Negeri Surabaya (Unesa) itu. Jika kurang terawat, pagarnya rentan jebol dan dimasuki maling.

Kepala SD Inpres Yanses Weni mengakui, kondisi sekolah masih sangat terbatas. ”Kalau dilihat dindingnya, mungkin bagus. Karena baru dapat bantuan,” katanya. Tetapi, kondisi di dalam kelas sungguh memprihati­nkan Hanya ada bangku, kursi, papan tulis, dan alat peraga seadanya.

Yanses menuturkan, tidak mudah mendapatka­n alat peraga. Bahkan di pusat Kota Rote Ndao sekalipun. ”Jadi, kalau mau beli alat peraga, harus nyeberang laut dulu ke Kupang,” katanya.

Sekolah itu memang tidak memiliki ruang khusus perpustaka­an. Untuk sementara, perpustaka­annya berupa rak buku yang diselipkan di ruang guru. Tentu saja perpustaka­an ala kadarnya tersebut tidak pernah dijamah siswa. Sebab, siswa sungkan masuk ruang guru dan lebih memilih bermain di pelataran sekolah.

Total siswa SD Inpres Anda Iko mencapai 188 anak. Gurunya sebelas. Pembelajar­an aktif dilaksanak­an Senin sampai Jumat. Sementara itu, Sabtu digunakan untuk ekstrakuri­kuler dan pendalaman minat dan bakat siswa.

”Bisa diisi menyanyi, olahraga, dan membuat kerajinan tangan,” kata Yanses.

Dari sisi ekonomi, mayoritas siswanya berasal dari keluarga kurang mampu. Sebanyak 86 siswa mendapatka­n kartu Indonesia pintar (KIP). Meski, sampai saat ini uang KIP belum bisa dicairkan.

Di akhir kegiatan mengajar ”dadakan” tersebut, rombongan guru program Kawasan mendapatka­n kado spesial. Yakni, peragaan tari kebalai, khas Rote Ndao. Siswa membentuk lingkaran dan berputar-putar. Para guru menari bersama anak-anak. Tari kebalai dibawakan untuk menyambut tamu atau meminta hujan. (wan/c10/ca)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia